Friday, August 5, 2016

Perempuan Punya Cerita : Aku Suka Dia, Tapi...



Rabu malam di pertengahan bulan Juli.
Di sebuah kedai indomie goreng dekat rumah.

“Jadi apa cerita kamu Lus?” tanya Naya ke Lusi, teman kantor yang baru dikenalnya dua tahun yang lalu.
Sambil menyeruput jeruk peras hangat asam kesukaannya dan menunggu semangkuk Indomie goreng pedas favoritnya datang.
“Nay...gw baru ngomong  suka sama cowok.”
“Terus?”
“Terus...apa gw salah? Malu-maluin ya?”
“Memalukan? Kenapa? No...terus cowok itu jawab apa?”
“Dia ngga bisa jawab...katanya dia butuh waktu buat memikirkan semuanya.”
“Terus?”
“Terus apalagi Nay?”
“Ya terus...elo diem aja digituin?”

“Ini Neng Indomie pesanannya kayak biasa,” si abang penjual Indomie datang membawakan dua mangkuk Indomie goreng yang masih panas dan kelihatan sangat nikmat.
“Oiya Bang...makasih ya...tahu aja pesanan favorit saya.”
“Pasti dong Neng. Enjoy ya Neng sama temennya.”
“Pasti Bang, gaya banget si Abang pake bahasa Inggris segala” ucap Naya sambil tertawa ke abang penjual indomie favoritnya.
“Iya dong Neng...biar jadi anak gaul dan langganan tetap banyak.”

“Lanjut Lus...terus gimana?”
“Iya ngga gimana-gimana.”
“Elo ngga ngomong apa-apa sama dia? Elo masih kontak sama dia?”
“Dia menghilang sejak gw ngomong. Malu-maluin ngga sih kalo gw yang ngomong suka duluan sama cowok?”
“Kenapa malu-maluin? Emang cuma cowok aja yang boleh bilang suka sama cewek? Cuma cowok aja yang boleh ngejar dan cewek menunggu? Ya ngga gitu lha Lus...kalo suka ya sah-sah aja buat ngomong. Gini ya..daripada elo galau dan mengharap dalam ketidakpastian. Daripada elo mencoba membaca kode-kode yang belum tentu dikirim mendingan elo ngomong dan selesai sampai di situ. Ngga ada rasa penasaran, ngga ada berharap dan mengkhayal. Kalo dia suka ya bagus, kalo dia ngga suka ya tinggalin aja. Sesederhana itu, hidup bukan cuma tentang cinta. Jadi jangan jadikan cinta menjadi masalah besar dalam hidup elo. Satu lagi...elo move on aja deh, cowok itu ngga suka sama elo.”
“Tapi Nay...dia bilang dia belum tahu.”
“Tapi Lus...dia ngga suka sama elo.”
“Koq elo jahat sih.”
“Lus...kalo emang dia suka sama elo...dia pasti bisa merasakannya dan ngga perlu pake mikir.”
“Tapi mungkin...”
“Mungkin apa? Mungkin dia masih galau? Mungkin gebetannya kali banyak, jadi dia bingung, milih elo atau yang lain. Udah elo move on aja.”
“Tapi Nay...gw mau kasih dia kesempatan.”
“Terserah elo sih Lus...tapi kalo menurut gw, dia ngga suka sama elo dan elo cuma buang-buang waktu dan perasaan aja sama dia. Move on, masih banyak ikan di laut. Udah makan yuk...laper nih. Tapi apapun yang terjadi, you have me to rely on, asal elo traktir gw makan Indomie goreng. Hahahaha....”
“Hahahaha...iya Nay...udah abisin...abis itu pulang yuk...udah jam 11 malem nih, besok gw kerja.”
“Sama...gw juga kali.”

Malam itu Naya terjaga di kamarnya.
Dia tidak tahu harus bagaimana terhadap Lusi.
Terlalu mencintai dan menyukai seseorang.
Lalu dia menyakiti dirinya sendiri.
Naya ngga mau Lusi mengalami luka seperti yang pernah dia alami.
Tapi biarlah Lusi belajar.
Biar waktu yang akan mengajar Lusi, semoga Lusi tidak jatuh terlalu jauh.
Lusi yang masih terlalu baik terhadap dunia.
Dia harus menjadi lebih tangguh dan kuat.

Seminggu kemudian.

“Nay...I need to meet you...gw traktir elo Indomie deh, ketemu di kedai biasa ya setengah jam lagi.”
Lusi.
Ada apa?
Are you okay.
I’m worry.
“Sip Lus...traktir dua mangkuk ya.”
“Okay..sampai ketemu.”
Naya segera berangkat menemui Lusi malam itu.
Mata Lusi merah.
“Lus..elo ngga kenapa-kenapa? Elo baik-baik aja kan?”
Lusi hanya terdiam, bibirnya gemetar.
“Lus....”
“Nay...cowok itu udah ngga pernah balas whatsapp gw lagi. Ditelpon pun ngga diangkat.”
Naya hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berbuat apa.
“Gw harus apa Nay?”
“Harus apa?” bisik Naya sambil merangkul Lusi.
“Lus...elo beneran suka sama cowok ini?”
“Nay...dia baik sama gw sebelum akhirnya gw ngomong suka sama dia. Harusnya gw ngga ngomong, gw yang salah. Gw cuma pingin bisa temenan lagi sama dia.”
“Seintense apa sih elo sama dia?”
“Sebelum ketemuan sama dia, dia selalu ngajak gw ngobrol, ngucapin selamat pagi, nanya udah makan apa belum. Dan beberapa saat setelah ketemu sama dia, dia berubah.”
“Tunggu...maksud elo kalian intense sebelum kalian ketemu?”
“Iya...”
“Jadi sebelumnya elo ngga kenal sama dia?”
“Ngga.”
Dan Lusi akhirnya bercerita tentang perkenalan dia dengan lelaki itu.
“Lus...serius deh, elo harus move on. Lupain dia. Masih banyak cowok di luar sana, yang baik dan brengsek. Tapi tetep aja lebih baik dibanding elo habisin waktu sama dia.”
“Gw cuma minta dia mau temenan sama gw lagi dan hubungan gw kembali seperti biasa sama gw.”
Naya menghela nafas dan berkata kepada sahabatnya yang masih teramat lugu ini.
“Lus...yang pertama ya, elo bukan siapa-siapa dianya. Elo punya hak apa buat meminta sama dia? Yang kedua, dia ngga suka sama elo, entah dia emang brengsek atau mungkin dia masih galau, yang jelas untuk saat ini, dia ngga yakin dengan perasaannya ke elo dan elo harus move on. Elo bukan pilihan. Please...do it for yourself. Love yourself.”
“Tapi Nay...gw ngga memutus tali silaturahmi sama dia.”
Naya sudah kehabisan kata-kata.
“Ya udah, terserah elo aja, apa yang baik menurut elo. Gw akan selalu ada buat elo dan kapan pun elo butuh gw.”
“Thanks ya Nay...elo jadi mau makan Indomie dua mangkuk ngga?”
“Ngga Lus...gw udah makan, tadi gw cuma becanda, gw pesen jeruk hangat aja ya. Bang...jeruk hangatnya ya biasa,” Naya teriak ke si Abang penjual Indomie favoritnya.
“Siap Neng.”

Dua minggu setelah hari itu.

“Hey Lus...apa kabar loe?” tulis Naya lewat aplikasi Whatsapp-nya ke Lusi.
Delivered and read.
“Baik Nay...terima kasih sudah nanya. Tapi kadang masih suka terasa sesak aja setiap bangun tidur. Biasa ada yang ngucapin selamat pagi dan ada yang ajak ngobrol seharian.”
“Dia udah sama sekali ngga contact elo?”
“Ngga Nay...kalo gw chat juga dia cuma read doang atau dibales singkat.”
Naya hanya bisa tersenyum lirih dan menarik nafas membaca pesan temannya di layar handphone Oppo yang sudah sakit-sakitan dan nyaris mati tersebut karena sudah tua.
“Lus...elo harus move on, please. Do it for me.”
“Gw ngga minta banyak koq Nay. Kenapa dia harus diemin gw? Kenapa keadaan ngga bisa kembali kayak dulu?”
“Itu namanya risiko, ada kemungkinan untuk kalah dan menang. Anggap aja kali ini elo kalah. Dan gw mohon banget elo lupain dia. Please...untuk kebaikan elo.”
“Tapi Nay...gw ngga mau  jahat sama dia.”
“Elo ngga mau jahat sama dia tapi elo jahat sama diri elo sendiri...elo menyakiti diri elo sendiri.”
“Terus gw harus apa?”
“Berhenti hubungi dia, kontak dia. Kalo perlu, elo hapus nomor hapenya dari hape elo.”
“Gw percaya dia akan menjadi pelajaran buat gw. Walau sekarang gw belum ngerti dan masih merasa sakit.”
"Lus...rasakan sakit itu, jangan elo sangkal. Rasakan rasa sakit itu. Menangis kalo elo butuh menangis, menyendiri kalo elo butuh waktu buat sendiri. Kalo emang elo terluka, akui rasa luka dalam diri elo sendiri. Jangan berpura-pura terhadap diri elo sendiri. Jujur aja Lus, jangan merasa kuat kalau emang elo belum bisa. Elo hanya akan tambah menyakiti diri elo sendiri. Setelah itu...elo harus tambah kuat dan tegar. Elo buka deh youtube Raditya Dika tentang patah hati, you should do that."
"Seriusan Nay...Raditya Dika?"
"Iya...elo buka link-nya, kata-katanya bagus."
“Jadi Lus...rasakan rasa sakit karena patah hati itu lalu elo harus move on. Kalau emang dia suka sama elo, dia yang akan mencari elo dan memghubungi elo, udah cukup elo yang berusaha dan mengejar dia. Elo udah menyelesaika  bagian elo. Jadi please...love yourself. I beg you Lus. Lus...elo harus belajar mencintai diri elo sendiri sebelum elo bisa mencintai orang lain.”
“Tapi itu egois.”
“No...it is not selfish. Ini artinya elo mencintai dan menghargai diri elo sendiri. Bagaimana elo berharap orang dapat menghormati dan mencintai elo kalo elo aja ngga bisa menghormati dan mencintai diri elo sendiri. Please...do it for me. Dan lebih lagi...do it for you, for your happiness. Kebahagiaan elo ngga ada di tangan dia. Kebahagiaan elo bukan saat dia whatsaap elo selamat pagi, selamat siang dan nanya elo udah makan atau belum. Bukan itu Lus...kebahagiaan elo adalah keputusan elo. Kehadiran dia ngga mendefinisikan siapa elo dan ngga menentukan kebahagiaan elo.”
Lusi hanya membaca pesan Naya malam itu.
Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya terbaca tulisan kalau Lusi sedang mengetik di layar handphone-nya.
“Terima kasih ya Naya. Gw akan coba untuk melakukan kata-kata elo. Nay...gw tidur dulu ya. Gud nite, terima kasih buat semangatnya.”
“Nite Lus...hubungi gw kapan aja elo butuh gw.”

Dan malam itu, Naya tahu bahwa Lusi tidak akan menjalankan satu kata pun dari chat panjang yang dirinya tulis untuk Lusi. Dia tahu Lusi akan terluka dan akan berjuang untuk bangkit dalam waktunya sendiri. Dia akan berjuang selama waktu yang dia inginkan. Naya tahu, dia hanya bisa melihat Lusi menjalani kehidupannya dan berproses dalam rasa sakit yang harus dia lewati. Dia tidak ingin melihat sahabatnya terjebak dalam rasa kalut dan hancur seperti itu. Tapi mungkin itu yang terbaik untuk Lusi, mungkin.

Kamu tahu apa hal yang paling menyakitkan bagi seorang sahabat? Ketika melihat sahabat yang disayanginya melukai dan menyakiti dirinya sendiri dan tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkannya karena segala cara sudah dilakukan untuk membantunya tapi tidak berarti apa-apa.

“Lusi...belajarlah untuk mencintai dirimu.
Hargai dirimu.
Lindungi dirimu.
Jadilah utuh, dengan atau tanpa kehadiran seseorang di sampingmu.
Seorang pacar tidak mendefisinikan dirimu dan kebahagiaanmu.
Aku tahu kamu ini adalah pelajaranmu.
Jalan yang harus kamu jalani.
Buah yang harus kamu kunyah.
Dan kapanpun kamu membutuhkan aku.
Aku akan berusaha ada untuk kamu.

Sahabat yang selalu menyayangimu,
Nay”

Malam itu Naya menutup buku hariannya dan dalam hati dia berdoa,”Semoga kamu selalu baik-baik saja dan segala hal buruk yang aku bayangkan tidak terjadi kepadamu Lus.”

Perempuan punya cerita,
T
Jakarta, 5 Agustus 2016

No comments:

Post a Comment