"Kalau lagi lapar dan nga ada uang, ya nahan lapar" - Siti, 14 tahun (salah satu penduduk kolong jembatan)
Padat. Kesan itu yang pertama kali muncul saat kami tiba di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur. Di tempat tersebut, tepatnya di kolong jembatan, Gema Inti akan mengadakan acara buka puasa bersama.
Sore itu para anak muda tersebut tiba di Kampung Melayu jam setengah lima sore. Jalan turun ke bawah cukup terjal. Tidak ada tangga yang disemen, hanya undakan-undakan tanah yang akan licin jika hujan turun. Beruntung saat kami tiba, bekas hujan siang tadi sudah tidak nampak, sehingga kami dapat turun dengan aman.
Saat tiba di kolong jembatan, para anak-anak kecil dan ibu-ibu yang tinggal disana sudah rapi duduk si atas terpal. Anak-anak kecil terlihat bahagia, mereka tersenyum dan berlarian, bermain dengan teman sebayanya. Para ibu saling mengobrol dan terkadang tertawa kecil. Para remaja sudah berdandan rapi dan bersih, menunggu kehadiran kakak-kakak dari Gema Inti. Para bapak masih ada yang bekerja sehingga mereka belum terlihat.
Selagi menunggu kehadiran Pak Ustadz, para sahabat Gema Inti mulai berinteraksi dengan para penduduk kolong jembatan itu. Ada yang bermain dengan anak-anak balita. Ada yang berbincang dengan para ibu dan pemuda-pemudi disana.
Cing-cing, salah seorang anggota organisasi kepemudaan itu, berbincang-bincang dengan salah satu anak perempuan yang tinggal disitu. Siti namanya, usianya baru menginjak 15 tahun. Anak kelima dari tujuh bersaudara ini mengatakan bahwa dia telah tinggal di Jakarta sejak masih kecil. Mereka tujuh bersaudara tidak ada yang pernah menginjak bangku sekolah.
Ketika ditanyakan tentang perasaannya tinggal di kolong jembatan, Siti mengatakan bahwa begitulah hidup mereka. Para penduduk disana sudah terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Terancam dengan keberadaan preman-preman yang suka melecehkan mereka dan suka memalak. Ketika musim hujan tiba, tempat tinggal mereka pernah kebanjiran sehingga mereka harus mengungsi ke taman umum yang ada di atas. Itu adalah kehidupan yang normal buat mereka.
Anak perempuan yang merupakan pendatang dari Jawa ini mengatakan bahwa hidup mereka sangat susah. Jika para penduduk kota sering bertanya mau makan apa besok, mereka bertanya bisa makan nga ya besok. "Kalau lapar dan tidak ada uang, ya menahan lapar saja," ujarnya. Bagi mereka, kantor mereka terletak di "atas", di jalan raya. Di jalan yang panas dan padat ketika siang hari tersebut mereka mengamen, menjual koran, menjual asongan dan berbagai pekerjaan kasar lainnya. Bagi mereka ini semua adalah tentang bertahan hidup, bukan gaya hidup.
Tujuan organisasi pemuda yang diketuai oleh Hardy Stefanus mengunjungi tempat tersebut bukanlah untuk pamer aksi kemanusiaan saat bulan puasa. "Kami ingin meningkatkan kesadaran sosial para generasi muda, turun langsung ke lapangan dan merasakan apa yang mereka rasakan," ungkapnya sore hari itu.
Senyum dan kebahagiaan para penduduk di tempat tersebut merupakan kebahagiaan sendiri bagi para anak muda yang hadir. "Iya, baru bisa paham ternyata ada masyarakat yang tinggal dalam kondisi seperti itu di Jakarta, rumah kebanjiran, dikejar-kejar preman," kata Cing-cing setelah berbincang-bincang dengan Siti.
Tidak lama setelah itu, Pak Ustadz datang dan berbagi khotbah. Khotbah diakhiri dengan doa berbuka puasa oleh beliau. Anak-anak dengan lahapnya memakan ta'jil dan nasi kotak yang berisi nasi dan ayam goreng tersebut. Menu berbuka puasa sore itu sangat disyukuri oleh mereka. Menu sederhana bagi para orang kota, namun merupakan menu mewah untuk mereka. Ada anak-anak yang meminta nasi kotak untuk orangtuanya yang masih bekerja. Ada mereka yang membawa makanan pulang ke rumahnya, untuk dimakan bersama dengan ibu mereka yang lagi sibuk menjaga adiknya.
Setelah semua selesai makan dan berbagi kegembiraan, akhirnya para pemuda Gema Inti pamit pulang. Mereka pulang tidak hanya dengan kebahagiaan karena telah berbagi, tapi juga mendapatkan pesan tentang kenyataan hidup di Ibukota Jakarta ini.
Jakarta, 25 Juli 2014
Dari kolong jembatan di Kampung Melayu
Padat. Kesan itu yang pertama kali muncul saat kami tiba di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur. Di tempat tersebut, tepatnya di kolong jembatan, Gema Inti akan mengadakan acara buka puasa bersama.
Sore itu para anak muda tersebut tiba di Kampung Melayu jam setengah lima sore. Jalan turun ke bawah cukup terjal. Tidak ada tangga yang disemen, hanya undakan-undakan tanah yang akan licin jika hujan turun. Beruntung saat kami tiba, bekas hujan siang tadi sudah tidak nampak, sehingga kami dapat turun dengan aman.
Saat tiba di kolong jembatan, para anak-anak kecil dan ibu-ibu yang tinggal disana sudah rapi duduk si atas terpal. Anak-anak kecil terlihat bahagia, mereka tersenyum dan berlarian, bermain dengan teman sebayanya. Para ibu saling mengobrol dan terkadang tertawa kecil. Para remaja sudah berdandan rapi dan bersih, menunggu kehadiran kakak-kakak dari Gema Inti. Para bapak masih ada yang bekerja sehingga mereka belum terlihat.
Selagi menunggu kehadiran Pak Ustadz, para sahabat Gema Inti mulai berinteraksi dengan para penduduk kolong jembatan itu. Ada yang bermain dengan anak-anak balita. Ada yang berbincang dengan para ibu dan pemuda-pemudi disana.
Cing-cing, salah seorang anggota organisasi kepemudaan itu, berbincang-bincang dengan salah satu anak perempuan yang tinggal disitu. Siti namanya, usianya baru menginjak 15 tahun. Anak kelima dari tujuh bersaudara ini mengatakan bahwa dia telah tinggal di Jakarta sejak masih kecil. Mereka tujuh bersaudara tidak ada yang pernah menginjak bangku sekolah.
Ketika ditanyakan tentang perasaannya tinggal di kolong jembatan, Siti mengatakan bahwa begitulah hidup mereka. Para penduduk disana sudah terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Terancam dengan keberadaan preman-preman yang suka melecehkan mereka dan suka memalak. Ketika musim hujan tiba, tempat tinggal mereka pernah kebanjiran sehingga mereka harus mengungsi ke taman umum yang ada di atas. Itu adalah kehidupan yang normal buat mereka.
Anak perempuan yang merupakan pendatang dari Jawa ini mengatakan bahwa hidup mereka sangat susah. Jika para penduduk kota sering bertanya mau makan apa besok, mereka bertanya bisa makan nga ya besok. "Kalau lapar dan tidak ada uang, ya menahan lapar saja," ujarnya. Bagi mereka, kantor mereka terletak di "atas", di jalan raya. Di jalan yang panas dan padat ketika siang hari tersebut mereka mengamen, menjual koran, menjual asongan dan berbagai pekerjaan kasar lainnya. Bagi mereka ini semua adalah tentang bertahan hidup, bukan gaya hidup.
Tujuan organisasi pemuda yang diketuai oleh Hardy Stefanus mengunjungi tempat tersebut bukanlah untuk pamer aksi kemanusiaan saat bulan puasa. "Kami ingin meningkatkan kesadaran sosial para generasi muda, turun langsung ke lapangan dan merasakan apa yang mereka rasakan," ungkapnya sore hari itu.
Senyum dan kebahagiaan para penduduk di tempat tersebut merupakan kebahagiaan sendiri bagi para anak muda yang hadir. "Iya, baru bisa paham ternyata ada masyarakat yang tinggal dalam kondisi seperti itu di Jakarta, rumah kebanjiran, dikejar-kejar preman," kata Cing-cing setelah berbincang-bincang dengan Siti.
Tidak lama setelah itu, Pak Ustadz datang dan berbagi khotbah. Khotbah diakhiri dengan doa berbuka puasa oleh beliau. Anak-anak dengan lahapnya memakan ta'jil dan nasi kotak yang berisi nasi dan ayam goreng tersebut. Menu berbuka puasa sore itu sangat disyukuri oleh mereka. Menu sederhana bagi para orang kota, namun merupakan menu mewah untuk mereka. Ada anak-anak yang meminta nasi kotak untuk orangtuanya yang masih bekerja. Ada mereka yang membawa makanan pulang ke rumahnya, untuk dimakan bersama dengan ibu mereka yang lagi sibuk menjaga adiknya.
Setelah semua selesai makan dan berbagi kegembiraan, akhirnya para pemuda Gema Inti pamit pulang. Mereka pulang tidak hanya dengan kebahagiaan karena telah berbagi, tapi juga mendapatkan pesan tentang kenyataan hidup di Ibukota Jakarta ini.
Jakarta, 25 Juli 2014
Dari kolong jembatan di Kampung Melayu
No comments:
Post a Comment