Baru-baru ini, aku baru mendengar tentang sebuah akun twitter yang
sedang hangat dibicarakan oleh beberapa temanku yang aktif di sosial
media. Menurut mereka, akun twitter ini sangat berani dan lantang dalam
mengangkat sebuah berita yang masih menjadi rumor di masyarakat, menjadi
whistle blower untuk mengangkat topik yang biasa menjadi topik hangat.
Kemudian dalam seminggu terakhir ini, aku membaca isi akun twitter-nya
yang menurutku dan menurut beberapa temanku cukup provokatif dan
menyerang serta memojokkan salah satu etnis. Aku tidak tahu apakah
penilaianku itu salah dan subyektif tapi rasa tersebut yang kurasakan
ketika membaca isi twitternya. Lalu pertanyaan selanjutnya yang
terlintas dalam pikiranku adalah, "Apakah masyarakat Indonesia sudah
cukup cerdas untuk tidak lagi termakan oleh isu-isu perbedaan ras dan
agama?"
Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di kepalaku karena baru-baru ini aku baru saja berbagi cerita dengan beberapa temanku bahwa aku merasa saat ini masyarakat Indonesia sudah cukup cerdas untuk tidak lagi terprovokasi oleh isu-isu perbedaan dan kebhinekaan Indonesia. Ada beberapa orang yang membalas akun twitter dengan jawaban yang tidak kalah panasnya "Usir!" Namun jawaban lain yang membuatku terharu adalah "Hanya ada satu kata, Indonesia Raya, tidak ada lagi pribumi dan non-pribumi". Aku berharap semua generasi muda dan masyarakat Indonesia yang ada sekarang ini memiliki pikiran yang sama, kita adalah Indonesia Raya, tidak ada lagi pembedaan golongan menjadi pribumi dan non-pribumi.
Ketika kita kembali ke sejarah masa lalu, marilah kita mencoba untuk mengambil sisi positif dari perjuangan memperebutkan kemerdekaan. Mari kita kembali mengingat rasa nasionalisme bangsa ini dalam memperjuangkan Indonesia, tanpa membedakan ras, suku dan agama para pejuang tersebut. Perjuangan tersebut adalah milik kita bersama, tidak peduli dari mana kita berasal dan apakah kepercayaan kita. Kita tidak dapat mengubah jati diri dan identitas serta dari mana asal nenek moyang kita, karena hal tersebut adalah kuasa-NYA, ketika kita saling membedakan hanya karena permasalahan warna kulit serta asal dan latar belakang budaya, sepertinya hal tersebut tidak akan pernah usai dan seperti membahas pepesan kosong. Apakah salahku jika aku lahir dari keluarga etnis Tionghoa? Apakah salahku jika aku lahir dari keluarga suku Batak? Kemudian tentang agama dan apa yang kupercayai, itu adalah hubungan pribadiku dengan Tuhanku, mengapa harus mempermasalahkan seseorang itu beragama apa dan mempersalahkan seseorang saat mereka sedang menjalankan ritual agamanya? Agama dan kepercayaan adalah hak yang paling asasi dari manusia, hubungan yang sangat pribadi antara Tuhan dan penciptanya, adilkah jika hal tersebut harus diatur dan dipaksakan oleh satu oknum tertentu untuk mendapatkan kedamaian?
Seperti kutipan dari K.H. Hasyim Ashari di film Sang Kiai, terkadang prasangka buruk di masyarakat itu muncul bukan karena niat buruk tapi karena ketidaktahuan. Menurutku, kata-kata beliau ada benarnya, karena ketika kita tidak tahu dan tidak mengenal ditambah tidak bertanya, apa yang kita anggap tahu akan berkembang menjadi sebuah pengetahuan yang belum tentu benar dan akhirnya berkembang menjadi sebuah sudut pandang tentang sesuatu yang sebenarnya belum tentu benar. Ketika kita mulai mengarang sebuah cerita dan menjadikannya sebagai sebuah kebenaran tanpa menanyakan kepada narasumber yang seharusnya, berita tersebut akan menjadi sebuah kabar burung dan tak jarang akan merugikan pihak yang dibicarakan tersebut. Misalnya saja ketika muncul isu-isu miring tentang tindakan sekelompok agama atau ras tertentu, bisakah kita tidak langsung tersulut emosi dan mengambil tindakan emosional? Bisakah dan maukah kita berpikir jernih dan mengambil keputusan untuk mendiskusikannya atau menanyakan kebenarannya terlebih dahulu sebelum bertindak? Terlalu banyak prasangka dan pikiran negatif serta asumsi-asumsi sendiri yang dibuat oleh masyarakat, maukah kita berbenah diri dan saling berkomunikasi demi kesatuan bangsa ini? Agar tidak ada pihak-pihak yang bisa mengambil keuntungan dari isu-isu ini dan akhirnya merugikan pihak-pihak yang tidak bersalah?
Mampukah kita saat ini berpikiran lebih terbuka dan kristis ketika menerima sebuah informasi agar jangan menelannya bulat-bulat? Beranikah kita menanyakan kebenarannya kepada narasumber yang memang sedang dibicarakan?
Aku harap kita semua dapat berpikir dan bertindak semakin bijaksana seiring dengan semakin menuanya Ibu Pertiwi ini. Sudah banyak sejarah masa lalu yang menyakitkan dan memilukan yang dialami bangsa ini, maukah kita terluka dan disakiti untuk kesekian kalinya? Saling menyakiti sesama saudara untuk kepentingan segelintir orang. Maukah kita melihat dan memandang masalah secara lebih luas, ketika melihat tindakan salah, bisakah kita tidak langsung berkomentar karena dia beragama ini dan orang suku itu maka dia melakukan tindakan kejahatan ini. Karena jahat atau tidaknya seseorang itu kembali lagi kepada karakter dan perilakunya, bukan semata-mata karena agama dan rasnya.
Dari aku yang masih bertanya-tanya tentang diskriminasi di Bumi Pertiwi,
T
Jakarta, 2 Februari 2014
Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di kepalaku karena baru-baru ini aku baru saja berbagi cerita dengan beberapa temanku bahwa aku merasa saat ini masyarakat Indonesia sudah cukup cerdas untuk tidak lagi terprovokasi oleh isu-isu perbedaan dan kebhinekaan Indonesia. Ada beberapa orang yang membalas akun twitter dengan jawaban yang tidak kalah panasnya "Usir!" Namun jawaban lain yang membuatku terharu adalah "Hanya ada satu kata, Indonesia Raya, tidak ada lagi pribumi dan non-pribumi". Aku berharap semua generasi muda dan masyarakat Indonesia yang ada sekarang ini memiliki pikiran yang sama, kita adalah Indonesia Raya, tidak ada lagi pembedaan golongan menjadi pribumi dan non-pribumi.
Ketika kita kembali ke sejarah masa lalu, marilah kita mencoba untuk mengambil sisi positif dari perjuangan memperebutkan kemerdekaan. Mari kita kembali mengingat rasa nasionalisme bangsa ini dalam memperjuangkan Indonesia, tanpa membedakan ras, suku dan agama para pejuang tersebut. Perjuangan tersebut adalah milik kita bersama, tidak peduli dari mana kita berasal dan apakah kepercayaan kita. Kita tidak dapat mengubah jati diri dan identitas serta dari mana asal nenek moyang kita, karena hal tersebut adalah kuasa-NYA, ketika kita saling membedakan hanya karena permasalahan warna kulit serta asal dan latar belakang budaya, sepertinya hal tersebut tidak akan pernah usai dan seperti membahas pepesan kosong. Apakah salahku jika aku lahir dari keluarga etnis Tionghoa? Apakah salahku jika aku lahir dari keluarga suku Batak? Kemudian tentang agama dan apa yang kupercayai, itu adalah hubungan pribadiku dengan Tuhanku, mengapa harus mempermasalahkan seseorang itu beragama apa dan mempersalahkan seseorang saat mereka sedang menjalankan ritual agamanya? Agama dan kepercayaan adalah hak yang paling asasi dari manusia, hubungan yang sangat pribadi antara Tuhan dan penciptanya, adilkah jika hal tersebut harus diatur dan dipaksakan oleh satu oknum tertentu untuk mendapatkan kedamaian?
Seperti kutipan dari K.H. Hasyim Ashari di film Sang Kiai, terkadang prasangka buruk di masyarakat itu muncul bukan karena niat buruk tapi karena ketidaktahuan. Menurutku, kata-kata beliau ada benarnya, karena ketika kita tidak tahu dan tidak mengenal ditambah tidak bertanya, apa yang kita anggap tahu akan berkembang menjadi sebuah pengetahuan yang belum tentu benar dan akhirnya berkembang menjadi sebuah sudut pandang tentang sesuatu yang sebenarnya belum tentu benar. Ketika kita mulai mengarang sebuah cerita dan menjadikannya sebagai sebuah kebenaran tanpa menanyakan kepada narasumber yang seharusnya, berita tersebut akan menjadi sebuah kabar burung dan tak jarang akan merugikan pihak yang dibicarakan tersebut. Misalnya saja ketika muncul isu-isu miring tentang tindakan sekelompok agama atau ras tertentu, bisakah kita tidak langsung tersulut emosi dan mengambil tindakan emosional? Bisakah dan maukah kita berpikir jernih dan mengambil keputusan untuk mendiskusikannya atau menanyakan kebenarannya terlebih dahulu sebelum bertindak? Terlalu banyak prasangka dan pikiran negatif serta asumsi-asumsi sendiri yang dibuat oleh masyarakat, maukah kita berbenah diri dan saling berkomunikasi demi kesatuan bangsa ini? Agar tidak ada pihak-pihak yang bisa mengambil keuntungan dari isu-isu ini dan akhirnya merugikan pihak-pihak yang tidak bersalah?
Mampukah kita saat ini berpikiran lebih terbuka dan kristis ketika menerima sebuah informasi agar jangan menelannya bulat-bulat? Beranikah kita menanyakan kebenarannya kepada narasumber yang memang sedang dibicarakan?
Aku harap kita semua dapat berpikir dan bertindak semakin bijaksana seiring dengan semakin menuanya Ibu Pertiwi ini. Sudah banyak sejarah masa lalu yang menyakitkan dan memilukan yang dialami bangsa ini, maukah kita terluka dan disakiti untuk kesekian kalinya? Saling menyakiti sesama saudara untuk kepentingan segelintir orang. Maukah kita melihat dan memandang masalah secara lebih luas, ketika melihat tindakan salah, bisakah kita tidak langsung berkomentar karena dia beragama ini dan orang suku itu maka dia melakukan tindakan kejahatan ini. Karena jahat atau tidaknya seseorang itu kembali lagi kepada karakter dan perilakunya, bukan semata-mata karena agama dan rasnya.
Dari aku yang masih bertanya-tanya tentang diskriminasi di Bumi Pertiwi,
T
Jakarta, 2 Februari 2014
No comments:
Post a Comment