Monday, July 21, 2014

Izinkan Saya untuk Menulis Sebuah Bukti

No one is born hating another person because of the color of his skin, or his background or his religion. People learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for loves come more naturally to the human heart than the opposite - Nelson Mandela

Hari Minggu, 20 Juli 2014, saya bersama dengan beberapa sahabat saya ketika berkuliah berkumpul bersama. Buka puasa bersama merupakan acara rutin yang telah kami lakukan sejak lama. Kami mengadakan acara ini sejak kami duduk di tingkat dua kuliah di tahun 2006 dan sampai dengan saat ini, lima tahun setelah kami lulus kuliah. Sejak kami semua belum menikah sampai sudah banyak yang menikah dan mempunyai anak.

Mengapa saya menceritakan hal ini? Saya ingin menceritakan hal ini berkaitan dengan tulisan saya yang sebelumnya "Aku Didiskriminasi!" beberapa waktu yang lalu. Saya ingin berbagi sebuah pesan bahwa kehidupan yang damai dan dekat bahkan erat dalam perbedaan itu memiliki contoh nyata, bukan hanya omongan semata. Paling tidak, hal tersebut nyata dalam kehidupan saya.

Saya dan sahabat-sahabat saya telah berteman sejak tahun 2005. Apakah mungkin persahabaran ini bisa berjalan sekian lama jika kami memiliki sifat diskriminasi? Sembilan tahun bukanlah waktu yang lama. Jika dihitung dalam usia kehidupan manusia, dirinya sudah memasuki kelas tiga Sekolah Dasar. 

Jika ditanya, apakah kami pernah merasa tidak cocok dan kesal satu dengan yang lain? Ya..sebagai manusia kami memiliki emosi, tidak mungkin kami terus saling menyayangi. Namun ketika masalah muncul, apakah kami menyalahkan kesukuan atau kepercayaan kami? Tidak, paling tidak itu yang saya ingat. Tidak pernah sahabat saya berkata "elo sich...agamanya ini...makanya elo begini" atau "elo sich...suku ini...makanya elo begini". Biasanya kami melihat masalah sebagai pribadi ke pribadi, tidak mengacu kepada kesukuan, kepercayaan atau perbedaan di antara kami. Dan menurut saya secara pribadi, hal ini yang membuat persahabatan kami bertahan.

Tahun ini merupakan tahun kelima sejak kami lulus dari kampus kami tercinta. Sahabat-sahabat saya saat ini banyak yang sudah bekerja di perusahaan swasta yang bergengsi dan juga bekerja di instansi pemerintah. Bahkan tidak sedikit, sahabat-sahabat saya yang mendapatkan beasiswa bergengsi untuk mendapatkan gelar S2 atau gelar Master-nya. 

Tanpa perlu menyebutkan siapa mereka dan bukan bermaksud untuk menyombongkan sahabat-sahabat dan almamater saya, saya ingin berbagi tentang cerita mereka. Sahabat-sahabat saya ada yang bekerja di berbagai perusahaan sekuritas besar seperti Mandiri Sekuritas dan Bahana Securities. Ada mereka yang bekerja di bank-bank besar seperti BNI, BRI, Bank Mandiri, Bank BCA. Ada yang bekerja di IBM. Ada mereka yang bekerja di bank asing seperti DBS. Ada yang bekerja di perusahaan consumer goods seperti Kraft, Danone, Unilever.  Ada mereka yang bekerja di Astra International dan anak perusahaan Astra. Ada mereka yang bekerja di big four KAP seperti E&Y, KPMG, PwC dan Deloitte. Ada yang bekerja di Shell dan Pertamina. Tentang kewirausahaan,  ada sahabat-sahabat yang menjadi wirausaha sejak tahun lalu dan tetap berharap bahkan lebih berkembang karena ide-ide kreatif yang mereka miliki.Tentang beasiswa, ada sahabat yang mendapatkan beasiswa bergengsi baik dari dalam dan luar negeri, seakan hal tersebut merupakan hal yang normal dan biasa.

Menurut saya secara pribadi, pencapaian mereka adalah pencapaian yang luar biasa dan membanggakan. Mereka memiliki tingkat intelektual yang baik. Memang benar genetika mempengaruhi tingkat kepintaran dan intelektual seseorang. Namun, kerajinan dan kerja keras merupakan salah satu poin penting dalam menambah intelektualitas. Dan sahabat-sahabat saya memiliki unsur-unsur itu.

Dari cerita saya ini, saya juga ingin berbagi bahwa kita adalah makhluk ciptaan Tuhan. Bagi mereka umat Nasrani, di Alkitab tertulis bahwa kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kita semua, manusia, apapun agamanya dan sukunya, adalah makhluk yang mulia. Baginya semua ciptaan-Nya diperlakukan sama. Jadi, mungkinkah Dia, Sang Maha Sempurna, membedakan tingkat kepintaran dan intelektualitas ciptaan-Nya berdasarkan kesukuan makhluk yang akan diciptakan-Nya? Adakah hal tersebut tertulis di dalam salah satu Kitab Suci? Jika ada, saya mohon dengan kerendahan hati untuk dapat berbagi dengan saya.

Saya menulis bukan karena saya ingin merasa sok pintar dan membenarkan apa yang telah saya tulis dalam tulisan saya sebelumnya. Saya hanya ingin berbagi kepada sahabat-sahabat baru saya yang banyak bertanya tentang diskriminasi tersebut.

Saya bersyukur kepada Tuhan karena ditempatkan di sebuah tempat yang sangat terbuka terhadap perbedaan. Seperti yang saya tulis dalam tulisan sebelumnya, bukan berarti saya tidak pernah didiskriminasi sama sekali. Saya bohong dan munafik jika saya mengatakan hal itu. Namun kisah itu hanya sebagian kecil dari cerita saya. Ketika saya didiskriminasi, saya berusaha untuk tidak lagi marah dan sakit hati. Saya berharap suatu hari mereka dapat merasakan indahnya hidup dalam perbedaan.

Dan kepada sahabat-sahabat saya, terima kasih karena kalian telah mengajarkan banyak hal kepada saya tentang indahnya hidup di dalam keberagaman.

Dari aku yang masih dan terus belajar,
T
Jakarta, 21 Juli 2014


2 comments: