Rinjani.
Sang Dewi Anjani.
Pertama kali mendengar namanya terasa asing.
Siapa itu Dewi Anjani?
Mengapa begitu banyak orang yang tergila-gila padanya.
Di manakah dirinya berada?
Setelah berpikir selama beberapa waktu, akhirnya diri ini memutuskan untuk pergi.
Rasa penasaran menggoda diri ini untuk menemui Sang Dewi yang digilai oleh banyak orang itu.
Juli.
2016.
2-6.
6 orang.
Sebuah catatan perjalanan
Meluluhkan Sang Dewi.
Seorang sahabat mengatakan, mendaki bukan hanya diperlukan fisik yang kuat.
Pendakian juga membutuhkan mental yang kuat.
Gunung Rinjani
Rasa takut dan gentar tentu saja dirasakan.
Karena ini adalah kali pertama bagiku menjalani pendakian.
Gunung tertinggi nomor 3 di Indonesia setelah Jaya Wijaya dan Kerinci.
Gunung vulkanik tertinggi nomor 2 setelah Kerinci.
Dan cerita itu dimulai, aku bersama dengan lima orang lainnya berjalan menemui Sang Dewi yang melegenda.
Perjalanan yang dimulai di Pos Sembalun diakhiri di Pos Senaru.
5 hari 4 malam terasa seperti perjalanan yang sangat panjang.
Lelah?
Iya...bukan hanya secara fisik tapi juga secara mental.
Perjalanan ini bukan hanya tentang pendakian saja, tapi banyak pelajaran yang aku rasakan.
Perjalanan ini tentang pelajarab kehidupan.
Perjalanan di hari di hari pertama menuju pos 3 Sembalun, aku rasakan seperti orang yang baru pertama kali jatuh cinta. Rela melakukan apa saja untuk meluluhkan orang yang kamu suka. Dan itu adalah alasan pertama perjalanan ini dilakukan, jatuh cinta kepada Sang Dewi Anjani. Kecantikan Sang Dewi yang melegenda membuat orang-orang berlomba untuk meluluhkannya. Bukan hanya untuk memandang dari kejauhan, tapi menemuinya secara langsung.
Perjalanan di hari pertama dipenuhi dengan tawa ceria, semangat, tidak peduli seberapa sulit medannya, akan dijalani dengan penuh tekad. Dalam perjalanan hari pertama, kami bertemu dengan sabana-sabana dan pemandangan yang super indah.
Padang rumput.
Langit biru.
Awan putih.
Barisan bukit-bukit.
Sang Dewi Anjani yang cantik dan memesona.
Apakah ada hal lain yang lebih indah?
Entahlah.
Tapi itu adalah salah satu pemandangan menyenangkan yang akan aku simpan dalam ingatanku.
Kasmaran.
Jatuh cinta.
Semua terasa indah.
Tidak tahu kerikil serta tanjakan seperti apa yang menunggu di depan.
Lalu hari kedua, tujuan kami berenam adalah mencapai Plawangan Sembalun.
"Tres...kita akan mendaki sebuah tanjakan yang dinamakan tanjakan penyesalan dan tanjakan penyiksaan."
"Oh ya?"
"Kenapa?"
"Iya ntar elo lihat aja."
Perjalanan dari pos 3 menuju Plawangan Sembalun ternyata tidak mudah, pendakian gunung yang tinggi dan terjal.
Masih adakah pemandangan yang indah?
Iya..tentu saja.
Tapi masih bisakah pemandangan itu dinikmati ketika perjalanan terjal mendaki ada di depan mata.
Ketika disusul oleh entah berapa orang selama pendakian, masih bisakah perjalanan itu dinikmati?
Napas yang ngos-ngosan.
Ketika itu menyerah bukanlah pilihan.
Menyerah ketika sudah berada di tengah perjalanan terasa tidak bijaksana.
Berjalan sepuluh menit.
Beristirahat 30 menit.
Apa pun dilakukan kami berenam untuk menjaga suasana hati.
Mendengar lagu.
Bercanda.
Menyanyi.
Menggila.
Hanya jangan mengeluh.
Tersenyum.
Tertawa.
Terus melangkah.
Tidak ada kata mundur.
Walau keringat mengucur
Walau napas terengah-engah.
Hanya fokus untuk mencapai tujuan.
Plawangan Sembalun.
Dan setelah sekitar 8 jam perjalanan, kami tiba di Plawangan Sembalun.
Gembira?
Tentu saja.
Ada rasa puas.
Haru.
Karena sudah berhasil mencapai tujuan.
Pemandangan di atas terasa begitu indah.
Negeri di atas awan.
Segala jerih lelah.
Segala keletihan terbayarkan.
Berhasil.
Pencapaian diri.
Namun ini bukanlah akhir.
Sang Dewi masih berada jauh di atas sana.
Lebih dekat.
Namun tetap terasa masih jauh.
Ratusan orang bersiap untuk melakukan pendakian di tengah malam.
Mempersiapkan segala hal untuk menaklukkan Sang Dewi jelita.
Makan yang cukup.
Istirahat.
Menjaga kesehatan.
Walau kaki sudah lelah.
Walau tangah sudah letih.
Menemui Sang Dewi dari dekat adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan.
Rasa optimis dan deg-degan bercampur jadi satu.
Beristirahatlah, mempersiapkan diri untuk esok hari.
Sebuah hari penentuan.
Bangun tengah malam.
Angin yang menderu keras.
Udara yang dingin.
Bangun!
Harus bangun.
Bisakah tidur sebentar lagi?
Lebih lama?
Tidak.
Bangun sekarang juga.
Temuilah Sang Dewi.
Baiklah.
Perjalanan melewati gelap dan dinginnya malam dimulai.
Menggunakan headlamp.
Menempuh tanjakan terjal berulir naik ke atas.
Berpasir.
Berangin.
Licin.
Dingin.
Terasa kacau.
Namun perjalanan ini sudah dimulai.
Dan tidak boleh diakhiri.
Berkemauan keras.
Tidak ada kata mundur.
Memanjat dan mendaki.
Terjal.
Menakutkan ketika kamu dapat melihat lampu-lamlu kota dari kejauhan dan bintang terasa begitu dekat di atas
Di manakah diri ini berada?
Mengapa langit terasa begitu dekat
Tanpa perlindungan.
Hanya memiliki jejakan kaki yang kuat untuk memastikan diri ini tidak tergelincir dan jatuh.
Dalam perjalanan menempuh angin kencang dan pasir yang membuat napas sesak dan mata perih banyak mereka yang akhirnya menyerah.
Tidak berhasil.
Dan aku adalah salah satu dari mereka.
Perjalanan empat jam harus diakhiri.
Aku memutuskan untuk turun.
Pertemuan dengan Sang Dewi tidak berakhir.
Dalam perjalanan pulang, adakah penyesalan?
Iya...ada sedikit.
Namun aku mengetahui batasku, aku belum siap untuk menemuinya.
Aku cukup puas dengan segala usaha yang sudah aku lakukan.
Aku mengetahui segala perjuangan dan usaha yang aku lakukan adalah yang terbaik yang aku miliki yang bisa aku berikan.
Jadi jika ditanyakan apakah aku menyesal dan marah?
Tidak.
Mungkin ini memang belum saatnya aku menjumpai Sang Dewi.
Dan seperti saat mendekati seseorang dan tidak berhasil mendapatkannya.
Tidak akan ada rasa penyesalan jika diri ini mengetahui bahwa diri ini telah melakukan segala usaha terbaik.
Mungkin saat ini bukan saat yang tepat.
Mungkin nanti, jika masih ada waktu dan masih ingin mencoba.
Mungkin.
Lalu setelah gagal mencapai puncak, sebelum siang, kami melanjutkan perjalanan ke danau Segara Anak yang cantik dan misterius itu.
Jika dipikirkan bahwa kesulitan medan telah terlewati, itu adalah sebuah kekeliruan.
Jalan ke danau tidak kalah terjal dan sulitnya.
Bebatuan.
Jurang di kiri kanan.
Turunan terjal tanpa pelindung.
Kabut dan awan yang menyelimuti.
Pandangan dengan jarak pandang terbatas.
Ditambah dengan rasa lelah karena perjalanan menuju puncak tengah malam.
Kantuk yang menguasai.
Kaki yang sudah lelah.
Kehilangan konsentrasi.
Kaki yang bergetar.
Pandangan yang tidak fokus.
Tapi lagi, menyerah bukan pilihan.
Tidak bisa mundur.
Maju adalah satu-satunya pilihan untuk mencapau akhir.
Tidak ada jalan lain.
Maju atau hanya memperlambat perjalanan mencapai akhir.
Kekurangan logistik.
Tidak ada kata terdiam untuk sekedar menangis.
Dan mungkin diri ini sudah terlalu lelah untuk mengeluarkan air mata.
Aku hanya ingin perjalanan ini cepat disudahi.
Semangat.
Pantang menyerah.
Sebelum menyentuh garis akhir.
Dan di penghujung siang, kami tiba di danau.
Gembira?
Ya
Puas?
Ya.
Namun apakah semua ini sudah selesai?
Belum.
Kami berada di antara dua gunung.
Kamu berada di lembah.
Kami harus kembali mendaki dan menurun terjal sebelum akhirnya tiba di titik terakhir.
Sore itu kami nikmati.
Kami bermain di kolam belerang panas.
Perjalanan masih akan sulit keesokan harinya.
Namun nikmatilah saat yang ada.
Hari esok memiliki kesulitannya sendiri.
Tidak perlu khawatir.
Tidak perlu takut.
Tersenyum dan tertawalah.
Cerita hari ini.
Pencobaan dan kesulitan hari ini telah usai.
Rayakanlah.
Lalu keesokan harinya, kami akan berjalan menuju pos 2 Senaru.
Sebuah perjalanan yang baru.
Kami harus memanjat batu-batu terjal.
Bukan hanya mendaki.
Kami harus berjalan dengan penuh perhitungan dan konsentrasi.
Kesalahan dalam melangkah akan menyebablan akibat yang fatal.
Pelan.
Berhati-hati.
Fokus.
Tetap tersenyum.
Apa yang harus ditertawakan saat segala hal terasa sulit?
Tertawakanlah kesulitan itu sendiri.
Berbisik bahwa diri ini tidak akan kalah.
Walau lelah.
Walau sakit.
Tapi aku tidak akan menyerah.
Tertawalah setiap rasa sakit dan nyeri yang dirasakan.
Karena itu adalah satu-satunya cara untuk lebih kuat.
Karena itu satu-satunya penghiburan yang bisa dilakukan.
Saat itu aku merasa sudah hampir mencapai titik akhir.
Tidak pernah aku merasa tidak berdaya seperti sebelumnya.
Tidak berdaya dan lemah.
Ingin rasanya menangis dan mengatakan bahwa diri ini tidak kuat.
Aku menyerah.
Aku lelah.
Hentikan semua ini.
Akhiri.
Tapi tidak bisa, aku tidak bisa dan tidak boleh menjadi egois.
Suasana hati seseorang akan sangat mempengaruhi suasana hati kelompok.
Dan menjadi penyebab buruknya suasana hati kelompok bukanlah pilihan.
Tidak boleh menjadi beban.
Seberat apa pun dan seputus asa apa pun, hanya diri ini yang tahu.
Cukup diri ini saja.
Setelah perjalanan sekitar 9 jam sejak jam 10 pagi, akhirnya kami sampai di pos 2 Senaru.
Ada rasa bahagia saat mengetahui bahwa perjalanan ini akan segera berakhir.
Mengetahui bahwa diri ini hampir mencapai garis akhir.
Berakhir.
Selesai.
Berhasil.
Melewati.
Perjalananan dari pos 2 senaru ke basecamp dapat dikatakan lebih mudah dan menyenangkan.
Melewati hutan liar Rinjani.
Mendengar suara-suara burung berkicau.
Mendengar suara binatang-binatang malam dan siang serta pagi.
Menyenangkan.
Udara yang sejuk.
Pepohonan yang tinggi.
Sebuah penghiburan.
Seakan sebuah pencapaian terindah karena sudah berhasil menjalani semuanya.
Sebuah hadiah yang terasa manis.
Sebuah pemberian karena telah berusaha dengan kuat menghadapi segala tantangan dan pencobaan.
Segala naikan dan turunan terjal.
Berbatu.
Dan di sinilah diri ini sekarang.
Melewatu hari-hari penuh kenangan.
Hari-hari yang tidak terlupakan.
Perjalanan ini mengajarkanku banyak hal.
Sesuatu yang indah bukanlah sebuah hal yang mudah untuk dicapai.
Membutuhkan waktu.
Perjuangan.
Pengorbanan.
Satu-satunya yang menjadi penghalang adalah diri ini sendiri.
Satu-satunya yang menjadi penyemangat adalah diri sendiri.
Karena diri sendiri adalah pelaku utama dalam kehidupan ini.
Setiap anggota tim hanya bisa memberikan semangat.
Namun keputusan untuk melangkah harus dilakukan oleh diri sendiri.
Ketika akhirnya terjatuh.
Ketika akhirnya tergelincir.
Diri ini harus bangun sendiri.
Bertanggungjawab atas setiap langkah yang dipilih.
Terima kasih anggota tim.
Dua porter terbaik.
Terima kasih untuk setiap kenangan yang tercipta.
Terima kasih untuk lima hari penuh kenangan ini.
Dan aku akan kembali.
Untuk menemuimu.
Pendakian ini menjawab rasa penasaranku.
Sukakah aku terhadap alam?
Apakah aku juga mencintai gunung seperti aku mencintai pantai.
Terima kasih Dewi untuk setiap kenangan.
Untuk setiap cerita.
Sampai jumpa di waktu nanti.
Sebuah cerita saat bercengkrama dengan Sang Dewi,
T
Rinjani, 2-6 Juli 2016
Sang Dewi Anjani.
Pertama kali mendengar namanya terasa asing.
Siapa itu Dewi Anjani?
Mengapa begitu banyak orang yang tergila-gila padanya.
Di manakah dirinya berada?
Setelah berpikir selama beberapa waktu, akhirnya diri ini memutuskan untuk pergi.
Rasa penasaran menggoda diri ini untuk menemui Sang Dewi yang digilai oleh banyak orang itu.
Juli.
2016.
2-6.
6 orang.
Sebuah catatan perjalanan
Meluluhkan Sang Dewi.
Seorang sahabat mengatakan, mendaki bukan hanya diperlukan fisik yang kuat.
Pendakian juga membutuhkan mental yang kuat.
Gunung Rinjani
Rasa takut dan gentar tentu saja dirasakan.
Karena ini adalah kali pertama bagiku menjalani pendakian.
Gunung tertinggi nomor 3 di Indonesia setelah Jaya Wijaya dan Kerinci.
Gunung vulkanik tertinggi nomor 2 setelah Kerinci.
Dan cerita itu dimulai, aku bersama dengan lima orang lainnya berjalan menemui Sang Dewi yang melegenda.
Perjalanan yang dimulai di Pos Sembalun diakhiri di Pos Senaru.
5 hari 4 malam terasa seperti perjalanan yang sangat panjang.
Lelah?
Iya...bukan hanya secara fisik tapi juga secara mental.
Perjalanan ini bukan hanya tentang pendakian saja, tapi banyak pelajaran yang aku rasakan.
Perjalanan ini tentang pelajarab kehidupan.
Perjalanan di hari di hari pertama menuju pos 3 Sembalun, aku rasakan seperti orang yang baru pertama kali jatuh cinta. Rela melakukan apa saja untuk meluluhkan orang yang kamu suka. Dan itu adalah alasan pertama perjalanan ini dilakukan, jatuh cinta kepada Sang Dewi Anjani. Kecantikan Sang Dewi yang melegenda membuat orang-orang berlomba untuk meluluhkannya. Bukan hanya untuk memandang dari kejauhan, tapi menemuinya secara langsung.
Perjalanan di hari pertama dipenuhi dengan tawa ceria, semangat, tidak peduli seberapa sulit medannya, akan dijalani dengan penuh tekad. Dalam perjalanan hari pertama, kami bertemu dengan sabana-sabana dan pemandangan yang super indah.
Padang rumput.
Langit biru.
Awan putih.
Barisan bukit-bukit.
Sang Dewi Anjani yang cantik dan memesona.
Apakah ada hal lain yang lebih indah?
Entahlah.
Tapi itu adalah salah satu pemandangan menyenangkan yang akan aku simpan dalam ingatanku.
Kasmaran.
Jatuh cinta.
Semua terasa indah.
Tidak tahu kerikil serta tanjakan seperti apa yang menunggu di depan.
Lalu hari kedua, tujuan kami berenam adalah mencapai Plawangan Sembalun.
"Tres...kita akan mendaki sebuah tanjakan yang dinamakan tanjakan penyesalan dan tanjakan penyiksaan."
"Oh ya?"
"Kenapa?"
"Iya ntar elo lihat aja."
Perjalanan dari pos 3 menuju Plawangan Sembalun ternyata tidak mudah, pendakian gunung yang tinggi dan terjal.
Masih adakah pemandangan yang indah?
Iya..tentu saja.
Tapi masih bisakah pemandangan itu dinikmati ketika perjalanan terjal mendaki ada di depan mata.
Ketika disusul oleh entah berapa orang selama pendakian, masih bisakah perjalanan itu dinikmati?
Napas yang ngos-ngosan.
Ketika itu menyerah bukanlah pilihan.
Menyerah ketika sudah berada di tengah perjalanan terasa tidak bijaksana.
Berjalan sepuluh menit.
Beristirahat 30 menit.
Apa pun dilakukan kami berenam untuk menjaga suasana hati.
Mendengar lagu.
Bercanda.
Menyanyi.
Menggila.
Hanya jangan mengeluh.
Tersenyum.
Tertawa.
Terus melangkah.
Tidak ada kata mundur.
Walau keringat mengucur
Walau napas terengah-engah.
Hanya fokus untuk mencapai tujuan.
Plawangan Sembalun.
Dan setelah sekitar 8 jam perjalanan, kami tiba di Plawangan Sembalun.
Gembira?
Tentu saja.
Ada rasa puas.
Haru.
Karena sudah berhasil mencapai tujuan.
Pemandangan di atas terasa begitu indah.
Negeri di atas awan.
Segala jerih lelah.
Segala keletihan terbayarkan.
Berhasil.
Pencapaian diri.
Namun ini bukanlah akhir.
Sang Dewi masih berada jauh di atas sana.
Lebih dekat.
Namun tetap terasa masih jauh.
Ratusan orang bersiap untuk melakukan pendakian di tengah malam.
Mempersiapkan segala hal untuk menaklukkan Sang Dewi jelita.
Makan yang cukup.
Istirahat.
Menjaga kesehatan.
Walau kaki sudah lelah.
Walau tangah sudah letih.
Menemui Sang Dewi dari dekat adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan.
Rasa optimis dan deg-degan bercampur jadi satu.
Beristirahatlah, mempersiapkan diri untuk esok hari.
Sebuah hari penentuan.
Bangun tengah malam.
Angin yang menderu keras.
Udara yang dingin.
Bangun!
Harus bangun.
Bisakah tidur sebentar lagi?
Lebih lama?
Tidak.
Bangun sekarang juga.
Temuilah Sang Dewi.
Baiklah.
Perjalanan melewati gelap dan dinginnya malam dimulai.
Menggunakan headlamp.
Menempuh tanjakan terjal berulir naik ke atas.
Berpasir.
Berangin.
Licin.
Dingin.
Terasa kacau.
Namun perjalanan ini sudah dimulai.
Dan tidak boleh diakhiri.
Berkemauan keras.
Tidak ada kata mundur.
Memanjat dan mendaki.
Terjal.
Menakutkan ketika kamu dapat melihat lampu-lamlu kota dari kejauhan dan bintang terasa begitu dekat di atas
Di manakah diri ini berada?
Mengapa langit terasa begitu dekat
Tanpa perlindungan.
Hanya memiliki jejakan kaki yang kuat untuk memastikan diri ini tidak tergelincir dan jatuh.
Dalam perjalanan menempuh angin kencang dan pasir yang membuat napas sesak dan mata perih banyak mereka yang akhirnya menyerah.
Tidak berhasil.
Dan aku adalah salah satu dari mereka.
Perjalanan empat jam harus diakhiri.
Aku memutuskan untuk turun.
Pertemuan dengan Sang Dewi tidak berakhir.
Dalam perjalanan pulang, adakah penyesalan?
Iya...ada sedikit.
Namun aku mengetahui batasku, aku belum siap untuk menemuinya.
Aku cukup puas dengan segala usaha yang sudah aku lakukan.
Aku mengetahui segala perjuangan dan usaha yang aku lakukan adalah yang terbaik yang aku miliki yang bisa aku berikan.
Jadi jika ditanyakan apakah aku menyesal dan marah?
Tidak.
Mungkin ini memang belum saatnya aku menjumpai Sang Dewi.
Dan seperti saat mendekati seseorang dan tidak berhasil mendapatkannya.
Tidak akan ada rasa penyesalan jika diri ini mengetahui bahwa diri ini telah melakukan segala usaha terbaik.
Mungkin saat ini bukan saat yang tepat.
Mungkin nanti, jika masih ada waktu dan masih ingin mencoba.
Mungkin.
Lalu setelah gagal mencapai puncak, sebelum siang, kami melanjutkan perjalanan ke danau Segara Anak yang cantik dan misterius itu.
Jika dipikirkan bahwa kesulitan medan telah terlewati, itu adalah sebuah kekeliruan.
Jalan ke danau tidak kalah terjal dan sulitnya.
Bebatuan.
Jurang di kiri kanan.
Turunan terjal tanpa pelindung.
Kabut dan awan yang menyelimuti.
Pandangan dengan jarak pandang terbatas.
Ditambah dengan rasa lelah karena perjalanan menuju puncak tengah malam.
Kantuk yang menguasai.
Kaki yang sudah lelah.
Kehilangan konsentrasi.
Kaki yang bergetar.
Pandangan yang tidak fokus.
Tapi lagi, menyerah bukan pilihan.
Tidak bisa mundur.
Maju adalah satu-satunya pilihan untuk mencapau akhir.
Tidak ada jalan lain.
Maju atau hanya memperlambat perjalanan mencapai akhir.
Kekurangan logistik.
Tidak ada kata terdiam untuk sekedar menangis.
Dan mungkin diri ini sudah terlalu lelah untuk mengeluarkan air mata.
Aku hanya ingin perjalanan ini cepat disudahi.
Semangat.
Pantang menyerah.
Sebelum menyentuh garis akhir.
Dan di penghujung siang, kami tiba di danau.
Gembira?
Ya
Puas?
Ya.
Namun apakah semua ini sudah selesai?
Belum.
Kami berada di antara dua gunung.
Kamu berada di lembah.
Kami harus kembali mendaki dan menurun terjal sebelum akhirnya tiba di titik terakhir.
Sore itu kami nikmati.
Kami bermain di kolam belerang panas.
Perjalanan masih akan sulit keesokan harinya.
Namun nikmatilah saat yang ada.
Hari esok memiliki kesulitannya sendiri.
Tidak perlu khawatir.
Tidak perlu takut.
Tersenyum dan tertawalah.
Cerita hari ini.
Pencobaan dan kesulitan hari ini telah usai.
Rayakanlah.
Lalu keesokan harinya, kami akan berjalan menuju pos 2 Senaru.
Sebuah perjalanan yang baru.
Kami harus memanjat batu-batu terjal.
Bukan hanya mendaki.
Kami harus berjalan dengan penuh perhitungan dan konsentrasi.
Kesalahan dalam melangkah akan menyebablan akibat yang fatal.
Pelan.
Berhati-hati.
Fokus.
Tetap tersenyum.
Apa yang harus ditertawakan saat segala hal terasa sulit?
Tertawakanlah kesulitan itu sendiri.
Berbisik bahwa diri ini tidak akan kalah.
Walau lelah.
Walau sakit.
Tapi aku tidak akan menyerah.
Tertawalah setiap rasa sakit dan nyeri yang dirasakan.
Karena itu adalah satu-satunya cara untuk lebih kuat.
Karena itu satu-satunya penghiburan yang bisa dilakukan.
Saat itu aku merasa sudah hampir mencapai titik akhir.
Tidak pernah aku merasa tidak berdaya seperti sebelumnya.
Tidak berdaya dan lemah.
Ingin rasanya menangis dan mengatakan bahwa diri ini tidak kuat.
Aku menyerah.
Aku lelah.
Hentikan semua ini.
Akhiri.
Tapi tidak bisa, aku tidak bisa dan tidak boleh menjadi egois.
Suasana hati seseorang akan sangat mempengaruhi suasana hati kelompok.
Dan menjadi penyebab buruknya suasana hati kelompok bukanlah pilihan.
Tidak boleh menjadi beban.
Seberat apa pun dan seputus asa apa pun, hanya diri ini yang tahu.
Cukup diri ini saja.
Setelah perjalanan sekitar 9 jam sejak jam 10 pagi, akhirnya kami sampai di pos 2 Senaru.
Ada rasa bahagia saat mengetahui bahwa perjalanan ini akan segera berakhir.
Mengetahui bahwa diri ini hampir mencapai garis akhir.
Berakhir.
Selesai.
Berhasil.
Melewati.
Perjalananan dari pos 2 senaru ke basecamp dapat dikatakan lebih mudah dan menyenangkan.
Melewati hutan liar Rinjani.
Mendengar suara-suara burung berkicau.
Mendengar suara binatang-binatang malam dan siang serta pagi.
Menyenangkan.
Udara yang sejuk.
Pepohonan yang tinggi.
Sebuah penghiburan.
Seakan sebuah pencapaian terindah karena sudah berhasil menjalani semuanya.
Sebuah hadiah yang terasa manis.
Sebuah pemberian karena telah berusaha dengan kuat menghadapi segala tantangan dan pencobaan.
Segala naikan dan turunan terjal.
Berbatu.
Dan di sinilah diri ini sekarang.
Melewatu hari-hari penuh kenangan.
Hari-hari yang tidak terlupakan.
Perjalanan ini mengajarkanku banyak hal.
Sesuatu yang indah bukanlah sebuah hal yang mudah untuk dicapai.
Membutuhkan waktu.
Perjuangan.
Pengorbanan.
Satu-satunya yang menjadi penghalang adalah diri ini sendiri.
Satu-satunya yang menjadi penyemangat adalah diri sendiri.
Karena diri sendiri adalah pelaku utama dalam kehidupan ini.
Setiap anggota tim hanya bisa memberikan semangat.
Namun keputusan untuk melangkah harus dilakukan oleh diri sendiri.
Ketika akhirnya terjatuh.
Ketika akhirnya tergelincir.
Diri ini harus bangun sendiri.
Bertanggungjawab atas setiap langkah yang dipilih.
Terima kasih anggota tim.
Dua porter terbaik.
Terima kasih untuk setiap kenangan yang tercipta.
Terima kasih untuk lima hari penuh kenangan ini.
Dan aku akan kembali.
Untuk menemuimu.
Pendakian ini menjawab rasa penasaranku.
Sukakah aku terhadap alam?
Apakah aku juga mencintai gunung seperti aku mencintai pantai.
Terima kasih Dewi untuk setiap kenangan.
Untuk setiap cerita.
Sampai jumpa di waktu nanti.
Sebuah cerita saat bercengkrama dengan Sang Dewi,
T
Rinjani, 2-6 Juli 2016
No comments:
Post a Comment