Kafe itu.
Sore hari.
Dua sejoli.
Menyeruput minuman kesayangannya.
Penghujung semester genap.
"Mii..."
"Ya Re...ada apa?" ucap gadis bermata bulat itu sambil memandang pacar kesayangannya.
"Sepertinya aku jadi kuliah ke luar negeri."
"Ke mana? Bukannya kamu bilang kamu jadinya ke Bandung?"
"Iya...aku tahu, aku udah daftar di Bandung. Tapi aku akan coba kuliah ke luar dulu satu semester, kalau ngga betah aku akan kembali ke Bandung."
"Kamu jadi ke negara itu?"
"Iya...seperti yang udah aku ceritain kemarin."
Gadis kecil itu berusaha untuk terus tersenyum, walaupun pandangannya nanar.
"Iya...kamu harus pergi...mengejar mimpi dan cita-cita kamu. Tentang kita..."
Gadis itu kehilangan kata-katanya.
"Itu yang mau aku tanya sama kamu. Menurut kamu, apa kita bisa? Long distance?"
"Apa kamu yakin kita bisa?"
"Dengan keadaan pertemuan kita yang intense seperti ini sepertinya akan sulit."
"Mengapa kita ngga coba dulu?"
"Kamu yakin?"
Dua sejoli itu diam dalam keheningan.
Gadis kecil itu lebih muda setahun daripadanya.
Dia masih harus menyelesaikan studinya di sekolah menengah atas.
"Ya udah...ngomonginnya nanti aja...kita pulang yuk..udah malem." Ucap gadis kecil itu seraya berdiri dan mengambil tas selempangnya.
Long distance relationship.
Seperti apa rasanya?
Mereka akan terpisah di antara dua benua.
Perbedaan waktu 12 sampai 14 jam.
Bisakah?
Awalnya dirinya berpikir dia bisa.
Tapi sepertinya tidak.
Mungkin semuanya harus berakhir di sini.
Di tempat ini.
Di waktu ini.
Dia hanya ingin menikmati sisa-sisa waktu yang ada.
"Re...kapan kamu berangkat?"
"Jika sesuai rencana, akhir Agustus ini aku berangkat."
"Masih ada sebulan lagi ya...apa kamu sudah pikirin tentang kita?"
"Kamu maunya bagaimana?"
"Kan aku udah bilang sama kamu...ngga ada salahnya kan mencoba."
"Tapi aku ngga yakin apa kita akan bisa long distance."
"Kalau memang itu yang kamu mau ya udah...ngga apa-apa. Kalau memang itu yang terbaik."
Gadis kecil itu mencoba kembali untuk tersenyum, sekali lagi.
"Kita nikmatin aja dulu waktu yang ada ya Sayang. Aku sayang banget sama kamu."
Hampir air mata menitik, tapi dia berusaha keras menahannya.
Dia harus bersiap.
Hubungannya harus berakhir.
Karena jarak.
Dia terlalu menyayangi pacarnya.
Cerita pertama dalam kehidupan cintanya.
Tapi dia tidak bisa menuntut.
Semua perjalanan ini untuk masa depan orang yang sangat dicintainya.
Masa depan dimana tidak ada kepastian dia akan berada di dalamnya atau tidak.
Dan dia tidak punya hak untuk menuntut dan menghancurkan masa depan orang yang disayanginya.
Dia akan mendukungnya.
Walau sakit.
Tiga minggu sebelum kepergian
"Sayang..." sang lelaki memanggil pacarnya yang sedang memakan pisang goreng kesukaannya di kafe favorit mereka berdua.
"Iya..."
"Kita coba ya..."
"Kamu yakin? Aku ngga apa-apa koq kalo memang kamu tidak bisa, aku akan baik-baik saja. Tenang saja. Jangan melakukan hal ini karena aku."
"Ngga Sayang, aku ingin mencoba...sebaik yang kita bisa."
"Kamu yakin? Karena aku yang jadi tidak yakin."
"Aku yakin. Kita coba ya."
"Iya Sayang."
Gadis itu tersenyum, kembali menyeruput coklat panas kesukaannya.
"Kamu lebih memilih ditelepon setiap hari tapi sebentar-sebentar atau ditelpon seminggu sekalu tapi dalam waktu yang lebih lama?"
"Uhm...gimana ya enaknya, tiap hari deh ya...hehehe...aku pasti akan kangen sama kamu setiap hari."
Mereka tidak pernah terpisah jauh sebelumnya.
"Kamu yakin? Cuma sebentar lho kalau setiap hari."
Mereka terbiasa untuk berkomunikasi setiap waktu.
Setiap jam.
Menelpon di setiap malam.
Berjam-jam.
Entah apa yang mereka bicarakan.
"Iya...yakin...aku pasti bakal kangen.......banget sama kamu"
Seminggu sebelum kepergian.
"Kamu jangan lupa buka email ya nanti. Kita kirim-kiriman email juga." lelaki muda itu memandang wajah perempuan mungik di hadapannya.
"Iya...minggu depan kamu udah pergi...aku pasti bakal kangen......banget sama kamu."
"Aku juga koq Sayang."
Lelaki muda itu menggandeng tangan pacarnya.
"Udah yuk masuk..filmnya udah mau mulai."
"Yuk..."
Hari keberangkatan.
Siang itu.
Di bandara.
Rasa sedih.
Namun harus tetap kuat.
Tidak boleh menangis.
"Sayang...aku jalan ya...aku harus check in."
Sepertinya itu adalah pertama kalinya dirinya berada di Bandara.
Tidak ada kata yang bisa terucap.
Lelaki itu memeluk pacarnya.
"Kamu hati-hati ya nanti pulang. Jangan jadi manja kalau udah ngga ada aku. Nanti aku akan kabarin kamu kalau aku udah sampai di sana."
Ketika itu belum ada whatsapp, belum ada skype.
Hanya ada MSN messenger.
Yahoo messenger.
Email di yahoo.
Belum ada media komunikasi canggih lainnya yang dapat memutus jarak.
Koneksi jaringan internet masih sangat terbatas di Jakarta.
Naik turun.
Laptop dan webcam masih menjadi barang mewah yang mahal.
Belum ada smartphone.
Android.
iPhone.
Jadi melihat wajah adalah sesuatu yang tidak mungkin.
Sesuatu khayalan yang masih tinggi.
Lelaki muda itu memberikan sebuah CD rekaman untuk pacarnya.
Sebuah rekaman lagu-lagu yang dinyanyikannya.
Berisi playlist lagu kesukaan mereka berdua.
"Kalau kamu kangen aku, dengerin CD ini ya. Sampai jumpa Sayang. Doakan aku ya supaya semuanya lancar."
Gadis kecil itu menatap kepergian pacar kesayangannya.
Jauh.
Dia akan terlalu jauh.
"Sampai jumpa Re. Sampai jumpa Sayang."
Gadis kecil itu menjadi penunggu setia setiap telepon berdering.
Di hari kedua, akhirnya dia mendapatkan kabar dari pacarnya.
"Sayang...aku udah sampe...tapi belum bisa menelpon kamu. Aku masih sibuk beres-beres di rumah ini. Nanti aku kabari lagi ya."
Gadis kecil itu membaca email di PC-nya.
"Sayanggggg...aku kangen banget sama kamu."
Dirinya berceloteh panjang di email seakan sedang menelpon dengan pacarnya.
Dia memang bawel dan selalu ceria.
Setiap hari dirinya menulis email untuk hanya sekedar bercerita kepada pacarnya, seperti ketika dirinya menulis di dalam buku harian mereka berdua ketika mereka masih dekat.
Entah apakah dia yang berada di seberang sana membacanya.
Beberapa hari setelah kepergiannya, sang lelaki muda menelpon pacarnya.
Dia bercerita tentang rumah barunya.
Tinggal bersama dengan sebuah keluarga yang memiliki empat anak.
Bagaimana indahnya negeri tempat dia akan berkuliah.
Bercerita ini dan itu.
Sang gadis kecil juga bercerita.
Tentang kehidupan sekolah.
Guru-gurunya.
Sahabat-sahabatnya.
Hari demi hari berlalu.
Rasa kangen terlalu melelahkan.
Namun pembicaraan seakan kehabisan topik.
Saat menelpon hanya bisa saling terdiam.
"Sayang...aku kangen sama kamu."
Hanya kata-kata terbatas yang bisa terucap.
Dan seakan sibuk, intensitas dan waktu menelpon berkurang.
Perempuan kecil itu masih setia menulis email.
Menceritakan hari-harinya yang belum tentu ditanggapi setiap hari.
Mungkin dia sibuk.
Mungkin dia begini dan begitu.
Namun dia masih terlalu manja.
Dia tidak bisa mengendalikan emosinya.
Jengah.
Menjadi bertambah manja.
Saat menelepon hanya diisi dengan kemanjaan berlebihan yang mengganggu.
Mungkin itu yang disebut demanding.
"Udah dulu ya Sayang...aku masih harus mengerjakan hal yang lain." ucap lelaki muda itu di telepon.
"Tapi aku masih kangen kamu...aku kangen suara kamu."
"Terus kamu mau ngomong apa? Ayo cerita...jangan diem aja. Kan kamu udah janji ngga akan manja."
"Ya udah deh...tutup aja teleponnya...aku juga mau tidur."
"Tuh kan kamu ngambeg."
"Ngga koq Sayang...kan aku juga besok sekolah."
"Okay...udah dulu ya."
Telepon ditutup.
Ada waktu di mana gadis kecil itu pulang sekolah cepat-cepat.
Hanya untuk menunggu waktu pacarnya online di messenger.
Berharap dapat chatting dengannya.
Karena di sana sudah tengah malam.
Namun kalau pun dia memanggil, belum tentu langsung ada jawaban.
Ditambah lagi dengan koneksi jaringan internet yang sangat sampah.
Rasa kangen itu menjadi terasa perih dan menyakitkan.
Kangen namun tak berdaya.
Kehabisan topik bicara.
Hari berganti minggu.
Minggu berganti bulan.
Sebulan setelah kepergian.
Dua minggu sebelum hari anniversary mereka.
Sore itu
Di warnet samping sekolah.
"Sayang..."
Pacarnya memanggil dari negeri sana.
"Iya? Ada apa?"
Gadis kecil itu tersenyum melihat pacarnya memanggilnya di messenger.
"Sayang...maafin kalau aku ada salah, mungkin ada baiknya saat ini kita putus."
Putus?
"Tapi...tapi kenapa?"
Tulisnya.
"Kamu harus fokus dengan Ujian Nasional kamu. Aku ngga mau hubungan kita mengganggu konsentrasi kamu."
"Tapi aku dan sekolah baik-baik aja."
"Aku off dulu ya...nanti aku telpon kamu."
"Tapi..."
Dia sudah offline.
Hanya mata berkaca-kaca yang bisa mewakili perasaan gadis kecil itu.
Putus?
Hatinya terasa sakit.
Pedih.
Perih.
Tidak nyata.
Mungkin ini semua hanya mimpi.
Tapi tidak.
Hari itu menjadi akhir hubungannya dengan lelaki itu.
Sebuah cerita indah yang harus berakhir begitu saja.
Haruskah jarak yang disalahkan?
Atau keadaan diri yang belum dewasa untuk mengatasi rasa?
Hubungan jarak jauh.
Mengatasi laut dan benua.
Belasan jam.
Perbedaan rasa.
Pengalaman baru yang dialaminya.
Kehidupan lama yang ditinggalkannya.
Menjadi yang ditinggalkan akan selalu lebih menyakitkan.
Menanti dan berharap.
Harapan kosong.
Hanya untuk disia-siakan dan dikecewakan.
Bawalah aku terbang bersama dirimu.
Agar tidak ada jarak lagi di antara kamu dan aku.
Tapi mungkin hati ini yang sudah tidak bersedia bersama.
Untuk seiya sekata.
Berjanji setia.
Karena jiwa ini masih muda.
Masih banyak cerita dan petualangan menanti.
Dan cerita ini hanya menjadi bagian manis dan pahit kehidupan.
Masa lalu.
Yang indah untuk disimpan.
Dan pahit untuk selalu dikenang.
Jadi...
Percayakah kamu pada hubungan jarak jauh?
Ketika mata tak lagi menatap.
Tangan tak lagi bersentuhan.
Ketika hanya jiwa dan rasa serta kesetiaan dan kesabaran yang bisa menjadi harapan.
Bisakah hati bertahan?
Menjalankan kesendirian dalam status berpasangan?
Sebuah cerita tentang jarak,
T
Bali, 13 Juli 2016.
Sore hari.
Dua sejoli.
Menyeruput minuman kesayangannya.
Penghujung semester genap.
"Mii..."
"Ya Re...ada apa?" ucap gadis bermata bulat itu sambil memandang pacar kesayangannya.
"Sepertinya aku jadi kuliah ke luar negeri."
"Ke mana? Bukannya kamu bilang kamu jadinya ke Bandung?"
"Iya...aku tahu, aku udah daftar di Bandung. Tapi aku akan coba kuliah ke luar dulu satu semester, kalau ngga betah aku akan kembali ke Bandung."
"Kamu jadi ke negara itu?"
Gadis kecil itu berusaha untuk terus tersenyum, walaupun pandangannya nanar.
"Iya...kamu harus pergi...mengejar mimpi dan cita-cita kamu. Tentang kita..."
Gadis itu kehilangan kata-katanya.
"Itu yang mau aku tanya sama kamu. Menurut kamu, apa kita bisa? Long distance?"
"Apa kamu yakin kita bisa?"
"Dengan keadaan pertemuan kita yang intense seperti ini sepertinya akan sulit."
"Mengapa kita ngga coba dulu?"
"Kamu yakin?"
Dua sejoli itu diam dalam keheningan.
Gadis kecil itu lebih muda setahun daripadanya.
Dia masih harus menyelesaikan studinya di sekolah menengah atas.
"Ya udah...ngomonginnya nanti aja...kita pulang yuk..udah malem." Ucap gadis kecil itu seraya berdiri dan mengambil tas selempangnya.
Seperti apa rasanya?
Mereka akan terpisah di antara dua benua.
Perbedaan waktu 12 sampai 14 jam.
Bisakah?
Awalnya dirinya berpikir dia bisa.
Tapi sepertinya tidak.
Mungkin semuanya harus berakhir di sini.
Di tempat ini.
Di waktu ini.
Dia hanya ingin menikmati sisa-sisa waktu yang ada.
"Re...kapan kamu berangkat?"
"Jika sesuai rencana, akhir Agustus ini aku berangkat."
"Masih ada sebulan lagi ya...apa kamu sudah pikirin tentang kita?"
"Kamu maunya bagaimana?"
"Kan aku udah bilang sama kamu...ngga ada salahnya kan mencoba."
"Tapi aku ngga yakin apa kita akan bisa long distance."
"Kalau memang itu yang kamu mau ya udah...ngga apa-apa. Kalau memang itu yang terbaik."
Gadis kecil itu mencoba kembali untuk tersenyum, sekali lagi.
"Kita nikmatin aja dulu waktu yang ada ya Sayang. Aku sayang banget sama kamu."
Hampir air mata menitik, tapi dia berusaha keras menahannya.
Dia harus bersiap.
Hubungannya harus berakhir.
Karena jarak.
Dia terlalu menyayangi pacarnya.
Cerita pertama dalam kehidupan cintanya.
Tapi dia tidak bisa menuntut.
Semua perjalanan ini untuk masa depan orang yang sangat dicintainya.
Masa depan dimana tidak ada kepastian dia akan berada di dalamnya atau tidak.
Dan dia tidak punya hak untuk menuntut dan menghancurkan masa depan orang yang disayanginya.
Dia akan mendukungnya.
Walau sakit.
Tiga minggu sebelum kepergian
"Sayang..." sang lelaki memanggil pacarnya yang sedang memakan pisang goreng kesukaannya di kafe favorit mereka berdua.
"Iya..."
"Kita coba ya..."
"Kamu yakin? Aku ngga apa-apa koq kalo memang kamu tidak bisa, aku akan baik-baik saja. Tenang saja. Jangan melakukan hal ini karena aku."
"Ngga Sayang, aku ingin mencoba...sebaik yang kita bisa."
"Kamu yakin? Karena aku yang jadi tidak yakin."
"Aku yakin. Kita coba ya."
"Iya Sayang."
Gadis itu tersenyum, kembali menyeruput coklat panas kesukaannya.
"Kamu lebih memilih ditelepon setiap hari tapi sebentar-sebentar atau ditelpon seminggu sekalu tapi dalam waktu yang lebih lama?"
"Uhm...gimana ya enaknya, tiap hari deh ya...hehehe...aku pasti akan kangen sama kamu setiap hari."
Mereka tidak pernah terpisah jauh sebelumnya.
"Kamu yakin? Cuma sebentar lho kalau setiap hari."
Mereka terbiasa untuk berkomunikasi setiap waktu.
Setiap jam.
Menelpon di setiap malam.
Berjam-jam.
Entah apa yang mereka bicarakan.
"Iya...yakin...aku pasti bakal kangen.......banget sama kamu"
Seminggu sebelum kepergian.
"Kamu jangan lupa buka email ya nanti. Kita kirim-kiriman email juga." lelaki muda itu memandang wajah perempuan mungik di hadapannya.
"Iya...minggu depan kamu udah pergi...aku pasti bakal kangen......banget sama kamu."
"Aku juga koq Sayang."
Lelaki muda itu menggandeng tangan pacarnya.
"Udah yuk masuk..filmnya udah mau mulai."
"Yuk..."
Hari keberangkatan.
Siang itu.
Di bandara.
Rasa sedih.
Namun harus tetap kuat.
Tidak boleh menangis.
"Sayang...aku jalan ya...aku harus check in."
Sepertinya itu adalah pertama kalinya dirinya berada di Bandara.
Tidak ada kata yang bisa terucap.
Lelaki itu memeluk pacarnya.
"Kamu hati-hati ya nanti pulang. Jangan jadi manja kalau udah ngga ada aku. Nanti aku akan kabarin kamu kalau aku udah sampai di sana."
Ketika itu belum ada whatsapp, belum ada skype.
Hanya ada MSN messenger.
Yahoo messenger.
Email di yahoo.
Belum ada media komunikasi canggih lainnya yang dapat memutus jarak.
Koneksi jaringan internet masih sangat terbatas di Jakarta.
Naik turun.
Laptop dan webcam masih menjadi barang mewah yang mahal.
Belum ada smartphone.
Android.
iPhone.
Jadi melihat wajah adalah sesuatu yang tidak mungkin.
Sesuatu khayalan yang masih tinggi.
Lelaki muda itu memberikan sebuah CD rekaman untuk pacarnya.
Sebuah rekaman lagu-lagu yang dinyanyikannya.
Berisi playlist lagu kesukaan mereka berdua.
"Kalau kamu kangen aku, dengerin CD ini ya. Sampai jumpa Sayang. Doakan aku ya supaya semuanya lancar."
Gadis kecil itu menatap kepergian pacar kesayangannya.
Jauh.
Dia akan terlalu jauh.
"Sampai jumpa Re. Sampai jumpa Sayang."
Di hari kedua, akhirnya dia mendapatkan kabar dari pacarnya.
"Sayang...aku udah sampe...tapi belum bisa menelpon kamu. Aku masih sibuk beres-beres di rumah ini. Nanti aku kabari lagi ya."
Gadis kecil itu membaca email di PC-nya.
"Sayanggggg...aku kangen banget sama kamu."
Dirinya berceloteh panjang di email seakan sedang menelpon dengan pacarnya.
Dia memang bawel dan selalu ceria.
Setiap hari dirinya menulis email untuk hanya sekedar bercerita kepada pacarnya, seperti ketika dirinya menulis di dalam buku harian mereka berdua ketika mereka masih dekat.
Entah apakah dia yang berada di seberang sana membacanya.
Beberapa hari setelah kepergiannya, sang lelaki muda menelpon pacarnya.
Dia bercerita tentang rumah barunya.
Tinggal bersama dengan sebuah keluarga yang memiliki empat anak.
Bagaimana indahnya negeri tempat dia akan berkuliah.
Bercerita ini dan itu.
Sang gadis kecil juga bercerita.
Tentang kehidupan sekolah.
Guru-gurunya.
Sahabat-sahabatnya.
Hari demi hari berlalu.
Rasa kangen terlalu melelahkan.
Namun pembicaraan seakan kehabisan topik.
Saat menelpon hanya bisa saling terdiam.
"Sayang...aku kangen sama kamu."
Hanya kata-kata terbatas yang bisa terucap.
Dan seakan sibuk, intensitas dan waktu menelpon berkurang.
Perempuan kecil itu masih setia menulis email.
Menceritakan hari-harinya yang belum tentu ditanggapi setiap hari.
Mungkin dia sibuk.
Mungkin dia begini dan begitu.
Namun dia masih terlalu manja.
Dia tidak bisa mengendalikan emosinya.
Jengah.
Menjadi bertambah manja.
Saat menelepon hanya diisi dengan kemanjaan berlebihan yang mengganggu.
Mungkin itu yang disebut demanding.
"Udah dulu ya Sayang...aku masih harus mengerjakan hal yang lain." ucap lelaki muda itu di telepon.
"Tapi aku masih kangen kamu...aku kangen suara kamu."
"Terus kamu mau ngomong apa? Ayo cerita...jangan diem aja. Kan kamu udah janji ngga akan manja."
"Ya udah deh...tutup aja teleponnya...aku juga mau tidur."
"Tuh kan kamu ngambeg."
"Ngga koq Sayang...kan aku juga besok sekolah."
"Okay...udah dulu ya."
Telepon ditutup.
Ada waktu di mana gadis kecil itu pulang sekolah cepat-cepat.
Hanya untuk menunggu waktu pacarnya online di messenger.
Berharap dapat chatting dengannya.
Karena di sana sudah tengah malam.
Namun kalau pun dia memanggil, belum tentu langsung ada jawaban.
Ditambah lagi dengan koneksi jaringan internet yang sangat sampah.
Rasa kangen itu menjadi terasa perih dan menyakitkan.
Kangen namun tak berdaya.
Kehabisan topik bicara.
Hari berganti minggu.
Minggu berganti bulan.
Sebulan setelah kepergian.
Dua minggu sebelum hari anniversary mereka.
Sore itu
Di warnet samping sekolah.
"Sayang..."
Pacarnya memanggil dari negeri sana.
"Iya? Ada apa?"
Gadis kecil itu tersenyum melihat pacarnya memanggilnya di messenger.
"Sayang...maafin kalau aku ada salah, mungkin ada baiknya saat ini kita putus."
Putus?
"Tapi...tapi kenapa?"
Tulisnya.
"Kamu harus fokus dengan Ujian Nasional kamu. Aku ngga mau hubungan kita mengganggu konsentrasi kamu."
"Tapi aku dan sekolah baik-baik aja."
"Aku off dulu ya...nanti aku telpon kamu."
"Tapi..."
Dia sudah offline.
Hanya mata berkaca-kaca yang bisa mewakili perasaan gadis kecil itu.
Putus?
Hatinya terasa sakit.
Pedih.
Perih.
Tidak nyata.
Mungkin ini semua hanya mimpi.
Tapi tidak.
Hari itu menjadi akhir hubungannya dengan lelaki itu.
Sebuah cerita indah yang harus berakhir begitu saja.
Haruskah jarak yang disalahkan?
Atau keadaan diri yang belum dewasa untuk mengatasi rasa?
Hubungan jarak jauh.
Mengatasi laut dan benua.
Belasan jam.
Perbedaan rasa.
Pengalaman baru yang dialaminya.
Kehidupan lama yang ditinggalkannya.
Menjadi yang ditinggalkan akan selalu lebih menyakitkan.
Menanti dan berharap.
Harapan kosong.
Hanya untuk disia-siakan dan dikecewakan.
Bawalah aku terbang bersama dirimu.
Agar tidak ada jarak lagi di antara kamu dan aku.
Tapi mungkin hati ini yang sudah tidak bersedia bersama.
Untuk seiya sekata.
Berjanji setia.
Karena jiwa ini masih muda.
Masih banyak cerita dan petualangan menanti.
Dan cerita ini hanya menjadi bagian manis dan pahit kehidupan.
Masa lalu.
Yang indah untuk disimpan.
Dan pahit untuk selalu dikenang.
Jadi...
Percayakah kamu pada hubungan jarak jauh?
Ketika mata tak lagi menatap.
Tangan tak lagi bersentuhan.
Ketika hanya jiwa dan rasa serta kesetiaan dan kesabaran yang bisa menjadi harapan.
Bisakah hati bertahan?
Menjalankan kesendirian dalam status berpasangan?
Sebuah cerita tentang jarak,
T
Bali, 13 Juli 2016.
No comments:
Post a Comment