Wednesday, August 24, 2016

Teka Teki Kopi Es Tak Kie


“Cha...elo udah pernah cobain Kopi Es Tak Kie belum?”

“Belum Ter.”

“Nanti kita cobain ya pas kita mau ke Asemka. Elo wajib cobain.”
Kedai Kopi Es Tak Kie

Berawal dari keisengan bertanya kepada salah seorang sahabat dari TK, hari ini aku dan dia, sebut saja namanya Rissa, mengunjungi kedai Kopi Es Takkie di bilangan Pancoran. Oiya...daerah Pancoran ini bukan yang terletak di Jakarta Selatan ya, ini Pancoran yang ada di daerah Glodok, Jakarta Pusat, daerah Pecinan Jakarta yang terletak dekat kota tua.



Aku memang bukan pecinta kopi, tapi berhubung perempuan yang akrab kupanggil Chacha ini adalah pecinta kopi, aku mewajibkan dia untuk mencoba seteguk kopi di kedai ini.

“Elo udah lama tinggal deket sini, beneran ngga pernah ke Kopi Es Tak Kie? Gw emang bukan pecinta kopi sih, tapi menurut teman-teman gw yang suka kopi, ini salah satu kedai kopi yang harus elo coba waktu elo ada di Pancoran,”saranku kepada Rissa

“Mungkin gw pernah ke sana,”jawab Rissa singkat, mungkin dia lelah melihat tingkahku yang seakan mengguruinya,hahaha...



Akhirnya kami berjalan kaki dari rumah Rissa ke Pancoran, kebetulan kami perlu membeli barang-barang lucu di sana. Menemukan kedai kopi di tengah-tengah daerah Pancoran yang sangat ramai dan pada sejak dari pagi hingga sore hari bisa dianggap cukup tricky untuk orang-orang baru. Mengapa? Karena di sana banyak gang-gang kecil dan kedai kopi tersebut terletak di salah satu gang tersebut. Seorang sahabat pernah janjian untuk bertemu dengan temannya di kedai kopi tersebut, bermodalkan Google Maps dia mencoba untuk menelusuri Pancoran sampai akhirnya dia nyasar dan butuh waktu sekitar satu jam untuknya menemukan kedai kopi ini. Kedai kopi yang didirikan sejak tahun 1972 ini terletak satu deretan dengan Pantjoran Tea House yang baru dibuka beberapa bulan lalu. Jika berjalan kaki dari arah Gajah Mada, tinggal belok ke kiri menyusuri Pantjoran Tea House dan di gang pertama sebelah kanan masuk ke dalam kurang lebih 15 meter, kedai kopi lawas ini akan terletak di sebelah kanan jalan tersebut.

Suasana ramai di depan kedai Kopi Es Tak Kie
“Ci...ci...mampir ci, makan bakmi”

“Bakso gorengnya Ci.”

“Buahnya Ci.”

“Mau makan apa Ci?”

“Mampir sini Ci.”

Dan beberapa pedagang makanan akan ramai menghampiri para tamu yang berjalan masuk ke dalam gang itu. Jangan tergoda dan pantang menyerah, berikan saja senyuman manis kepada penjual tersebut sembari terus berjalan. Oiya...jangan heran mengapa mereka memanggil aku “Cici” padahal nama aku “Tere”, “Cici” itu adalah sebutan untuk perempuan-perempuan Tionghoa. Dalam bahasa asalnya “Cici” berasal dari kata “Jie jie” (baca: Cie Cie) yang artinya kakak perempuan. Jadi bukan karena aku sudah ganti nama jadi “Cici” ya :D  Setelah berjalan sekitar 15 langkah, maka akan ditemukan sebuah kedai kopi kecil yang di depannya biasanya terdapat gerobak pie-oh.
Suasana kedai kopi tepat di depan pintu masuk
Suasana di sebelah kiri pintu masuk kedai

Jam dinding, kalender-kalender dan foto-foto yang berjejer di pinggir kedai
Dan akhirnya, aku dan Rissa sampai di kedai kopi tersebut. Di sini, mereka menjual cukup dua varian es kopi saja, kopi hitam dan kopi susu. Mereka tidak menyediakan cappucino dan berbagai varian es kopi yang terkesan fancy. Masuk ke dalam tempat tersebut, suasana rumah Tionghoa zaman dulu sangat terasa. Berbagai foto yang terpampang di kiri kanan dinding yang memperlihatkan foto-foto awal sejak Pancoran masih sepi dan jalanan masih lapang. Kemudian juga ada banyak kalender-kalender yang dipasang yang biasanya diberikan oleh para pemilik usaha yang berlangganan minum kopi di sana sembari mempromosikan tokonya.


Foto yang menggambarkan suasana kedai beberapa tahun silam
Siang ini, kami memesan segelas es kopi susu untukku dan segelas es kopi hitam untuk Rissa. Siang itu kami dilayani oleh seorang mas-mas, walau pun penampilannya cukup garang, tapi dia ramah dan pelayanannya sangat baik dan cepat. Kurang dari 10 menit, pesanan kami sudah datang. Disajikan dalam dua gelas bening yang sangat khas rumahan. Segelas berisikan kopi hitam yang disajikan bersama dengan bongkahan es dan segelas lagi berisikan kopi kecoklatan yang merupakan kopi susu. Tampilan gelas ini sangat sederhana, terlihat biasa saja. Namun, justru di situ letak keunikannya, suasana yang terkesan klasik dan sederhana. Datang ke kedai kopi hanya sekedar untuk minum kopi dan menikmati setiap teguknya yang menyegarkan.


Kopi klasik, kopi susu dan kopi hitam, mana kesukaanmu? Rissa memberikan nilai 7,5, bagaimana dengan kamu?
“Gimana Cha rasanya?” aku penasaran ingin mengetahui penilaiannya sebagai salah satu pecinta kopi.

“Kopinya enak, ngga terlalu manis dan ngga terlalu pahit, rasanya pas. Kalo buat gw, gw kasih nilai 7,5 dari skala 10.” 
 Kemudian, sembari menyeruput kopi dari gelas kami masing-masing, kami mulai bercengkrama dan membahas topik-topik absurd. Selama kami berada di sana, ada banyak tamu yang datang dan pergi, sebagian dari mereka datang untuk menikmati makan siang ditemani dengan segelas kopi. Sebagian dari mereka adalah para perempuan setengah baya yang baru saja selesai berbelanja dan mampir ke kedai tersebut untuk melepas lelah sebelum melanjutkan berbelanja. Terkadang ada pria paruh baya yang biasanya sudah pensiun datang bersama teman-temannya hanya sekedar untuk mengobrol bersama teman-temannya sambil bernostalgia dan menceritakan tentang usaha dan juga masa muda mereka.

Suasana tepat di depan tempat duduk kami
Dua gelas kopi susu dan kopi hitam tersebut dihargai Rp32.000, tidak terlalu mahal untuk ukuran kopi yang terkenal. Di tempat ini, selain minum kopi, para tamu juga bisa memesan bakmi, pie oh, daging sekba, nasi campur dan nasi tim. Hampir sebagian makanan di tempat ini sepertinya non-halal, tapi kopi di tempat ini layak dicoba untuk para turis yang khusus berkeliling ke Kota Tua dan menyukai kopi. Dijamin tidak akan menyesal, selain mendapatkan rasa kopi yang otentik, pengunjung juga bisa merasakan suasana Pecinan yang sangat kental di tempat ini. Ketika kami keluar pintu, kami berpapasan dengan seorang turis perempuan asing yang sepertinya diajak ke kedai ini bersama dengan temannya yang merupakan orang Indonesia beretnis Tionghoa. Tempat ini bukan hanya sekedar menjual kopi namun juga menawarkan ambience khas daerah Pecinan yang jarang didapatkan di kedai kopi yang sudah modern.

Berbagai pigura foto yang berjejer di dinding menggambarkan beberapa orang terkenal yang pernah mengunjungi tempat ini dan juga menggambarkan suasana pecinan Jakarta ini di masa silam
Setelah asyik menikmati segelas kopi dingin, kami pun melanjutkan perjalanan kami ke Asemka dan berkeliling Pancoran untuk mencari barang-barang unik yang kami butuhkan. Setelah itu, kami jajan chi cong fan lagi, makanan ringan khas Medan. Di Pancoran ini banyak sekali makanan ringan dan makanan berat yang super enak, yang diperlukan hanya niat untuk menjelajahi tempat ini di bawah teriknya sang matahari. Sekalipun muter-muter Pancoran seharian dijamin tidak akan merasa kelaparan, pasti akan super kenyang karena sepanjang mata memandang kiri dan kanan berjajar makanan yang menggugah selera makan.




Jadi apakah menemukan di mana kedai Kopi Es Takkie masih menjadi sebuah teka-teki? Tidak sulit koq kalau mau bertanya, semua orang pasti tahu. Jadi tinggal kesabaran aja untuk berjalan dan tidak malu bertanya. Kalau dijutekin sama satu orang, tanya lagi ke orang lain, yang tangguh dan sabar ya kalau jalan-jalan ke sana, hahaha...karena medan yang panas dan ramai, biasanya sangat mudah memancing emosi.

Sebuah siang di Pancoran,
T
Jakarta, 24 Agustus 2016 

No comments:

Post a Comment