Thursday, July 17, 2014

Kesempurnaan yang Palsu

Ketika seseorang dikatakan berasal dari keluarga yang broken home, hal pertama yang terbersit di dalam bayangan Penulis adalah seseorang yang kacau karena keadaan keluarganya yang tidak mendukung dirinya secara psikologis, misalnya ayah dan ibu yang bercerai, ayah yang abusive dan hal-hal esktrem lainnya selain yang telah dituliskan. Alasan-alasan ekstrem yang membuat stereotype di dalam masyarakat bahwa seseorang yang berasal dari keluarga broken home cenderung memiliki karakteristik yang tidak baik seperti tidak memikirkan masa depan atau tidak akan bisa menjadi orang yang sukses. Hal tersebut adalah gambaran yang sangat umum dan dimaklumi. Namun, ada sebagian orang yang dapat dikatakan berasal dari keluarga yang dapat dikatakan “berantakan” namun tidak terlihat secara kasat mata, dalam pandangan orang luar orang tersebut memiliki keluarga yang bahagia dan terlihat seperti keluarga-keluarga pada umumnya, namun hal yang sebenarnya terjadi adalah orang-orang tersebut memasang topeng yang sangat sempurna untuk menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja secara fisik, namun jika ditelusuri lebih dalam, sisi psikologis atau mentalnya sangat rapuh dan hal inilah yang Penulis sebutkan sebagai kesempurnaan yang palsu.


Orang yang berada dalam keadaan kesempurnaan yang palsu selalu memasang topeng dan selalu berpura-pura bahwa dirinya adalah sosok yang sangat kuat dan dapat dijadikan tempat bersandar bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Bagi dirinya, menunjukkan sebuah kelemahan adalah hal yang pantang untuk dilakukan dan dapat dikatakan memalukan, baik perempuan atau laki-laki. Hal ini dikarenakan dirinya tidak ingin orang lain mengetahui bahwa dirinya berasal dari keluarga yang tidak sempurna. Mereka tidak akan mau terlihat lemah karena mereka tidak ingin dihakimi oleh lingkungan mereka, karena itu mereka memasang kondisi kesempurnaan yang palsu tersebut. Orang-orang yang berada dalam keadaan ini tidak akan melakukan kesalahan yang ekstrem seperti misalnya menjadi penjahat kelas berat atau menjadi pecandu atau pengedar narkoba, karena mereka masih mengingat tata krama dan nilai-nilai keluarga yang telah diajarkan kepadanya seperti tentang bagaimana cara menjaga kehormatan dan nama keluarga dan hal itu yang membuat mereka berada dalam keadaan kesempurnaan yang palsu.

Di dalam sebuah kebaktian gereja beberapa tahun yang lalu, Penulis mengingat ada seorang Pendeta yang menceritakan tentang bagaimana seseorang yang berasal dari keluarga yang dapat dikategorikan “broken home” tersebut melampiaskan kemarahannya. Beliau mengatakan bahwa cara seorang lelaki dan seorang perempuan melampiaskan kekecewaan akan keadaannya biasanya berbeda. Seorang laki-laki biasanya cenderung akan menjadi sosok pribadi yang keras dan kasar, hal yang ekstrem bisa saja dirinya menjadi pecandu dan pengedar narkoba. Jika laki-laki tersebut tidak mendapatkan bimbingan dan pengarahan yang baik (oleh orang-orang di luar keluarganya) pada saat masa perkembangan psikologisnya, hal ini akan menjadi sangat berbahaya karena dirinya dapat tumbuh menjadi seseorang yang abusive, namun jika mendapatkan bimbingan dan pengarahan yang baik (oleh orang-orang di luar keluarganya) dirinya bisa saja menjadi sosok seseorang pemimpin yang memiliki banyak pengikut. Seorang perempuan biasanya akan mencari pelampiasan dalam bentuk yang lebih mengarah untuk mendapatkan kasih sayang, contoh yang ekstrem adalah dirinya akan menjadi perempuan yang “murah”, dirinya akan tumbuh menjadi seorang perempuan yang harus memiliki seseorang yang dia sayangi atau menyayangi dirinya atau justru menjadi sosok seorang perempuan yang keras karena tidak mau menjadi lemah karena tidak ingin lagi merasa sakit dan kecewa dan biasanya mereka akan cenderung untuk selalu berusaha menyenangkan orang lain sekalipun harus menyakiti dirinya. Bagi laki-laki atau pun perempuan, sebenarnya hal yang mereka butuhkan adalah hal yang sama, yaitu kasih sayang dan pengakuan akan dirinya, dan hal-hal tersebut mereka lakukan untuk mencari perhatian.

Hal-hal tersebut merupakan hal-hal yang sangat krusial di dalam perkembangan psikologis seorang anak sejak anak tersebut dilahirkan, terutama pada saat mereka menginjak masa remaja atau masa pubertas, masa dimana seorang anak beranjak menjadi dewasa, mencari tahu siapa dirinya, mencari identitas dirinya. Biasanya anak-anak dalam usia puber yang berada dalam kesempurnaan yang palsu akan luput dari perhatian orang-orang di sekitarnya, karena mereka akan selalu dan telah terbiasa untuk selalu memasang topeng, sehingga orang-orang luar akan merasa bahwa mereka normal dan memiliki perkembangan psikologis yang normal. Namun di dalam dirinya, mereka akan selalu merasa ada ruang yang kosong yang perlu untuk diisi dan mereka tidak pernah paham bagaimana caranya untuk mengisi kekosongan tersebut karena mereka tidak mendapatkan penanganan yang tepat.

Jika dipertanyakan, manakah yang memiliki faktor-faktor pendukung untuk meledak suatu ketika, jujur saja Penulis tidak mengetahui jawabannya. Namun jika kita mengingat sebuah kalimat yang sering diucapkan orang-orang, sesuatu yang dipendam biasanya akan menjadi sesuatu yang lebih berbahaya. Jika pada akhirnya orang tersebut menyadari bahwa dirinya berada dalam kesempurnaan yang palsu, akan sangat beruntung dirinya jika dia dapat segera menemukan cara untuk mengatasi masalah psikologis di dalam dirinya, baik melalui terapi dengan pihak yang terlatih seperti mendatangi psikolog atau psikiater atau mungkin melalui terapi kerohanian sesuai dengan kepercayaan pribadinya. Namun jika orang tersebut mengetahui bahwa dirinya berada dalam kesempurnaan yang palsu dan belum menemukan bagaimana cara untuk mengisi kekosongan yang ada dalam dirinya, dirinya akan terus mencari dan tidak akan merasa puas dan hal ini akan berujung kepada keputusasaan dan kekecewaan yang lebih dalam. Dirinya membutuhkan pertolongan dan pada saat itu, dirinya sendiri sudah tidak menolongnya, dirinya membutuhkan sosok di luar dirinya yang bisa membantu dan memahami dirinya untuk menemukan sesuatu yang hilang di dalam dirinya, yaitu kasih sayang dan pengakuan.

Penulis tidak tahu apakah ada di antara teman-teman yang merasakan hal seperti hal tersebut atau memiliki teman-teman yang merasakan hal seperti itu. Marilah hendaknya kita lebih peka terhadap keadaan di sekitar kita, memahami apa yang sedang dirasakan orang lain. Penulis tahu hal tersebut tidak mudah, tapi paling tidak kita bisa sedikit mencoba atau jika kita tidak ingin peduli, janganlah menghakimi mereka. Bagi teman-teman yang merasa memiliki keluarga yang broken home, kondisi tersebut bukanlah suatu pemakluman bagi diri sendiri untuk menjadi orang yang tidak sukses. Dan jika kesuksesan tersebut telah diraih, hendaknya jangan pernah melupakan siapa diri kita sebelum kita sukses dan belajar untuk memahami orang lain yang memiliki kondisi yang sama, salah satunya dengan cara berbagi pengalaman hidup. 

Warm regards,
T
1 September 2013

No comments:

Post a Comment