Seorang teman pernah berkata kepadaku,”Untuk apa
kamu menulis tentang kehidupan single? Apakah kamu tidak takut dianggap menyedihkan?
Kalau kamu memang ingin memberitahu ke semua orang kalau kamu single, kamu berhasil.”
Seorang perempuan.
Menulis tentang kehidupan orang single.
Berada di penghujung umur 30.
Pathetic.
Mungkin itu yang ada di dalam pikiran sebagian
orang.
Seorang saudara pernah berkata, “Sudah, apalagi
yang kamu pikirkan? Kamu sekarang hampir umur 30 kan? Kamu ingat pernah ada
kalimat seperti ini: Sebelum umur 30, jodoh di tangan Tuhan. Setelah umur 30,
Tuhan lepas tangan.”
Dan jika berada dalam posisi itu, disenyumin saja.
Aku tidak bermaksud untuk membandingkan, kehidupan
mana yang lebih bahagia.
Kehidupan mereka yang sudah menikah.
Atau kehidupan mereka yang masih single.
Aku tidak berada dalam posisi untuk membela atau
menjelek-jelekkan salah satu pihak.
Dan aku tidak berada dalam posisi untuk memutuskan
keputusan mana yang baik.
Menikah.
Atau melajang.
Kita berada dalam sebuah masyarakat di mana ukuran
normal dari sebuah siklus kehidupan adalah sekolah, bekerja, menikah,
berkeluarga, punya anak, cucu dan selesai. Materi yang berkecukupan dan menikah
adalah ukuran kesuksesan ketika menjalani kehidupan di dunia. Memiliki
keturunan yang dapat dijadikan sebagai penerus gen biologis dan materi yang
dapat digunakan untuk menjadi nafkah kehidupan keluarga di masa depan.
Menjadi seorang yang memiliki status melajang di
usia yang relatif sudah dewasa seakan menjadi sebuah kesalahan.
Pasti ada yang salah dengan perempuan itu.
Pasti ada yang salah dengan lelaki itu.
Pasti dia tidak terlalu pemilih, makanya sulit
mendapatkan lelaki untuk menjadi pasangannya.
Pasti dia tidak mau berkomitmen, makanya tidak
pernah bertahan lama dengan satu perempuan yang sama.
Kasihan perempuan itu, sepertinya tidak ada yang
mau dengan dirinya karena sudah terlalu
dewasa (atau....)
Dia sudah melewati umur ** (tidak perlu disebut ya
umurnya), sudah expired. Mana ada lagi yang mau sama dia, memangnya ada
berondong yang mau sama dia? Memangnya dia mau sama berondong?
Dan tidak jarang juga ada kalimat yang berkata
seperti ini “Saat elo punya atasan perempuan, kacau hidup loe. Apalagi kalau
elo punya atasan perempuan dan masih single, selesai hidup loe.”
Panggilan perawan tua.
Disingkat PT.
Begitu mudah diucapkan melalui lidah yang tidak
bertulang ini.
Dan mereka tertawa dan mengejek.
Bercanda, katanya.
Apakah ada hubungan antara perempuan yang belum
menikah dengan menjadi atasan yang killer atau sangar?
Aku memang bukan lulusan psikologi, tapi benarkah?
Mungkin saja mereka yang tidak bahagia dengan
kehidupan pernikahannya, baik perempuan atau laki-laki, juga dapat menjadi
atasan yang tidak menyenangkan?
Lalu adilkah hal tersebut dijadikan ukuran atasan
yang galak, jahat dan tidak menyenangkan serta jutek?
Begitu mudah penilaian negatif muncul kepada
seorang perempuan yang masih lajang.
Entah berapa kali nasehat-nasehat berdatangan untuk
segera punya pasangan dan menikah.
Apalagi yang ditunggu?
Udah jangan terlalu pemilih, nanti menyesal lho.
Kamu tidak mau punya anak?
Kamu tidak mau begini dan tidak mau begitu?
Seakan hidup itu belum lengkap dan sempurna jika
belum menikah dan punya anak.
Kepada mereka yang sudah menikah,
Bisakah kalian menghormati kehidupan mereka yang
masih lajang dan bahkan mungkin memutuskan untuk hidup sendiri dan tidak mau
berkeluarga?
Seperti layaknya kami menghormati dan turut gembira
saat kalian memutuskan untuk menikah?
Seakan menikah adalah suatu pencapaian akhir dalam
kehidupan, mereka yang sudah menikah dengan mudah memberikan nasehat kepada
mereka yang masih lajang, sudah buruan...tunggu apalagi, menikah itu ternyata
menyenangkan lho.
Memiliki seseorang yang perhatian dan memiliki anak
yang bisa kamu rawat.
Tidak ingatkah mereka bahwa mereka juga pernah
berada dalam status melajang dan berada dalam tekanan untuk menikah?
Ya...mereka yang menikah muda mungkin tidak
memahami tekanan itu.
Tidak sedikit perempuan lajang yang aku kenal,
sebagian masih berada di penghujung 20 dan sebagian sudah menjalani
kehidupannya di umur 30-an.
Terkadang ada sebagian dari mereka yang sampai
berkata,”Kenali aku dong ke teman kamu.”
Mereka yang belum menikah seringkali merasa insecure dengan kondisi mereka.
Lalu masyarakat dengan mudahnya berkata.
Tuhkan..sekarang aja baru kelimpungan cari pasangan.
Dulu waktu masih muda sok jual mahal, sekarang
banting harga.
Seandainya saja mereka paham.
Perempuan-perempuan itu merasa insecure karena pertanyaan yang diajukan masyarakat.
Karena penghakiman masyarakat kepada mereka.
Mereka terus dipertanyakan.
Mengapa tidak punya pasangan?
Mengapa tidak menikah?
Mengapa, mengapa dan mengapa?
Mereka sebelumnya sudah merasa puas dengan
kehidupan mereka.
Namun..bukankah sekuat apapun batu karang jika
terus ditempa dengan ombak akan terkikis juga?
Lalu mereka mulai bertanya dalam diri mereka.
Apakah ada yang salah dengan diri mereka?
Apakah ada hal yang belum aku lakukan?
Seakan mereka melanggar aturan masyarakat.
Kamu bersalah.
Dan penghakiman itu selesai tanpa diberikan waktu untuk
memberi penjelasan.
Hukuman dijatuhkan.
Dan mereka harus mencari pengampunan.
Mereka harus mencari pasangan.
Mereka harus menikah.
Mereka yang melajang sampai dengan usia tua dianggap
sebagai orang-orang yang bersalah.
Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak
bahagia.
Karena...mereka telah melanggar norma dalam
masyarakat.
Pernah seorang teman berkata kepadaku,”Menikah itu
adalah sebuah keharusan. Bukankah juga ditulis bahwa tidak baik jika manusia
itu seorang diri saja. Kamu harus menikah.”
Lalu seorang teman lain berkata,”Kamu harus
menikah. Kamu harus meneruskan gen dan garis keturunan kamu. Meneruskan
kehidupan di muka bumi. Dan kamu ngga sedih melihat orangtua kamu yang bersedih
karena kamu tidak mau menikah”
........................................
Mungkin lebih baik tidak mendebat.
Karena ketika kamu berbicara ke arah utara dan
lawan bicaramu bicara ke arah selatan, sampai tua pun tidak akan ditemukan
titik tengah dan yang ada malah lelah sendiri.
Lalu aku teringat dengan pertanyaan seorang
sahabat, “Kalau diminta untuk menulis kapan menikah? Apa yang akan dijawab?”
Perlukah pertanyaan itu aku jawab?
Bukankah tanpa aku menjawab, mereka sudah membuat
skenario jawaban sendiri dalam pikiran mereka.
Mungkin...suatu hari nanti aku akan menikah.
Memiliki pasangan, anak-anak dan keluarga kecil.
Dan ketika aku menjadi bagian dari mereka yang
bertanya kepada teman-teman lajang,”Kapan menikah?”
Bolehkah kalian mengingatkan aku kembali kepada
tulisan ini?
Mereka yang lajang tidak minta dibela, apalagi dikasihani.
Karena mereka adalah orang-orang yang kuat.
Yang terkadang menjadi lemah karena penghakiman dan
stereotype masyarakat.
Mereka hanya ingin menuangkan isi hati mereka.
Mereka bahagia.
Dengan atau tanpa adanya pasangan, tidak
mendefinisikan kehidupan mereka.
Mereka adalah pribadi yang utuh.
Jika nantinya mereka menikah, bukan karena mereka
bergantung dan membutuhkan orang tersebut.
Jika nantinya mereka menikah, itu karena mereka
saling menginginkan.
Mereka adalah pribadi utuh yang bersatu atas dasar
ketertarikan dan rasa sayang bukan karena keharusan untuk menikah yang
diburu-buru waktu dan tuntutan masyarakat.
Bukankah menikah harus dilakukan dengan kesadaran?
Bukankah itu yang sudah kalian lakukan,
teman-temanku yang sudah menikah?
Menikah dengan kesadaran dan bukan karena
diburu-buru waktu?
Karena kalian sungguh mencintai dan menemukan
kecocokan?
Bicara saat diperlukan?
Dan tetap merasa nyaman dalam diam?
Kehidupan lebih berbahagia yang didapatkan bukan
derita?
Seorang teman pernah berkata,”Siapa yang kamu pilih
menjadi pasanganmu akan sangat menentukan kehidupanmu. Apakah kamu akan
merasakan surga atau neraka dalam kehidupanmu.”
Lalu...bukankah setiap orang mau pernikahan yang
dijalani adalah sekali untuk seumur hidupnya?
Jika begitu...apakah dapat dengan mudah mengatakan,”Ya
sudahlah menikah saja...pilih saja pasangan lalu menikah. Bukankah cinta dapat
datang seiring dengan waktu?”
Cinta mungkin bisa datang seiring dengan waktu,
karena sayang bisa muncul karena terbiasa.
Namun kecocokan?
Pengertian?
Bisakah datang seiring dengan waktu?
Di penghujung 20 dan lajang,
T
Jakarta, 8 Agustus 2016
No comments:
Post a Comment