30 Desember 2013, perjalanan kami memasuki hari kelima, tak terasa hari ini adalah hari ketiga kami di Yogyakarta. Pagi ini seperti biasa kami bangun bermalas-malasan, entah kenapa semenjak tiba di Yogyakarta waktu bangun tidur kami relatif lebih siang, mungkin karena sudah terlalu lelah, karena kami pun bergantian sakit.
Setelah mandi dan sarapan, sekitar jam 10 pagi kami memulai perjalanan kami di hari kelima ini. Tujuan pertama kami adalah Kebun Binatang Gembira Loka. Tiket masuk ke kebun binatang ini Rp20 ribu per orang. Suasana kebun binatang ini berbeda dengan Kebun Binatang Taman Safari yang terletak di Cisarua, Puncak. Di sini, tidak ada jalur kebun binatang yang bisa dilintasi mobil pribadi, kami harus berjalan kaki atau naik kendaraan umum di sana yang disebut Taring (Transportasi Kelililing). Binatang-binatang yang ada di sini dikurung di dalam kandang-kandang yang menurut saya pribadi jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Taman Safari karena di Taman Safari mereka seakan dilepas di alam bebas.
Setengah perjalanan berlalu, kami telah melihat berbagai binatang, simpanse, gajah, monyet, binatang melata (reptilia), ikan-ikanan, burung dan macan lalu tiba-tiba langit menjadi gelap dan turun hujan yang sangat deras, ketika itu waktu sudah menunjukkan jam 1 siang. Kami pun berteduh di sebuah warung kecil di dalam kebun binatang, setelah kurang lebih tertahan selama 1 jam karena hujan, akhirnya setelah hujan agak reda kami kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan kami. Tujuan kami selanjutnya adalah Pantai Pok Tunggal yang terletak di Wonosari, Gunung Kidul.
Di peta Yogya, kami sempat membaca ulasan bahwa perjalanan ke Pantai Pok Tunggal akan berliku-liku namun sama sekali tidak terbayang oleh kami berliku-liku seperti apa. Di tengah cuaca yang mendung dan hujan rintik-rintik yang terkadang menjadi deras, perjalanan kami ke Pok Tunggal betul-betul tidak terduga. Kami melewati jalan kecil, yang hanya muat satu mobil, jalanan yang naik turun dan kadang tidak beraspal dan di samping-sampingnya langsun sawah dan curam ke dalam, cukup membuat kami deg-degan, ditambah dengan tidak adanya lampu jalanan. Setelah kurang lebih menempuh 2 jam perjalanan, pada jam 5 sore kami sampai juga di Pantai Pok Tunggal. Dan setelah kami melihat keindahan alami pantai tersebut, perjalanan yang sulit itu serasa terbayar.
Hujan masih deras ketika kami tiba disana, namun keindahan dan keindahan pantai tersebut membuat kami tidak peduli kalau kami harus bermain hujan. Ombak yang tinggi, pasir putih yang bersih, air laut yang masih jernih bersih, kumpulan karang yang masih sangat alami, membuat kami langsung jatuh cinta kepada pantai tersebut saat itu juga dan kami pun langsung berlarian bermain air dan pasir.
Setelah bermain pasir selama kurang lebih 2 jam, sekitar jam 7 malam, kami pun berbilas sambil bercengkrama dengan penduduk setempat yang membuka warung di tempat itu.
Kebetulan ketika bercengkarama dengan seorang Ibu dan Mbak-mbak yang orangtuanya memang memiliki tanah di pinggir pantai itu. Ibu tersebut bercerita bahwa pantai itu baru mulai dibuka untuk umum sejak tahun lalu. Di pinggir-pinggir jalan ke arah pantai tersebut sangat gelap, karena memang pembangunan belum dilakukan secara sempurna. Pembangunan aspal jalanan pun dilakukan sebagian besar oleh inisiatif warga sekitar.
Di sepanjang pantai tersebut terdapat kurang lebih 96 kepala keluarga. Setiap sore, di pinggir pantai, anak-anak mulai keluar dari rumahnya untuk bermain di pinggir pantai. Ibu itu berkata bahwa pantai tersebut cukup aman dan cenderung landai serta tidak terlalu banyak karang, sehingga tetap aman walay anak-anak bermain di pantai pada malam hari. Setiap minggu juga ada saja turis yang datang sekedar untuk berkemah dan BBQ di pinggir pantai, sangat menarik dan menyenangkan. Ibu itu juga mengatakan bahwa jika langit sedang cerah, pada malam hari bisa terlihat banyak bintang dan beberapa kali hujan meteor, membayangkannya saja sudah membuat saya menyadari betapa indahnya ciptaan Tuhan di alam semesta ini, begitu artistik dan cantik.
Selain itu, Ibu itu juga bercerita bahwa daya listrik yang mereka gunakan setiap malamnya beradal dari genset yang memang telah disediakan oleh para penduduk desa. Kemudian Ibu itu mengatakan bahwa di dekat pantai tersebut belum terdapat sekolah yang dekat, sekolah terdekat terletak 15 menit dari pantai dengan naik motor.
Hal menarik yang saya pelajari dari kehidupan mereka di pinggir pantai adalah untuk bahagia itu sederhana, hidup apa adanya dan dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari serta tinggal bersama dengan keluarga dan kerabat terdekat sudah cukup.
Semoga saja di masa-masa yang akan datang, pantai ini terus terjaga kealamiannya serta keindahan, jangan sampai menjadi terlalu komersil dan kotor, jangan sampai pantai yang masih perawan ini menjadi ternoda karena keserakahan manusia-manusia yang merawatnya :)
So long Pantai Pok Tunggal!
Warm regards from people in Jakarta,
T
30 Desember 2013
No comments:
Post a Comment