"You can be a good friend but to be a good room mate, it is totally a different thing."
Selama beberapa tahun ini, aku pernah tinggal bersama dengan teman sekamar sebanyak tiga kali. Pengalamanku yang terakhir mengajarkanku banyak hal tentang hidup bersama dengan seseorang.
Hidup bersama bukan hanya bertemu saat jam kantor seperti dengan rekan kerja.
Hidup bersama bukan hanya bertemu saat waktu kuliah seperti dengan teman sekampus.
Tapi ini adalah hidup bersama dengan teman sekamar, melakukan banyak aktifitas bersama.
Berbagi sebuah ruangan kecil.
Berbagi sebuah kamar, kamar tidur.
Berbagi tempat menyimpan barang.
Berbagi lemari.
Berbagi tempat tidur.
Mudahkah?
Tidak.
Kamar tidur adalah ruangan terintim dalam sebuah rumah.
Ruangan paling rahasia, bahkan mungkin dapat dikatakan ruang paling sakral bagi pemiliknya.
Di dalam sebuah kamar tidur, tersimpan berbagai barang pribadi.
Di dalam sebuah kamar tidur, tersimpan berbagai cerita paling pribadi.
Sebuah kamar tidur adalah tempat ternyaman yang dapat dimiliki seseorang.
Untuk beristirahat.
Untuk diam dalam ketenangan.
Untuk memiliki waktu sendiri tanpa diganggu.
Melepaskan kelelahan.
Melepaskan tekanan.
Sambil mendengar lagu favorit.
Membaca buku kesayangan.
Atau sekedar tidur nyenyak.
Bisakah dibayangkan jika kamu memiliki seseorang lain di dalam kamar tidur yang membuatmu merasa tidak nyaman?
Aku pernah.
Pengalaman memiliki teman sekamar mengajarkanku banyak hal.
Hal tersebut terutama membuatku membayangkan jika aku hidup bersama dengan pasangan yang salah.
Aku pernah tinggal bersama dengan seorang teman sekamar yang belum kukenal dengan baik. Dan keadaan memaksa kami untuk tinggal sekamar. Di satu atap, satu ruangan, berbagi tempat tidur.
Hari-hari pertama tinggal bersama banyak aku habiskan dengan berada di luar kamar. Aku memilih untuk berada di luar rumah, sekedar hanya untuk membaca buku atau mendengar lagu. Melakukan apa pun hanya untuk menghindari intensitas pertemuan dengannya. Aku adalah orang yang sangat introvert. It takes some time for me to trust someone to share my stories and show the real me. Sedangkan dia adalah orang yang sangat ekstrovert. Entah berapa cara dia lakukan untuk mendekatiku, semakin dia berusaha semakin aku menutup diri dan menjauh. Melelahkan. Saat-saat itu menjadi saat-saat terberat, bukan hanya bagiku, tapi juga baginya. Ketika itu, bagiku kamar hanya menjadi ruangan untuk tidur. Tidak ada pembicaraan yang dalam dan intim. Bersama dengan seorang yang dianggap asing terasa amat sangat melelahkan.
Ketika waktu terus berjalan, berminggu-minggu, berbulan-bulan, aku tahu, kami berdua tahu, tidak ada jalan lain selain belajar untuk mengenal satu sama lain. Kaki mendapat bantuan dari orang-orang sekitar kami untuk berkomunikasi. Namun ketika itu komunikasi yang terjalin hanya seputar pertanyaan tentang kegiatan yang akan kita lakukan bersama. Bagaimana hal ini akan dilakukan. Kapan hal ini akan dilakukan. Sebaiknya bagaimana hal ini dapat dilakukan. Atau ketika mengingatkan waktu untuk bangun tidur, makan atau mandi. Tidak ada pembicaraan yang lebih dalam. Kami berdua berusaha untuk lebih betah berada di kamar, kami berusaha untuk lebih dekat, berusaha untuk nyaman dalam keheningan yang aneh dan janggal. Lelah? Iya...sangat. bukan hanya untuk diriku, tapi juga dirinya. Tapi kami tidak bisa berpisah. Jalan satu-satunya adalah terus bertahan menjalani ini semua sampai waktunya selesai.
Waktu berlalu dan terus berjalan. Sedikit tembok berhasil diruntuhkan, es tebal yang dingin mulai mencair. Mungkin sudah waktunya untuk membuka diri, sedikit demi sedikit. Mungkin rasa percaya sudah bisa didapatkan. Lalu obrolan-obrolan kecil mulai dilakukan. Kami tidak memiliki pilihan selain mencoba untuk membuka diri kami harus terus bersama. Faktor eksternal yang tidak nyaman memaksa kami untuk lebih dekat. Seperti layaknya rasa kebersamaan yang timbul karena adanya penjajahan, faktor eksternal membuat kami bersatu. Adanya sama rasa membuat kami memiliki persamaan dalam satu hal. Faktor eksternal itu membuat kami mulai berbicara tentang perasaan kami. Kami menjadi lebih dekat? Iya. Menjadi lebih memahami satu sama lain? Mungkin. Menjadi lebih nyaman satu sama lain? Entahlah.
Kami masih terus bersama selama beberapa bulan. Kami mulai lebih terbuka, namun tidak bisa untuk sepenuhnya. Ada sebuah batas yang tidak bisa dilewati. Sebuah batasan yang tidak bisa dikatakan, sebuah sekat tipis. Sekalipun kami bersama dan mulai lebih dekat, selalu terasa ada jarak di antara kami. Apakah itu? Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu dia menyadarinya atau tidak. Namun kedekatan kami belum terasa alami, paling tidak untukku.
Setiap hari yang kami lewati bersama, setiap waktu mulai terasa lebih nyaman. Tapi rasa ketidaknyamanan itu tidak bisa sepenuhnya hilang.
Aku adalah orang yang suka menyendiri di dalam kamar, bagiku itu adalah cara diriku mengembalikan energi yang telah terbuang. Sedangkan dirinya mengembalikan energi dengan cara bercerita. Apakah perbedaan ini yang membuat ketidaknyamanan itu muncul atau ada faktor lain? Perbedaan ini membuat kami menyakiti diri sendiri. Aku menyakiti dirinya karena aku tidak siap untuk mendengarkan setiap ceritanya dan tidak tahu mau bertanya apa ketika diajak berbicara. Aku lelah dan dia merasakan penolakan.
Lalu apa yang bisa kami lakukan?
Tidak ada.
Bertahan adalah satu-satunya pilihan karena kami tidak boleh berpisah.
Belajar untuk memahami satu sama lain.
Belajar untuk menerima kembali.
Ketidaknyamanan dalam keheningan yang tidak bisa hilang.
Mencari topik bicara.
Seakan hubungan ada dalam sebuah acara diskusi atau seminar.
Aku siap mendengar, tapi pembicaraan dua arah diharapkan.
Dan akhirnya kami bertahan sampai pada akhir.
Ketika berbicara tentang sebuah topik, kami memiliki pandangan berbeda atas dasar prinsip dasar yang berbeda.
Mencoba untuk menyamakan pendapat dan pandangan terasa amat melelahkan.
Berpura-pura, mengiyakan, sekalipun tidak sesuai dengan suara hati.
Mengalah.
Bukankah itu yahg selalu diajarkan?
Mengalah untuk kebaikan.
Tapi bukankah lebih menyenangkan saat memiliki seorang pasangan yang bukan hanya bisa mengalah, tapi juga untuk saling berbeda pendapat.
Pasangan yang bisa mengatakan sepakat untuk tidak sepakat.
Menerima perbedaan dengan perasaan lapang ada.
Jika ditanyakan apakah aku menyayanginya?
Iya...mungkin.
Karena faktor terbiasa bersama.
Rasa perhatian.
Mengetahui kelemahan.
Mencoba untuk memberi pengertian.
Mencoba untuk saling memaklumi.
Rasa sayang pasti akan muncul ketika sudah bersama terlalu lama.
Namun apakah itu cinta?
Tulus?
Apakah tidak akan bosan?
Jenuh?
Karena merasa semua tidak adil.
Pada akhirnya hanya menyakiti satu sama lain.
Diam menjadi pilihan terbaik untuk mencegah menyakiti perasaan satu sama lain.
Bisakah kamu mencintai orang yang tidak kamu inginkan?
Benarkah cinta bisa muncul karena waktu?
Karena kebersamaan?
Cerita ini menjadi refleksi tersendiri untukku.
Sebuah pengingat dan pertanyaan untukku dalam memilih pasangan hidup.
Cukupkah cinta menjadi alasan untuk memutuskan hidup bersama selamanya?
Cukupkah penampilan yang rupawan?
Penampilan fisik selalu menjadi alasan utama seseorang tertarik untuk saling mengenal lebih dekat.
Namun waktu pengenalan dan pendekatan menjadi faktor utama dan paling penting dalam proses pemilihan.
Apakah aku memiliki pandangan hidup yang sama dengannya.
Apakah kami memiliki kegilaan-kegilaan yang sama?
Apakah kami memiliki bahasa tersendiri yang hanya kami saja yang mengerti?
Akankah dia mendukung segala kegilaanku?
Mimpi-mimpiku?
Bisakah aku mendukung kegilaannya?
Mimpi-mimpinya.
Akan kami bisa saling mengerti?
Ketika aku hidup bersama dengan orang yang sama setiap hari, bisakah aku merasa nyaman di dekatnya?
Pasanganku adalah orang pertama yang aku lihat saat aku membuka mata di pagi hari.
Dan dirinya adalah orang terakhir yang kupandang sebelum tertidur dan memejamkan mata di malam hari.
Ketika sudah begitu banyak persamaan dan cerita sudah habis dituturkan, bisakah aku dan dia merasa nyaman dalam keheningan?
Dalam damai?
Dalam diam?
Hanya sekedar menatap mata.
Dan sekedar tersenyum.
Memahami dan mengerti tanpa harus berkata-kata.
Dan ketika kami tidak bisa bersama, bisakah rasa percaya itu terjaga?
Karena ada ikatan kuat yang tidak mudah tergoyahkan di antara aku dan dirinya.
Ada rahasia-rahasia yang hanya diketahui kami berdua.
Ada pembicaraan-pembicaraan dalam dan bermakna yang hanya bisa dipahami dan dimengerti oleh kami berdua.
Sebuah ikatan yamg terasa aman, nyaman, menyenangkan dan istimewa.
Sebuah ikatan yang membuat diri ini yakin bahwa dirinya adalah teman seperjalanan kehidupan yabg terbaik sekali pun nantinya fisik ini melemah dan kulit ini mengendor.
Sekalipun nantinya kami menjadi kakek nenek gendut yang tidak menarik di mata orang lain, tapi bagi kami berdua kami tetap saling mencintai dan tergila-gila karena ada sebuah ikatan kuat dalam pikiran kami, ingatan kami dan hari-hari kehidupan kami yang tak tergantikan.
Sebuah cerita tentang teman sekamar yang beraryi,
T
Bali, 12 Juli 2016
Selama beberapa tahun ini, aku pernah tinggal bersama dengan teman sekamar sebanyak tiga kali. Pengalamanku yang terakhir mengajarkanku banyak hal tentang hidup bersama dengan seseorang.
Hidup bersama bukan hanya bertemu saat jam kantor seperti dengan rekan kerja.
Hidup bersama bukan hanya bertemu saat waktu kuliah seperti dengan teman sekampus.
Tapi ini adalah hidup bersama dengan teman sekamar, melakukan banyak aktifitas bersama.
Berbagi sebuah ruangan kecil.
Berbagi sebuah kamar, kamar tidur.
Berbagi tempat menyimpan barang.
Berbagi lemari.
Berbagi tempat tidur.
Mudahkah?
Tidak.
Kamar tidur adalah ruangan terintim dalam sebuah rumah.
Ruangan paling rahasia, bahkan mungkin dapat dikatakan ruang paling sakral bagi pemiliknya.
Di dalam sebuah kamar tidur, tersimpan berbagai barang pribadi.
Di dalam sebuah kamar tidur, tersimpan berbagai cerita paling pribadi.
Sebuah kamar tidur adalah tempat ternyaman yang dapat dimiliki seseorang.
Untuk beristirahat.
Untuk diam dalam ketenangan.
Untuk memiliki waktu sendiri tanpa diganggu.
Melepaskan kelelahan.
Melepaskan tekanan.
Sambil mendengar lagu favorit.
Membaca buku kesayangan.
Atau sekedar tidur nyenyak.
Bisakah dibayangkan jika kamu memiliki seseorang lain di dalam kamar tidur yang membuatmu merasa tidak nyaman?
Aku pernah.
Pengalaman memiliki teman sekamar mengajarkanku banyak hal.
Hal tersebut terutama membuatku membayangkan jika aku hidup bersama dengan pasangan yang salah.
Aku pernah tinggal bersama dengan seorang teman sekamar yang belum kukenal dengan baik. Dan keadaan memaksa kami untuk tinggal sekamar. Di satu atap, satu ruangan, berbagi tempat tidur.
Hari-hari pertama tinggal bersama banyak aku habiskan dengan berada di luar kamar. Aku memilih untuk berada di luar rumah, sekedar hanya untuk membaca buku atau mendengar lagu. Melakukan apa pun hanya untuk menghindari intensitas pertemuan dengannya. Aku adalah orang yang sangat introvert. It takes some time for me to trust someone to share my stories and show the real me. Sedangkan dia adalah orang yang sangat ekstrovert. Entah berapa cara dia lakukan untuk mendekatiku, semakin dia berusaha semakin aku menutup diri dan menjauh. Melelahkan. Saat-saat itu menjadi saat-saat terberat, bukan hanya bagiku, tapi juga baginya. Ketika itu, bagiku kamar hanya menjadi ruangan untuk tidur. Tidak ada pembicaraan yang dalam dan intim. Bersama dengan seorang yang dianggap asing terasa amat sangat melelahkan.
Ketika waktu terus berjalan, berminggu-minggu, berbulan-bulan, aku tahu, kami berdua tahu, tidak ada jalan lain selain belajar untuk mengenal satu sama lain. Kaki mendapat bantuan dari orang-orang sekitar kami untuk berkomunikasi. Namun ketika itu komunikasi yang terjalin hanya seputar pertanyaan tentang kegiatan yang akan kita lakukan bersama. Bagaimana hal ini akan dilakukan. Kapan hal ini akan dilakukan. Sebaiknya bagaimana hal ini dapat dilakukan. Atau ketika mengingatkan waktu untuk bangun tidur, makan atau mandi. Tidak ada pembicaraan yang lebih dalam. Kami berdua berusaha untuk lebih betah berada di kamar, kami berusaha untuk lebih dekat, berusaha untuk nyaman dalam keheningan yang aneh dan janggal. Lelah? Iya...sangat. bukan hanya untuk diriku, tapi juga dirinya. Tapi kami tidak bisa berpisah. Jalan satu-satunya adalah terus bertahan menjalani ini semua sampai waktunya selesai.
Waktu berlalu dan terus berjalan. Sedikit tembok berhasil diruntuhkan, es tebal yang dingin mulai mencair. Mungkin sudah waktunya untuk membuka diri, sedikit demi sedikit. Mungkin rasa percaya sudah bisa didapatkan. Lalu obrolan-obrolan kecil mulai dilakukan. Kami tidak memiliki pilihan selain mencoba untuk membuka diri kami harus terus bersama. Faktor eksternal yang tidak nyaman memaksa kami untuk lebih dekat. Seperti layaknya rasa kebersamaan yang timbul karena adanya penjajahan, faktor eksternal membuat kami bersatu. Adanya sama rasa membuat kami memiliki persamaan dalam satu hal. Faktor eksternal itu membuat kami mulai berbicara tentang perasaan kami. Kami menjadi lebih dekat? Iya. Menjadi lebih memahami satu sama lain? Mungkin. Menjadi lebih nyaman satu sama lain? Entahlah.
Kami masih terus bersama selama beberapa bulan. Kami mulai lebih terbuka, namun tidak bisa untuk sepenuhnya. Ada sebuah batas yang tidak bisa dilewati. Sebuah batasan yang tidak bisa dikatakan, sebuah sekat tipis. Sekalipun kami bersama dan mulai lebih dekat, selalu terasa ada jarak di antara kami. Apakah itu? Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu dia menyadarinya atau tidak. Namun kedekatan kami belum terasa alami, paling tidak untukku.
Setiap hari yang kami lewati bersama, setiap waktu mulai terasa lebih nyaman. Tapi rasa ketidaknyamanan itu tidak bisa sepenuhnya hilang.
Aku adalah orang yang suka menyendiri di dalam kamar, bagiku itu adalah cara diriku mengembalikan energi yang telah terbuang. Sedangkan dirinya mengembalikan energi dengan cara bercerita. Apakah perbedaan ini yang membuat ketidaknyamanan itu muncul atau ada faktor lain? Perbedaan ini membuat kami menyakiti diri sendiri. Aku menyakiti dirinya karena aku tidak siap untuk mendengarkan setiap ceritanya dan tidak tahu mau bertanya apa ketika diajak berbicara. Aku lelah dan dia merasakan penolakan.
Lalu apa yang bisa kami lakukan?
Tidak ada.
Bertahan adalah satu-satunya pilihan karena kami tidak boleh berpisah.
Belajar untuk memahami satu sama lain.
Belajar untuk menerima kembali.
Ketidaknyamanan dalam keheningan yang tidak bisa hilang.
Mencari topik bicara.
Seakan hubungan ada dalam sebuah acara diskusi atau seminar.
Aku siap mendengar, tapi pembicaraan dua arah diharapkan.
Dan akhirnya kami bertahan sampai pada akhir.
Ketika berbicara tentang sebuah topik, kami memiliki pandangan berbeda atas dasar prinsip dasar yang berbeda.
Mencoba untuk menyamakan pendapat dan pandangan terasa amat melelahkan.
Berpura-pura, mengiyakan, sekalipun tidak sesuai dengan suara hati.
Mengalah.
Bukankah itu yahg selalu diajarkan?
Mengalah untuk kebaikan.
Tapi bukankah lebih menyenangkan saat memiliki seorang pasangan yang bukan hanya bisa mengalah, tapi juga untuk saling berbeda pendapat.
Pasangan yang bisa mengatakan sepakat untuk tidak sepakat.
Menerima perbedaan dengan perasaan lapang ada.
Jika ditanyakan apakah aku menyayanginya?
Iya...mungkin.
Karena faktor terbiasa bersama.
Rasa perhatian.
Mengetahui kelemahan.
Mencoba untuk memberi pengertian.
Mencoba untuk saling memaklumi.
Rasa sayang pasti akan muncul ketika sudah bersama terlalu lama.
Namun apakah itu cinta?
Tulus?
Apakah tidak akan bosan?
Jenuh?
Karena merasa semua tidak adil.
Pada akhirnya hanya menyakiti satu sama lain.
Diam menjadi pilihan terbaik untuk mencegah menyakiti perasaan satu sama lain.
Bisakah kamu mencintai orang yang tidak kamu inginkan?
Benarkah cinta bisa muncul karena waktu?
Karena kebersamaan?
Cerita ini menjadi refleksi tersendiri untukku.
Sebuah pengingat dan pertanyaan untukku dalam memilih pasangan hidup.
Cukupkah cinta menjadi alasan untuk memutuskan hidup bersama selamanya?
Cukupkah penampilan yang rupawan?
Penampilan fisik selalu menjadi alasan utama seseorang tertarik untuk saling mengenal lebih dekat.
Namun waktu pengenalan dan pendekatan menjadi faktor utama dan paling penting dalam proses pemilihan.
Apakah aku memiliki pandangan hidup yang sama dengannya.
Apakah kami memiliki kegilaan-kegilaan yang sama?
Apakah kami memiliki bahasa tersendiri yang hanya kami saja yang mengerti?
Akankah dia mendukung segala kegilaanku?
Mimpi-mimpiku?
Bisakah aku mendukung kegilaannya?
Mimpi-mimpinya.
Akan kami bisa saling mengerti?
Ketika aku hidup bersama dengan orang yang sama setiap hari, bisakah aku merasa nyaman di dekatnya?
Pasanganku adalah orang pertama yang aku lihat saat aku membuka mata di pagi hari.
Dan dirinya adalah orang terakhir yang kupandang sebelum tertidur dan memejamkan mata di malam hari.
Ketika sudah begitu banyak persamaan dan cerita sudah habis dituturkan, bisakah aku dan dia merasa nyaman dalam keheningan?
Dalam damai?
Dalam diam?
Hanya sekedar menatap mata.
Dan sekedar tersenyum.
Memahami dan mengerti tanpa harus berkata-kata.
Dan ketika kami tidak bisa bersama, bisakah rasa percaya itu terjaga?
Karena ada ikatan kuat yang tidak mudah tergoyahkan di antara aku dan dirinya.
Ada rahasia-rahasia yang hanya diketahui kami berdua.
Ada pembicaraan-pembicaraan dalam dan bermakna yang hanya bisa dipahami dan dimengerti oleh kami berdua.
Sebuah ikatan yamg terasa aman, nyaman, menyenangkan dan istimewa.
Sebuah ikatan yang membuat diri ini yakin bahwa dirinya adalah teman seperjalanan kehidupan yabg terbaik sekali pun nantinya fisik ini melemah dan kulit ini mengendor.
Sekalipun nantinya kami menjadi kakek nenek gendut yang tidak menarik di mata orang lain, tapi bagi kami berdua kami tetap saling mencintai dan tergila-gila karena ada sebuah ikatan kuat dalam pikiran kami, ingatan kami dan hari-hari kehidupan kami yang tak tergantikan.
Sebuah cerita tentang teman sekamar yang beraryi,
T
Bali, 12 Juli 2016
No comments:
Post a Comment