Aku baru saja melihat sebuah gambar yang di-upload oleh temanku di Path, apa yang tertulis di dalam gambar tersebut mengingatkan aku tentang notes yang ingin aku tulis beberapa hari yang lalu.
Lagi...aku ingin membandingkan tentang cinta beberapa tahun yang lalu dengan saat ini...
Jika membicarakan tentang cinta, ketika aku masih remaja, di zaman belum banyak media sosial, seorang laki-laki dan seorang perempuan baru bisa saling menyukai setelah benar-benar bertemu tatap muka, karena tidak ada yang namanya kirim-kirimin foto yang di-scan...kalaupun ada lewat email namun email masih sulit untuk diakses ketika itu, that's why they called it "love at first sight". Ketika seorang laki-laki ingin mendekati seorang perempuan, dia harus memberanikan dirinya untuk berkenalan dengan perempuan tersebut, menanyakan nomor telepon rumah dan telepon genggam (yang juga masih belum lazim dimiliki oleh remaja saat itu). Kemudian laki-laki itu harus memberanikan dirinya menelepon ke rumah perempuan itu dengan risiko telepon itu diangkat oleh ayah, ibu, kakek, nenek, om, tante, adik atau kakak dari perempuan itu. Dan saat itu pun menelepon dan berbincang-bincang di telepon tidak bisa lama-lama, apalagi jika menelepon ke telepon seluler karena tagihan telepon rumah bisa melambung tinggi jika keseringan telepon-teleponan, itulah mengapa yang namanya hari Sabtu, malam Minggu, menjadi sebuah hari sakral dan sangat penting bagi pasangan yang sedang menjalin hubungan. Pergi kencan di hari Sabtu juga kembali menjadi tantangan tersendiri buat sang laki-laki, karena dia harus menjemput perempuan itu ke rumahnya, izin kepada keluarga perempuan itu, menjemput dengan menggunakan taksi atau apapun asalkan memperlihatkan bahwa ada itikad baik kepada ayah atau ibu anak gadis tersebut. Kemudian hal paling menegangkan lainnya adalah ketika laki-laki tersebut harus menyatakan cinta kepada perempuan tersebut, menyatakan secara langsung dan empat mata. Diterima atau ditolak di depan mata, face to face, bukan melalui skype atau BBM. Dan ketika rasa itu dinyatakan, sang perempuan dapat mengukur seberapa besar rasa suka laki-laki tersebut dari usaha yang ditunjukkan kepada perempuan tersebut, mulai dari perkenalan pertama sampai rasa suka itu terucap. Seberapa besar kenekadan dan niat usaha laki-laki tersebut untuk menjalin hubungan yang lebih special dan istimewa dengan perempuan itu. Seberapa besar usaha di awal yang diberikan oleh laki-laki tersebut dalam mendekati perempuan tersebut memang tidak selalu menjamin kelanggengan hubungan mereka, namun paling tidak...perempuan tersebut dapat lebih mudah mengukur dan memutuskan apakah laki-laki tersebut layak untuk diterima dan bersama-sama masuk ke dalam sebuah hubungan yang lebih serius dari sebelumnya. Bahkan ada beberapa cerita dari teman-temanku bahwa ada saudara mereka yang menjalin hubungan dengan menjadi sahabat pena, ketika kekasihnya berada di luar kota atau luar negeri namun komitmen dan hubungan tersebut tetap terjaga bahkan sampai ke jenjang pernikahan dan sampai memiliki anak cucu. Betapa mulia dan sucinya arti cinta dan kasih sayang ketika itu. Sebuah hal yang patut dan layak serta memang sudah seharusnya diperjuangkan.
Jika aku membandingkan dengan keadaan sekarang dimana komunikasi sudah menjadi semakin mudah, dengan adanya BBM, dan beragam sosial media...yang namanya pedekate dan menyukai seseorang menjadi semakin mudah. Perasaan suka dengan mudahnya muncul dan menghilang, seakan rasa itu tiada arti. Bukan berarti sudah tidak ada orang-orang yang masih menghargai sebuah rasa yang namanya "cinta" namun populasi manusia tersebut sepertinya semakin sedikit. Segala kemudahan yang ada seakan memudahkan segalanya dan membuat semuanya semakin instan, jika terlalu lama dan tidak dikasih respon, "tinggalin aja dech...kan masih banyak gebetan lain, kan belum kenal sama keluarganya juga, belum pernah ketemu langsung dan jalan berdua". Kenalan lewat BBM, add dari Facebook, terus ngajak chatting...kalau bosen, tinggalin aja dech. Betapa murahnya arti sebuah komunikasi saat pendekatan, bahkan tidak jarang yang akhirnya merasa bosan karena intensitas ngobrol dari pagi sampai malam setiap hari di BBM, Whatsapp, Line dan media sosial lainnya, sehingga temu muka untuk mebicarakan topik-topik yang belum sempat dibagi melalui telepon dan kangen bertemu langsung bukanlah lagi menjadi sebuah hal yang ditunggu-tunggu. Cinta dan kasih menjadi sebuah komoditas yang semakin diberi harga murah, bahkan bisa ditukar saat sudah bosan. "Aduh...dia nga bales-bales BBM gw, diajak jalan susah, ada aja alesannya" atau "gw whatsapp aja ah iseng-iseng...lagi bosen nich nga ada kerjaan". Semudah itu kah seharusnya sebuah hubungan yang merupakan awal langkah ke jenjang hubungan yang lebih serius dijalankan? Berapa banyak dari orang-orang di masa ini yang sering galau karena tiba-tiba ditinggal orang yang dipikir adalah gebetannya? Berapa banyak orang-orang di masa ini yang terjebak dalam hal yang disebut "friendzone" karena memudahkan arti menjalin sebuah hubungan?
Sudah serendah itu kah harga cinta dan kasih sayang? Masih ada kah cinta yang murni dan kasih sayang yang tulus yang patut untuk diperjuangkan? Bukan sekedar komoditas untuk mengisi penat dan kebosanan di kala tidak ada hiburan lain?
Aku menulis cerita ini bukan berarti cinta yang murni dan kasih sayang yang tulus itu sudah lenyap...tidak, namun dibutuhkan usaha lebih keras untuk menemukan manusia-manusia yang masih menghargai dan meninggikannya.
From me with love,
T
Jakarta, 13 Februari 2014
Lagi...aku ingin membandingkan tentang cinta beberapa tahun yang lalu dengan saat ini...
Jika membicarakan tentang cinta, ketika aku masih remaja, di zaman belum banyak media sosial, seorang laki-laki dan seorang perempuan baru bisa saling menyukai setelah benar-benar bertemu tatap muka, karena tidak ada yang namanya kirim-kirimin foto yang di-scan...kalaupun ada lewat email namun email masih sulit untuk diakses ketika itu, that's why they called it "love at first sight". Ketika seorang laki-laki ingin mendekati seorang perempuan, dia harus memberanikan dirinya untuk berkenalan dengan perempuan tersebut, menanyakan nomor telepon rumah dan telepon genggam (yang juga masih belum lazim dimiliki oleh remaja saat itu). Kemudian laki-laki itu harus memberanikan dirinya menelepon ke rumah perempuan itu dengan risiko telepon itu diangkat oleh ayah, ibu, kakek, nenek, om, tante, adik atau kakak dari perempuan itu. Dan saat itu pun menelepon dan berbincang-bincang di telepon tidak bisa lama-lama, apalagi jika menelepon ke telepon seluler karena tagihan telepon rumah bisa melambung tinggi jika keseringan telepon-teleponan, itulah mengapa yang namanya hari Sabtu, malam Minggu, menjadi sebuah hari sakral dan sangat penting bagi pasangan yang sedang menjalin hubungan. Pergi kencan di hari Sabtu juga kembali menjadi tantangan tersendiri buat sang laki-laki, karena dia harus menjemput perempuan itu ke rumahnya, izin kepada keluarga perempuan itu, menjemput dengan menggunakan taksi atau apapun asalkan memperlihatkan bahwa ada itikad baik kepada ayah atau ibu anak gadis tersebut. Kemudian hal paling menegangkan lainnya adalah ketika laki-laki tersebut harus menyatakan cinta kepada perempuan tersebut, menyatakan secara langsung dan empat mata. Diterima atau ditolak di depan mata, face to face, bukan melalui skype atau BBM. Dan ketika rasa itu dinyatakan, sang perempuan dapat mengukur seberapa besar rasa suka laki-laki tersebut dari usaha yang ditunjukkan kepada perempuan tersebut, mulai dari perkenalan pertama sampai rasa suka itu terucap. Seberapa besar kenekadan dan niat usaha laki-laki tersebut untuk menjalin hubungan yang lebih special dan istimewa dengan perempuan itu. Seberapa besar usaha di awal yang diberikan oleh laki-laki tersebut dalam mendekati perempuan tersebut memang tidak selalu menjamin kelanggengan hubungan mereka, namun paling tidak...perempuan tersebut dapat lebih mudah mengukur dan memutuskan apakah laki-laki tersebut layak untuk diterima dan bersama-sama masuk ke dalam sebuah hubungan yang lebih serius dari sebelumnya. Bahkan ada beberapa cerita dari teman-temanku bahwa ada saudara mereka yang menjalin hubungan dengan menjadi sahabat pena, ketika kekasihnya berada di luar kota atau luar negeri namun komitmen dan hubungan tersebut tetap terjaga bahkan sampai ke jenjang pernikahan dan sampai memiliki anak cucu. Betapa mulia dan sucinya arti cinta dan kasih sayang ketika itu. Sebuah hal yang patut dan layak serta memang sudah seharusnya diperjuangkan.
Jika aku membandingkan dengan keadaan sekarang dimana komunikasi sudah menjadi semakin mudah, dengan adanya BBM, dan beragam sosial media...yang namanya pedekate dan menyukai seseorang menjadi semakin mudah. Perasaan suka dengan mudahnya muncul dan menghilang, seakan rasa itu tiada arti. Bukan berarti sudah tidak ada orang-orang yang masih menghargai sebuah rasa yang namanya "cinta" namun populasi manusia tersebut sepertinya semakin sedikit. Segala kemudahan yang ada seakan memudahkan segalanya dan membuat semuanya semakin instan, jika terlalu lama dan tidak dikasih respon, "tinggalin aja dech...kan masih banyak gebetan lain, kan belum kenal sama keluarganya juga, belum pernah ketemu langsung dan jalan berdua". Kenalan lewat BBM, add dari Facebook, terus ngajak chatting...kalau bosen, tinggalin aja dech. Betapa murahnya arti sebuah komunikasi saat pendekatan, bahkan tidak jarang yang akhirnya merasa bosan karena intensitas ngobrol dari pagi sampai malam setiap hari di BBM, Whatsapp, Line dan media sosial lainnya, sehingga temu muka untuk mebicarakan topik-topik yang belum sempat dibagi melalui telepon dan kangen bertemu langsung bukanlah lagi menjadi sebuah hal yang ditunggu-tunggu. Cinta dan kasih menjadi sebuah komoditas yang semakin diberi harga murah, bahkan bisa ditukar saat sudah bosan. "Aduh...dia nga bales-bales BBM gw, diajak jalan susah, ada aja alesannya" atau "gw whatsapp aja ah iseng-iseng...lagi bosen nich nga ada kerjaan". Semudah itu kah seharusnya sebuah hubungan yang merupakan awal langkah ke jenjang hubungan yang lebih serius dijalankan? Berapa banyak dari orang-orang di masa ini yang sering galau karena tiba-tiba ditinggal orang yang dipikir adalah gebetannya? Berapa banyak orang-orang di masa ini yang terjebak dalam hal yang disebut "friendzone" karena memudahkan arti menjalin sebuah hubungan?
Sudah serendah itu kah harga cinta dan kasih sayang? Masih ada kah cinta yang murni dan kasih sayang yang tulus yang patut untuk diperjuangkan? Bukan sekedar komoditas untuk mengisi penat dan kebosanan di kala tidak ada hiburan lain?
Aku menulis cerita ini bukan berarti cinta yang murni dan kasih sayang yang tulus itu sudah lenyap...tidak, namun dibutuhkan usaha lebih keras untuk menemukan manusia-manusia yang masih menghargai dan meninggikannya.
From me with love,
T
Jakarta, 13 Februari 2014
No comments:
Post a Comment