30 September 2004.
"Callista...sepertinya hubungan ini tidak berjalan dengan baik. Mungkin kita cukup sampai disini saja"
Callista membaca layar komputer di warnet sebelah sekolahnya. Tak mampu berbicara, entah mengapa hatinya terasa pedih. Sakit, tanpa dia mengerti apa yang sudah menusuknya. Dengan segera dia mematikan layar komputer dan membayar uang kepada penjaga warnet. Dia segera berlari keluar. Sepasang mata tersebut dengan susah payah menahan air mata agar tidak tertumpah dari matanya yang sudah berkaca-kaca.
Akhirnya hari ini datang juga. Sebuah hari dimana semuanya harus berakhir. Dirinya tak percaya, Randy tega menuliskan tulisan itu hanya melalui chat messenger. Setelah satu bulan berjuang menjalani long distance, semuanya sia-sia. Dan semua ini harus berakhir tepat dua minggu sebelum hubungan mereka berumur satu tahun.
=========================================================================
14 Oktober 2003.
"Iya Ko...Dede mau jadi pacar Koko"
"Beneran De? Kamu terima Koko?"
"Iya Ko"
Setelah mengenal Randy selama beberapa bulan akhirnya dia menanyakan pertanyaan itu kepadaku.
Aku merasa seperti berada di dalam cerita dongeng. Ya...aku merasa senang.
"Jadi mulai hari ini kita pacaran ya De?"
Dan aku hanya tersenyum manja.
Hari itu merupakan hari yang paling membahagiakan untukku. Kakak kelas yang selama ini aku kagumi sejak di OSIS mengungkapkan rasanya padaku beberapa hari yang lalu. Dan sepertinya aku siap...untuk merasakan yang namanya berpacaran.
Hari-hari yang kujalani ketika bersama dengan dirinya terasa menyenangkan. Sepertinya belum pernah aku merasakan rasa seperti ini. Diperhatikan. Dimanja. Disayang. Telepon dan SMS dilakukan tanpa henti.
Aku selalu datang ke sekolah lebih pagi. Setiap hari merupakan hari-hari yang indah. Sekolah terasa begitu menyenangkan. Jam-jam pelajaran membuatku merindukannya dan jam istirahat adalah waktu yang selalu kutunggu. Melihat senyumnya saja sudah cukup membuatku senang. Mendengar suara dan tawa renyahnya ketika dia bercanda dengan teman-temannya.
Akhir minggu selalu menjadi waktu yang aku tunggu-tunggu. Walau hanya kuhabiskan dengan makan siang ala pelajar dan nonton bioskop, sudah cukup menyenangkan rasanya. Di saat hanya berdua, kita bercerita tentang banyak hal. Dia menceritakan tentang mimpi-mimpinya. Dia ingin menjadi seorang musisi terkenal. Dia ingin kuliah di luar negeri. Dia ingin mencari orang yang berhasil. Dia ingin mewujudkan mimpinya.
Ya..Randy setahun lebih tua daripada diriku. Beberapa bulan yang akan datang, dia akan berkuliah. Entah dimana dia akan berkuliah dan akan berjalan bagaimana hubungan kita. Tidak ada satu pun dari aku dan dia yang mengetahuinya.
Waktu berlalu begitu cepat. Randy sudah menjalankan ujian akhir nasional. Hari-harinya diisi dengan belajar. Intensitas komunikasi sedikit berkurang. Kadang kami bertengkar karena masalah komunikasi dan salah paham. Mungkin aku harus belajar untuk memahami dia dan kesibukannya. Baiklah. Hari-hari berlalu dan aku belajar menahan rasa kangen yang kadang tidak masuk akal ini.
Akhirnya Randy berhasil lulus SMA dan tiba saat dimana dia harus mendaftar ke perguruan tinggi yang dia inginkan. Awalnya dia mendaftar ke sebuah perguruan tinggi swasta ternama di Bandung. Beberapa bulan sebelum kepindahannya ke Bandung, dengan sangat semangat dia memberitahuku bahwa ayahnya mempunyai dana lebih untuk mengirimnya berkuliah ke luar negeri.
"Tenang aja Sayang, kalau dalam waktu enam bulan aku nga betah, aku akan kembali ke Indonesia dan berkuliah di Bandung. Kamu tahu kan kalau aku nga pernah tinggal di luar negeri dan aku tidak suka bergaul. Mungkin saja aku tidah betah dan kembali ke Indonesia, karena perguruan tinggi swasta di Bandung itu bisa menerima cuti satu semester pertama."
"Iya Sayang, apa pun yang terbaik buat kamu, aku pasti doain"
"Terus...bagaimana dengan kita?"
"Kamu percaya dengan hubungan jarak jauh?"
"Aku nga tahu"
"Nga ada salahnya kan kita mencoba"
"Okay"
Aku tersenyum. Namun di dalam hati aku tahu, ini adalah sebuah awal permulaan dari akhir yang akan aku rasakan.
6-9 Juli 2004.
"Sayang...Mama aku nga boleh tahu ya kalau kamu ikut ke Carita karena Mama bilang kita berdua harus mulai belajar menjalani hubungan long distance. Selama ini mama melihat kita berdua terlalu bergantung satu sama lain. Mama takut kalau kita ke Carita malah akan mempersulit keadaan"
"Iya Sayang, aku ngerti koq"
Perjalanan ke Carita ternyata merupakan kenangan terakhir aku dan dia.
Berjalan di pinggir pantai. Memandang bulan dan bintang yang kerlap kerlip di malam hari sambil bergandengan tangan.
Saat itu aku memandang wajahnya, lama sekali.
Aku ingin mengabadikan saat itu. Saat terakhir aku bersama dan dekat dengan dirinya, sebelum dipisahkan oleh benua dan samudra.
Masa-masa di Carita merupakan kenangan terindah yang aku miliki bersama dengannya.
21 Agustus 2004.
Terminal 2. Bandara Soekarno-Hatta.
Akhirnya kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta.
"Sayang...Koko pergi dulu ya, sesampainya disana Koko akan langsung hubungi kamu"
"Iya Sayang. Take care."
"Aku sayang kamu"
Dan dia memelukku erat dan mengecup keningku. Ternyata itu adalah pelukan terakhir dia untukku.
"Iya..aku juga sayang kamu"
======================================================================
31 Oktober 2004.
Perjalanan mereka masih sangat jelas tergambar di dalam ingatan Callista.
Sepanjang perjalanan pulang dirinya terus bertanya, mengapa dia tega melakukan ini semua?
Apa salahku? Apa aku tidak cukup baik?
Begitu mudahnya dia melupakan aku.
Sesampainya di rumah, rasa sakit itu tak terbendung.
Pedih dan begitu memilukan.
Entah dari mana datangnya, hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk dengan ribuan belati tajam dan beracun.
Kehilangan kemampuan untuk tersenyum.
Dirinya hanya bisa menangis dan menangis setiap malam.
Telepon dari Randy di sebuah malam seakan hanya menegaskan perpisahan itu.
Tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia tak berdaya dan terluka.
Berada di penghujung akhir sekolah menengah atas, persiapan untuk menghadapi ujian akhir harus dilakukan.
Piliihannya adalah lulus dengan memuaskan atau tidak lulus sama sekali.
Setiap hari setelah itu Callista hanya mengisinya dengan belajar, belajar dan belajar.
Hari-hari di sekolah terasa seperti siksaan karena setiap orang, baik teman sekelas, junior di sekolah bahkan para guru sekalipun menanyakan apa kabar Randy dan jika saat dia mengatakan sudah putus, pertanyaan lanjutan yang tak kalah menyakitkannya datang "Wah kenapa? Padahal cocok banget lho"
Waktu satu tahun itu tak lagi digunakannya untuk mengenal makhluk bernama pria. Dirinya hanya fokus pada berbagai mata pelajaran di sekolah.
Rasa sakit dan patah hati mengantar Callista menjadi ranking pertama berturut-turut di kelasnya. Menjadi salah satu perwakilan sekolah mengikuti lomba di dua universitas di Jakarta dijalaninya dengan semangat. Di penghujung tahun ajaran, dirinya lulus dengan nilai ujian akhir yang cukup memuaskan dan akhirnya berhasil masuk ke sebuah perguruan tinggi negeri yang cukup ternama di Indonesia.
Entah dirinya harus berterima kasih atau membenci Randy, Callista tidak mengerti. Namun rasa sakit itu telah mengajarkan banyak hal padanya. Kepedihan ini membuatnya lebih fokus menjalani tahun terakhirnya di sekolah menengah atas. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Satu hal yang dia tahu, dia siap untuk melangkah. Dirinya siap untuk menjalani sebuah babak baru dalam hidupnya. Menjadi seorang mahasiswa. Sebuah cerita dan kisah baru siap untuk dimulai.
26 Juni 2005.
Pk.21.00.
Kriiingggg.....telepon di rumah berbunyi. Karena di rumah tidak ada orang, akhirnya Callista mengangkatnya.
"Hallo..."
"Hallo..."
"Hey Ta..ini aku, Randy, aku sudah sampai di Jakarta"
Dan Callista hanya bisa terdiam.
Dari aku yang bercerita tentangnya,
T
Jakarta, 8 September 2014
No comments:
Post a Comment