Perjalanan saya dan
teman-teman saya ke Jawa telah mengajarkan banyak hal. Saya telah
menuliskan secara pelajaran-pelajaran kecil yang kami dapatkan secara
singkat di catatan perjalanan selama 10 hari di tanah Jawa.
Hari ini, nilai dan pelajaran yang ingin saya bagi adalah tentang betapa sederhananya menjadi bahagia itu.Pelajaran ini saya dapatkan ketika saya dan teman-teman mengunjungi Pantai Pok Tunggal, Yogyakarta. Suasana di pantai itu sangatlah sederhana, sangat terlihat suasana pantai itu belum banyak terjamah wisatawan, baik dalam maupun luar negeri. Suasana yang sepi, suara ombak yang menderu, pasir pantai yang putih dan bersih apalahi jika dibandingkan dengan pantai-pantai di tanah Jawa yang lain.
Suasana ketika itu mendung dan hujan, awan begitu kelabu. Penerangan yang kami dapatkan hanya dari lampu-lampu kecil yang menyala dari warung-warung dan rumah-rumah warga di pesisir pantai. Ketika hari menjelang malam, laut menjadi gelap gulita seakan tak berujung. Warga di sekitar pantai menyalakan obor sebagai penerang jalan. Anak-anak kecil mulai keluar, beramai-ramai berkumpul dengan teman-temannya di pinggir pantai, di atas pasir putih. Entah permainan apa yang mereka lakukan, namun suara tawa dan canda begitu riuh ramai terdengar. Suara yang begitu gembira diiringi dengan suara ombak yang menderu-deru. Karang-karang besar yang kokoh dan kuat di pinggir pantai, yang memecah ombak yang berlarian ke pantai, sangat memesona saya. Menurut cerita warga yang tinggal disana jika hari sudah malam dan langit sedang cerah, ribuan bintang akan bermunculan dan akan turun hujan-hujan meteor yang indah. Membayangkannya saja sudah membuat saya semakin jatuh cinta dengan alam, betapa ajaib dan hebatnya Tuhan pencipta alam semesta ini, membuat saya semakin mengagumi diri-NYA dan ciptaan-NYA.
Saat itu, saya dan teman-teman mulai mengantri di pemandian umum yang dibangun oleh para warga untuk pengunjung berbilas dan mandi. Ketika menunggu teman-teman yang lain selesai, saya mengobrol dengan dua ibu kakak beradik yang memang tinggal di pesisir pantai dan desa yang tak jauh dari pantai tersebut sejak kecil. Sang adik, tinggal di pinggir pantai tersebut bersama dengan suami dan anaknya yang masih balita. Sedangkan sang kakak, tinggal di desa yang letaknya tak jauh dari pinggir pantai. Mereka bercerita bahwa seperti itu lah kegiatan mereka setiap harinya. Menghidupi keluarga dari membuka warung dan jika ada wisatawan yang datang entah untuk pulang hari atau menginap di rumah warga atau membuat tenda. Sang suami bekerja menjadi nelayan dan berladang. Listrik yang mereka gunakan tiap malam berasal dari genset yang disediakan bagi warga pesisir pantai tersebut. Air yang mereka minum asli merupakan air tanah yang memang keluar dari mata air yang tidak jauh dari pantai tersebut.
Hidup mereka sangat sederhana, mereka jarang berbelanja ke desa. Mereka hanya berbelanja jika kebutuhan rumah tangga ada yang habis. Di pesisir pantai tersebut tinggal kurang lebih 96 kepala keluarga dan mereka mengenal baik satu sama lain. Bahkan anak-anak mereka bermain bersama setiap hari. Jika laut sedang tenang, mereka dapat mengambil rumput-rumput laut yang tumbuh di pinggir-pinggir pantai.
Betapa sederhananya hidup mereka, jika akhir minggu mereka tidak pernah ke mal. Mereka jauh dari hingar bingar dan kehidupan malam yang ada di kota. Pesta paling hebat yang mereka lakukan adalah barbeque di pinggir pantai saat malam tiba. Bahkan televisi pun jarang mereka tonton. Betapa dekatnya kehidupan mereka dengan alam. Hidup dari pesisir dan ladang. Mereka jauh dari kehidupan gemerlap dan kerlap-kerlip lampu jalanan di malam hari. Jauh dari asap kendaraan bermotor yang merusak paru-paru dan kemacetan jalan yang membuat para orang kota kehilangan kesabaran.
Semoga saja keluguan warga pesisir tersebut tetap terjaga, begitu pula dengan keindahan dan kecantikan alami pantai tersebut. Entah apa jadinya jika pantai tersebut pada akhirnya menjadi komersil, akan banyak bangunan yang mungkin akan dibangun di sekitarnya dan warganya mungkin tidak akan selugu yang saat ini. Namun mungkin perekonomian warga setempat juga akan terbantu dan taraf hidup mereka akan meningkat. Sebuah harga mahal yang harus dibayar oleh alam demi memperbaiki kehidupan penghuninya.
Semoga apa yang saya bayangkan ini tidak terjadi dalam waktu yang cepat (karena cepat atau lambat, hal ini akan terjadi juga) dan semoga kecantikan serta keluguan tersebut tetap terjaga.
From me who amazed by your beauty and simplicity,
Trez
Jakarta, January 6th 2014
Hari ini, nilai dan pelajaran yang ingin saya bagi adalah tentang betapa sederhananya menjadi bahagia itu.Pelajaran ini saya dapatkan ketika saya dan teman-teman mengunjungi Pantai Pok Tunggal, Yogyakarta. Suasana di pantai itu sangatlah sederhana, sangat terlihat suasana pantai itu belum banyak terjamah wisatawan, baik dalam maupun luar negeri. Suasana yang sepi, suara ombak yang menderu, pasir pantai yang putih dan bersih apalahi jika dibandingkan dengan pantai-pantai di tanah Jawa yang lain.
Suasana ketika itu mendung dan hujan, awan begitu kelabu. Penerangan yang kami dapatkan hanya dari lampu-lampu kecil yang menyala dari warung-warung dan rumah-rumah warga di pesisir pantai. Ketika hari menjelang malam, laut menjadi gelap gulita seakan tak berujung. Warga di sekitar pantai menyalakan obor sebagai penerang jalan. Anak-anak kecil mulai keluar, beramai-ramai berkumpul dengan teman-temannya di pinggir pantai, di atas pasir putih. Entah permainan apa yang mereka lakukan, namun suara tawa dan canda begitu riuh ramai terdengar. Suara yang begitu gembira diiringi dengan suara ombak yang menderu-deru. Karang-karang besar yang kokoh dan kuat di pinggir pantai, yang memecah ombak yang berlarian ke pantai, sangat memesona saya. Menurut cerita warga yang tinggal disana jika hari sudah malam dan langit sedang cerah, ribuan bintang akan bermunculan dan akan turun hujan-hujan meteor yang indah. Membayangkannya saja sudah membuat saya semakin jatuh cinta dengan alam, betapa ajaib dan hebatnya Tuhan pencipta alam semesta ini, membuat saya semakin mengagumi diri-NYA dan ciptaan-NYA.
Saat itu, saya dan teman-teman mulai mengantri di pemandian umum yang dibangun oleh para warga untuk pengunjung berbilas dan mandi. Ketika menunggu teman-teman yang lain selesai, saya mengobrol dengan dua ibu kakak beradik yang memang tinggal di pesisir pantai dan desa yang tak jauh dari pantai tersebut sejak kecil. Sang adik, tinggal di pinggir pantai tersebut bersama dengan suami dan anaknya yang masih balita. Sedangkan sang kakak, tinggal di desa yang letaknya tak jauh dari pinggir pantai. Mereka bercerita bahwa seperti itu lah kegiatan mereka setiap harinya. Menghidupi keluarga dari membuka warung dan jika ada wisatawan yang datang entah untuk pulang hari atau menginap di rumah warga atau membuat tenda. Sang suami bekerja menjadi nelayan dan berladang. Listrik yang mereka gunakan tiap malam berasal dari genset yang disediakan bagi warga pesisir pantai tersebut. Air yang mereka minum asli merupakan air tanah yang memang keluar dari mata air yang tidak jauh dari pantai tersebut.
Hidup mereka sangat sederhana, mereka jarang berbelanja ke desa. Mereka hanya berbelanja jika kebutuhan rumah tangga ada yang habis. Di pesisir pantai tersebut tinggal kurang lebih 96 kepala keluarga dan mereka mengenal baik satu sama lain. Bahkan anak-anak mereka bermain bersama setiap hari. Jika laut sedang tenang, mereka dapat mengambil rumput-rumput laut yang tumbuh di pinggir-pinggir pantai.
Betapa sederhananya hidup mereka, jika akhir minggu mereka tidak pernah ke mal. Mereka jauh dari hingar bingar dan kehidupan malam yang ada di kota. Pesta paling hebat yang mereka lakukan adalah barbeque di pinggir pantai saat malam tiba. Bahkan televisi pun jarang mereka tonton. Betapa dekatnya kehidupan mereka dengan alam. Hidup dari pesisir dan ladang. Mereka jauh dari kehidupan gemerlap dan kerlap-kerlip lampu jalanan di malam hari. Jauh dari asap kendaraan bermotor yang merusak paru-paru dan kemacetan jalan yang membuat para orang kota kehilangan kesabaran.
Semoga saja keluguan warga pesisir tersebut tetap terjaga, begitu pula dengan keindahan dan kecantikan alami pantai tersebut. Entah apa jadinya jika pantai tersebut pada akhirnya menjadi komersil, akan banyak bangunan yang mungkin akan dibangun di sekitarnya dan warganya mungkin tidak akan selugu yang saat ini. Namun mungkin perekonomian warga setempat juga akan terbantu dan taraf hidup mereka akan meningkat. Sebuah harga mahal yang harus dibayar oleh alam demi memperbaiki kehidupan penghuninya.
Semoga apa yang saya bayangkan ini tidak terjadi dalam waktu yang cepat (karena cepat atau lambat, hal ini akan terjadi juga) dan semoga kecantikan serta keluguan tersebut tetap terjaga.
From me who amazed by your beauty and simplicity,
Trez
Jakarta, January 6th 2014
No comments:
Post a Comment