Indonesia.
29 tahun yang lalu.
Aku dilahirkan di sebuah negeri.
Indonesia namanya.
Terletak di Asia Tenggara.
Sebuah negara kepulauan.
Yang menurut orang-orang memiliki alam yang indah.
Memiliki sejarah yang panjang dan kaya.Terdiri dari beragam suku dan budaya.
Bahasa.
Daerah.
Bhinneka Tunggal Ika.
Berbeda-beda tetapi tetap satu, katanya.
Aku adalah perempuan Indonesia beretnis Tionghoa.
Mata sipit.
Kulit putih.
Menjadi ciri khas kami.
Aku dibesarkan di daerah pecinan.
Budaya etnis Tionghoa sering aku lihat dalam keseharianku.
Ketika itu aku tidak tahu kalau kami sering disebut kaum minoritas.
Kaum pendatang.
Dari negeri Tiongkok katanya.
Mereka menyebutnya Cina.
Aku masih ingat.18 tahun lalu.
Ketika itu bulan Mei.
Aku dipulangkan dari sekolah.
Guru-guru juga bergegas pulang.
Apa yang terjadi?
Aku tidak mengerti.
Dalam perjalanan pulang aku hanya melihat orang berlarian.
"Kerusuhan," kata mereka yang ada di jalan.
Selama beberapa hari suasana di rumah terasa mencekam.
Radio tidak berhenti didengarkan sepanjang hari.
Sang penyiar memberikan berita terbaru tentang kerusuhan.
Pembakaran.
Penjarahan.
Glodok kebakaran katanya.
Barang-barang dijarah.
Lalu banyak orang lalu lalang di depan rumah.
Membawa TV.
Kulkas yang sangat besar.
Alat-alat elektronik lainnya.
Banyak pembakaran dan perusakan di sana sini.Terkadang kami mendengar segerombolan orang berlari sambil berkata, "Tutup pintu rumah. Kunci rapat-rapat, ada massa datang"
Selama beberapa hari kami diam di rumah.
Gelisah.
Khawatir.
Takut.
Terancam.
Akankah kami selamat?
Bagaimana kalau para perusuh menyerbu daerah rumah kami?
Bagaimana kalau mereka menghancurkan rumah kami?
Ada demo di istana.
Banyak mahasiswa turun ke jalan.
Ada apa?
Beberapa hari kemudian situasi mereda.
Di berita mulai muncul berita-berita tentang akibat kerusuhan.
Orang-orang yang meninggal.
Banyak perempuan Tionghoa yang menjadi korban.
Toko-toko dibakar.
Hilang.
Diperkosa.
Jahat.
Apakah benar kami kaum minoritas?
Apakah salah kami sehingga kami begitu sangat dibenci?
Apakah kami begitu berbeda?
Aku tidak mengerti.
Aku takut, tidak berdaya.
Dan perlahan peristiwa itu berlalu.
Sebuah cerita yang tidak akan mudah dilupakan bagi kami.
Ketika beranjak remaja, aku sering mendengar kata-kata ini di jalan.
Hey Cina.
Amoi.
Mei-mei.
Ling-ling.
Sebutan yang seringkali kudengar ketika di jalan.
Di tengah panasnya jalanan Jakarta.
Berteriak sambil tertawa.
Tatapan genit atau sinis.
Mengapa mereka seperti itu?
Risih tapi entah harus berbuat apa.
Mungkin aku memang berbeda dari mereka.
Waktu berlalu setelah peristiwa itu.
7 tahun kemudian.
Universitas negeri.
Suasana kampus yang beragam.
Orang-orang yang berbeda.
Beragam warna kulit
Jawa.
Sunda.
Batak.
Betawi.
Timor.
Kulit kuning langsat.
Sawo matang.
Coklat.
Beragam daerah, suku bangsa, budaya, bahasa, keyakinan.
Dan ketika itu aku baru tahu.
Ternyata benar aku adalah minoritas.
Sebagian kecil dari Bangsa Indonesia.
Rasa terintimidasi datang.
Sedikit ketakutan muncul.
Bisakah aku diterima?
Dengan segala perbedaan yang ada.
Prasangka.
Waktu berjalan.
Aku belajar mengenal mereka.
Dan mereka belajar mengenal aku.
Mereka sangat ramah.
Mereka terbuka.
Mereka baik.
Hanya saja mereka belum terbiasa dengan orang-orang seperti aku.
Orang-orang beretnis Tionghoa.
Mungkin kami sebagai kaum minoritas menjadi terlalu eksklusif.
Sengaja membuat jarak.
Tidak ada celah untuk dekat dan saling bercerita.
Tidak ada kesempatan untuk bertukar pikiran.
Persahabatan kami bukanlah berdasarkan asal-usul kami.
Persahabatan kami karena kecocokan dalam karakter secara individu.
Terlepas dari apa agama kami, siapa kami, orang apa kami
Kami belajar memahami perbedaan kami.
Menghargai walau tidak harus selalu mengerti.
Dan menikmati kebersamaan dan kesamaan yang kami miliki.
Kami memang berbeda.
Tapi perbedaan itu tidak menjadi penghalang persahabatan kami.
Aku menyukai mereka.
Aku mencintai bangsa ini.
Aku adalah bagian dari mereka.
Aku dan mereka adalah kami.
Kami adalah satu.
Kami adalah bangsa Indonesia.
Lalu hari ini datang.
Situasi yang kembali memanas.
Isu tentang perbedaan agama yang kembali diangkat.
Isu tentang perbedaan etnis.
Bahkan isu tentang makanan khas daerah lain pun diangkat.
Lalu agama si pendatang dibahas.
Bahasa dan aksara si pendatang.
Dan haruskah ini kembali diangkat menjadi sebuah isu di sosial media?
Ada yang membela.
Ada yang kembali marah.
Ada yang bersuara.
Ada yang tidak peduli.
Percikan-percikan itu kembali muncul.
Dan ketika mereka yang tidak memahami ikut berbicara.
Ikut memanas-manasi situasi yang sudah panas.
Digiring dalam isu-isu tersebut..
Isu-isu yang seharusnya sudah mereda.
Yang seharusnya sudah teredam.
Seakan kemajuan yang terjadi menjadi sebuah kesia-siaan.
Dan seorang cici yang bosan membaca berita di sosial media hanya bisa terdiam.
Entah berapa kali cici ini sering bercerita dan menulis tentang keragaman bangsa ini yang begitu menyenangkan.
Haruskah ini semua terjadi lagi?
Mengapa kembali ada sebutan kaum pendatang?
Apakah sungguh tidak ada kontribusi baik yang pernah diberikan kepada negeri ini?
Haruskah dijadikan kambing hitam lagi?
Dipersalahkan setiap ada hal yang tidak baik di negeri yang kaya ini?
Katanya ada toleransi.
Tenggang rasa.
Tepa selira.
Sungguhkah?
Haruskah setiap perbedaan yang ada kembali diangkat dan menyulut pertikaian?
Sampai kapan harus terus membela diri?
Apakah sungguh tidak diakui sebagai bagian dari bangsa ini?
Ketika kami yang lahir dan besar di sini.
Dibesarkan oleh tanah dan air di bumi ini.
Haruskah setiap usaha untuk menjembatani setiap perbedaan menjadi sia-sia kembali?
Seandainya saja emosi dapat mereda sejenak.
Bersama-sama menelaah kembali sejarah bangsa yang kaya ini.
Kita sama-sama belajar lagi.
Berpikir sebelum menyulut amarah.
Dan bukanlah terlalu ironis melihat bangsa ini memecah dirinya sendiri saat sedang akan menyambut peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945?
Hari Kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dari penjajahan.
Sungguhkah sudah merdeka?
Entahlah.
Mungkin cici lelah.
Kicauan panjang cici yang sedang lelah,
15 hari sebelum perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia,
T
Pecinan Jakarta, 2 Agustus 2016
29 tahun yang lalu.
Aku dilahirkan di sebuah negeri.
Indonesia namanya.
Terletak di Asia Tenggara.
Sebuah negara kepulauan.
Yang menurut orang-orang memiliki alam yang indah.
Memiliki sejarah yang panjang dan kaya.Terdiri dari beragam suku dan budaya.
Bahasa.
Daerah.
Bhinneka Tunggal Ika.
Berbeda-beda tetapi tetap satu, katanya.
Aku adalah perempuan Indonesia beretnis Tionghoa.
Mata sipit.
Kulit putih.
Menjadi ciri khas kami.
Aku dibesarkan di daerah pecinan.
Budaya etnis Tionghoa sering aku lihat dalam keseharianku.
Ketika itu aku tidak tahu kalau kami sering disebut kaum minoritas.
Kaum pendatang.
Dari negeri Tiongkok katanya.
Mereka menyebutnya Cina.
Aku masih ingat.18 tahun lalu.
Ketika itu bulan Mei.
Aku dipulangkan dari sekolah.
Guru-guru juga bergegas pulang.
Apa yang terjadi?
Aku tidak mengerti.
Dalam perjalanan pulang aku hanya melihat orang berlarian.
"Kerusuhan," kata mereka yang ada di jalan.
Selama beberapa hari suasana di rumah terasa mencekam.
Radio tidak berhenti didengarkan sepanjang hari.
Sang penyiar memberikan berita terbaru tentang kerusuhan.
Pembakaran.
Penjarahan.
Glodok kebakaran katanya.
Barang-barang dijarah.
Lalu banyak orang lalu lalang di depan rumah.
Membawa TV.
Kulkas yang sangat besar.
Alat-alat elektronik lainnya.
Banyak pembakaran dan perusakan di sana sini.Terkadang kami mendengar segerombolan orang berlari sambil berkata, "Tutup pintu rumah. Kunci rapat-rapat, ada massa datang"
Selama beberapa hari kami diam di rumah.
Gelisah.
Khawatir.
Takut.
Terancam.
Akankah kami selamat?
Bagaimana kalau para perusuh menyerbu daerah rumah kami?
Bagaimana kalau mereka menghancurkan rumah kami?
Ada demo di istana.
Banyak mahasiswa turun ke jalan.
Ada apa?
Beberapa hari kemudian situasi mereda.
Di berita mulai muncul berita-berita tentang akibat kerusuhan.
Orang-orang yang meninggal.
Banyak perempuan Tionghoa yang menjadi korban.
Toko-toko dibakar.
Hilang.
Diperkosa.
Jahat.
Apakah benar kami kaum minoritas?
Apakah salah kami sehingga kami begitu sangat dibenci?
Apakah kami begitu berbeda?
Aku tidak mengerti.
Aku takut, tidak berdaya.
Dan perlahan peristiwa itu berlalu.
Sebuah cerita yang tidak akan mudah dilupakan bagi kami.
Ketika beranjak remaja, aku sering mendengar kata-kata ini di jalan.
Hey Cina.
Amoi.
Mei-mei.
Ling-ling.
Sebutan yang seringkali kudengar ketika di jalan.
Di tengah panasnya jalanan Jakarta.
Berteriak sambil tertawa.
Tatapan genit atau sinis.
Mengapa mereka seperti itu?
Risih tapi entah harus berbuat apa.
Mungkin aku memang berbeda dari mereka.
Waktu berlalu setelah peristiwa itu.
7 tahun kemudian.
Universitas negeri.
Suasana kampus yang beragam.
Orang-orang yang berbeda.
Beragam warna kulit
Jawa.
Sunda.
Batak.
Betawi.
Timor.
Kulit kuning langsat.
Sawo matang.
Coklat.
Beragam daerah, suku bangsa, budaya, bahasa, keyakinan.
Dan ketika itu aku baru tahu.
Ternyata benar aku adalah minoritas.
Sebagian kecil dari Bangsa Indonesia.
Rasa terintimidasi datang.
Sedikit ketakutan muncul.
Bisakah aku diterima?
Dengan segala perbedaan yang ada.
Prasangka.
Waktu berjalan.
Aku belajar mengenal mereka.
Dan mereka belajar mengenal aku.
Mereka sangat ramah.
Mereka terbuka.
Mereka baik.
Hanya saja mereka belum terbiasa dengan orang-orang seperti aku.
Orang-orang beretnis Tionghoa.
Mungkin kami sebagai kaum minoritas menjadi terlalu eksklusif.
Sengaja membuat jarak.
Tidak ada celah untuk dekat dan saling bercerita.
Tidak ada kesempatan untuk bertukar pikiran.
Persahabatan kami bukanlah berdasarkan asal-usul kami.
Persahabatan kami karena kecocokan dalam karakter secara individu.
Terlepas dari apa agama kami, siapa kami, orang apa kami
Kami belajar memahami perbedaan kami.
Menghargai walau tidak harus selalu mengerti.
Dan menikmati kebersamaan dan kesamaan yang kami miliki.
Kami memang berbeda.
Tapi perbedaan itu tidak menjadi penghalang persahabatan kami.
Aku menyukai mereka.
Aku mencintai bangsa ini.
Aku adalah bagian dari mereka.
Aku dan mereka adalah kami.
Kami adalah satu.
Kami adalah bangsa Indonesia.
Lalu hari ini datang.
Situasi yang kembali memanas.
Isu tentang perbedaan agama yang kembali diangkat.
Isu tentang perbedaan etnis.
Bahkan isu tentang makanan khas daerah lain pun diangkat.
Lalu agama si pendatang dibahas.
Bahasa dan aksara si pendatang.
Dan haruskah ini kembali diangkat menjadi sebuah isu di sosial media?
Ada yang membela.
Ada yang kembali marah.
Ada yang bersuara.
Ada yang tidak peduli.
Percikan-percikan itu kembali muncul.
Dan ketika mereka yang tidak memahami ikut berbicara.
Ikut memanas-manasi situasi yang sudah panas.
Digiring dalam isu-isu tersebut..
Isu-isu yang seharusnya sudah mereda.
Yang seharusnya sudah teredam.
Seakan kemajuan yang terjadi menjadi sebuah kesia-siaan.
Dan seorang cici yang bosan membaca berita di sosial media hanya bisa terdiam.
Entah berapa kali cici ini sering bercerita dan menulis tentang keragaman bangsa ini yang begitu menyenangkan.
Haruskah ini semua terjadi lagi?
Mengapa kembali ada sebutan kaum pendatang?
Apakah sungguh tidak ada kontribusi baik yang pernah diberikan kepada negeri ini?
Haruskah dijadikan kambing hitam lagi?
Dipersalahkan setiap ada hal yang tidak baik di negeri yang kaya ini?
Katanya ada toleransi.
Tenggang rasa.
Tepa selira.
Sungguhkah?
Haruskah setiap perbedaan yang ada kembali diangkat dan menyulut pertikaian?
Sampai kapan harus terus membela diri?
Apakah sungguh tidak diakui sebagai bagian dari bangsa ini?
Ketika kami yang lahir dan besar di sini.
Dibesarkan oleh tanah dan air di bumi ini.
Haruskah setiap usaha untuk menjembatani setiap perbedaan menjadi sia-sia kembali?
Seandainya saja emosi dapat mereda sejenak.
Bersama-sama menelaah kembali sejarah bangsa yang kaya ini.
Kita sama-sama belajar lagi.
Berpikir sebelum menyulut amarah.
Dan bukanlah terlalu ironis melihat bangsa ini memecah dirinya sendiri saat sedang akan menyambut peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945?
Hari Kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dari penjajahan.
Sungguhkah sudah merdeka?
Entahlah.
Mungkin cici lelah.
Kicauan panjang cici yang sedang lelah,
15 hari sebelum perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia,
T
Pecinan Jakarta, 2 Agustus 2016
No comments:
Post a Comment