Terlahir sebagai seorang perempuan beretnis Tionghoa bukanlah pilihanku, bukankah setiap manusia tidak bisa memilih orangtuanya?
Apakah salahku jika aku terlahir di tanah air ini dan mengemban status sebagai Warga Negara Indonesia?
Apakah salahku jika aku ternyata dianggap sebagai kaum minoritas di tempat yang aku anggap sebagai negeriku sendiri?
Apakah pilihan keyakinanku harus membuat jarak dan perbedaan di antara aku dan kamu?
Perjalananku masuk ke dalam anggota masyarakat yang sangat beragam dimulai sejak aku masuk sekolah taman kanak-kanak. Ketika itu interaksiku tidak lekat, hanya dengan para tetangga yang bersebelahan rumah. Perjalanan yang sebenarnya dimulai ketika aku kuliah dan masuk ke sebuah kampus negeri yang cukup ternama di Depok. Ketika itu, interaksi yang sesungguhnya dimulai. Awal perjalananku berinteraksi dengan keberagaman cukup membuatku terintimidasi selama beberapa hari. Namun setelah itu, aku berhasil lulus dengan memiliki beragam teman dari berbagai suku dan kepercayaan.
Ketika aku diajak berbicara tentang diskriminasi, aku tidak akan menyangkal, ya...aku pernah mengalami diskriminasi. Itu adalah sebuah realita yang kualami. Dipanggil dengan sebutan "cina", "amoy", "nci-nci", "sipit, "cina glodok", dan sebutan-sebutan lainnya. Hati ini sakit, terluka. Dengan kondisi ini, seringkali aku dan beberapa sahabatku menempatkan diri sebagai korban. Aku menganggap diriku berada di situasi yang lemah dan ditindas.
Namun...kadang aku berpikir, bagaimana jika aku membalik situasi dan keadaan. Sudikah aku memahami isi pikiran mereka, mereka yang pernah mendiskriminasi kami?
Jika aku boleh berbicara...
Seringkali kami sebagai salah satu etnis yang tinggal di Indonesia, menganggap strata kami lebih tinggi jika dibandingkan dengan etnis lain yang juga tinggal di negeri ini. Jika kita mau menelisik lebih dalam, memang ada peran sejarah dalam pencitraan ini. Pencitraan tersebut, tanpa disadari, sepertinya telah membuat etnis kami menjadi merasa eksklusif.
Ada beberapa keluarga yang kukenal memang membatasi pergaulannya, bahkan sampai ke anak-anaknya. Beragam alasan mereka keluarkan. Sejarah pahit di masa lalu. Perbedaan level keluarga. Alasan ini dan itu yang membuat kami para anak tanpa disadari terdoktrinasi dengan pemikiran itu. Aku pernah menjadi salah satu korban doktrinasi tersebut.
Terkadang aku ingin bertanya kepada para sahabatku itu, bukankah dengan cara seperti itu, itu adalah cara kami mendiskriminasi orang yang berbeda. Jadi sesungguhnya...siapa yang mendiskriminasi siapa?
Ketika saat ini negara Tiongkok maju dan dikagumi, beberapa sahabat etnis Tionghoa dengan bangganya mengatakan "Saya bangga menjadi orang Tionghoa", bahkan mungkin aku pernah juga mengatakan hal tersebut. Jadi wajarkah jika kita merasa didiskriminasi? Kita berteriak-teriak bahwa ada ketidakadilan, kita didiskriminasi. Namun...jika kita kembali ke tanah Tiongkok yang sering kita elu-elukan dan manjakan, apakah mereka benar akan menerima dan tidak akan membedakan kita?
Pernahkah kita belajar memahami pemikiran mereka yang selama ini telah kita diskriminasi?
Pemikiran mereka yang selama ini kita anggap mendiksriminasi?
Pernahkah kita berkaca dan menelisik lebih jauh?
Siapakah kita dan siapakah mereka?
Apakah yang ada dalam pikiran mereka?
Apakah kita pernah berbagi tentang apa yang kita pikirkan?
Kita yang terlahir di tanah air Indonesia secara langsung menjadi Warga Negara Indonesia, menjadi bagian dari Bangsa Indonesia
Pernahkah kita merenungkan...beras yang kita makan...air yang kita minum...tanah yang kita pijak selama ini...pernahkah kita berterima kasih kepada Ibu Pertiwi yang sudah membesarkan kita?
Adakah kebanggaan kita sebagai Bangsa Indonesia?
Sudikah kita dengan lantang di mata internasional mengatakan "Saya bangga menjadi Bangsa Indonesia"?
Maukah kita memahami sedikit arti dari kebhinekaan dan keberagaman?
Berhenti memosisikan diri menjadi korban dan yang didiskriminasi?
Aku menuliskan ini bukan karena aku ingin disebut nasionalis.
Aku juga tidak mengatakan bahwa dengan berpikiran terbuka diksriminasi akan hilang dengan sekejap.
Ketidakadilan akan tetap ada dan dirasakan.
Diskriminasi masih akan terjadi.
Namun seperti pesan seorang sahabat kepadaku, ini adalah saatnya kita bicara sebagai Bangsa Indonesia, bukan lagi etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Maukah kita memulainya dari diri kita sendiri?
Dari aku yang masih belajar memahami makna perbedaan,
T
Jakarta, 10 Juli 2014
Apakah salahku jika aku terlahir di tanah air ini dan mengemban status sebagai Warga Negara Indonesia?
Apakah salahku jika aku ternyata dianggap sebagai kaum minoritas di tempat yang aku anggap sebagai negeriku sendiri?
Apakah pilihan keyakinanku harus membuat jarak dan perbedaan di antara aku dan kamu?
Perjalananku masuk ke dalam anggota masyarakat yang sangat beragam dimulai sejak aku masuk sekolah taman kanak-kanak. Ketika itu interaksiku tidak lekat, hanya dengan para tetangga yang bersebelahan rumah. Perjalanan yang sebenarnya dimulai ketika aku kuliah dan masuk ke sebuah kampus negeri yang cukup ternama di Depok. Ketika itu, interaksi yang sesungguhnya dimulai. Awal perjalananku berinteraksi dengan keberagaman cukup membuatku terintimidasi selama beberapa hari. Namun setelah itu, aku berhasil lulus dengan memiliki beragam teman dari berbagai suku dan kepercayaan.
Ketika aku diajak berbicara tentang diskriminasi, aku tidak akan menyangkal, ya...aku pernah mengalami diskriminasi. Itu adalah sebuah realita yang kualami. Dipanggil dengan sebutan "cina", "amoy", "nci-nci", "sipit, "cina glodok", dan sebutan-sebutan lainnya. Hati ini sakit, terluka. Dengan kondisi ini, seringkali aku dan beberapa sahabatku menempatkan diri sebagai korban. Aku menganggap diriku berada di situasi yang lemah dan ditindas.
Namun...kadang aku berpikir, bagaimana jika aku membalik situasi dan keadaan. Sudikah aku memahami isi pikiran mereka, mereka yang pernah mendiskriminasi kami?
Jika aku boleh berbicara...
Seringkali kami sebagai salah satu etnis yang tinggal di Indonesia, menganggap strata kami lebih tinggi jika dibandingkan dengan etnis lain yang juga tinggal di negeri ini. Jika kita mau menelisik lebih dalam, memang ada peran sejarah dalam pencitraan ini. Pencitraan tersebut, tanpa disadari, sepertinya telah membuat etnis kami menjadi merasa eksklusif.
Ada beberapa keluarga yang kukenal memang membatasi pergaulannya, bahkan sampai ke anak-anaknya. Beragam alasan mereka keluarkan. Sejarah pahit di masa lalu. Perbedaan level keluarga. Alasan ini dan itu yang membuat kami para anak tanpa disadari terdoktrinasi dengan pemikiran itu. Aku pernah menjadi salah satu korban doktrinasi tersebut.
Terkadang aku ingin bertanya kepada para sahabatku itu, bukankah dengan cara seperti itu, itu adalah cara kami mendiskriminasi orang yang berbeda. Jadi sesungguhnya...siapa yang mendiskriminasi siapa?
Ketika saat ini negara Tiongkok maju dan dikagumi, beberapa sahabat etnis Tionghoa dengan bangganya mengatakan "Saya bangga menjadi orang Tionghoa", bahkan mungkin aku pernah juga mengatakan hal tersebut. Jadi wajarkah jika kita merasa didiskriminasi? Kita berteriak-teriak bahwa ada ketidakadilan, kita didiskriminasi. Namun...jika kita kembali ke tanah Tiongkok yang sering kita elu-elukan dan manjakan, apakah mereka benar akan menerima dan tidak akan membedakan kita?
Pernahkah kita belajar memahami pemikiran mereka yang selama ini telah kita diskriminasi?
Pemikiran mereka yang selama ini kita anggap mendiksriminasi?
Pernahkah kita berkaca dan menelisik lebih jauh?
Siapakah kita dan siapakah mereka?
Apakah yang ada dalam pikiran mereka?
Apakah kita pernah berbagi tentang apa yang kita pikirkan?
Kita yang terlahir di tanah air Indonesia secara langsung menjadi Warga Negara Indonesia, menjadi bagian dari Bangsa Indonesia
Pernahkah kita merenungkan...beras yang kita makan...air yang kita minum...tanah yang kita pijak selama ini...pernahkah kita berterima kasih kepada Ibu Pertiwi yang sudah membesarkan kita?
Adakah kebanggaan kita sebagai Bangsa Indonesia?
Sudikah kita dengan lantang di mata internasional mengatakan "Saya bangga menjadi Bangsa Indonesia"?
Maukah kita memahami sedikit arti dari kebhinekaan dan keberagaman?
Berhenti memosisikan diri menjadi korban dan yang didiskriminasi?
Aku menuliskan ini bukan karena aku ingin disebut nasionalis.
Aku juga tidak mengatakan bahwa dengan berpikiran terbuka diksriminasi akan hilang dengan sekejap.
Ketidakadilan akan tetap ada dan dirasakan.
Diskriminasi masih akan terjadi.
Namun seperti pesan seorang sahabat kepadaku, ini adalah saatnya kita bicara sebagai Bangsa Indonesia, bukan lagi etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Maukah kita memulainya dari diri kita sendiri?
Dari aku yang masih belajar memahami makna perbedaan,
T
Jakarta, 10 Juli 2014
No comments:
Post a Comment