Monday, November 23, 2015

Si Manja dari Jakarta


“Aku bukan anak Jakarta yang manja. Di Jakarta, aku bisa pergi kemana-mana naik bis Transjakarta, taksi, ojek atau bahkan jalan kaki. Aku tidak segitu manjanya koq, tidak seperti anak-anak manja Jakarta lainnya.”
Suasana bundera Indosat dekat Monas dan Patung Kuda
Itu adalah hal yang ada dalam pikiranku tentang diriku sendiri, Sebagai anak Jakarta, aku menganggap bahwa diriku tidak termasuk dalam golongan anak yang manja. Namun, ketika aku tiba di Pulau Timor, di Amanuban Timur, Desa Mnela’anen, Tuhan menganggalkan semua pikiran itu. Tuhan seakan ingin berkata kepadaku, “Kamu yakin kamu nga manja? Coba kami tinggal di tempat ini, apakah kamu masih dapat berkata seperti itu?”
Barisan gedung, jalan yang lebar dan gemerlap lampu di dari atas jembatan Bunderan HI (Hotel Indonesia), dekat dengan halte bis Transjakarta dan juga bisa menunggu taksi di pinggir jalan
Jawabanku untuk pertanyaan-Nya adalah tidak. Tidak Tuhan, aku salah, aku anak yang manja. Di tempat ini, di sebuah desa yang begitu sederhana dan sangat jauh dari pusat  keramaian,  aku baru sadar bahwa aku ternyata anak yang manja. Jakarta dengan segala kelebihan dan kekurangannya terasa menjadi kota yang begitu memanjakan para penghuninya, terutama aku merasakannya secara pribadi.

Gemerlap lampu kota Jakarta di waktu malam, kota yang tidak pernah tidur dan lelah beraktifitas
 Aku dengan bangganya dapat mengatakan bahwa aku kemana-mana bisa naik bis, taksi, ojek atau bahkan jalan kaki. Tapi di tempat ini, kebanyakan orang berjalan kaki kemana-mana. Walau pun cukup banyak orang yang memiliki motor di tempat ini, tapi mengendarai motor dapat digolongkan sebagai sebuah situasi yang teramat nyaman. Jika ditanyakan tentang ojek, di tempat ini yang menarik ojek adalah mereka yang memang memiliki motor dan sempat menjadi ojek. Kalau mereka tidak sempat, kami tidak akan bisa pergi ke tempat yang cukup jauh.

Jika dikatakan aku bisa pergi kemana-mana naik bis, di tempat ini untuk pergi ke Soe atau Kupang itu menggunakan apa yang disebut dengan travel. Travel disini biasanya adalah mobil sejenis APV atau kijang yang setiap hari mengangkut orang-orang ke beberapa kota, seperti Soe atau Kupang. Tapi travel itu pun harus dipesan sehari sebelumnya. Bisakah kamu bayangkan dalam satu mobil itu mungkin bisa muat 10-12 orang ditambah dengan barang yang ditaruh di bagasi, dipangku atau bahkan di atas mobil, belum  lagi ditambah dengan mungkin merek bawa ayam di dalam mobil. Bisa kah kamu bayangkan selama dua sampai tiga bahkan lima jam (jika mau ke kupang) duduk dengan kondisi seperti itu? Yeap...aku merasakan kondisi seperti itu ketika aku kembali dari Soe ke desa ketika kemarin aku dan teman-teman sempat main ke Soe. Sesampainya di desa, pinggang dan semua badanku rasanya sakit, lalu aku berkata kepada temanku, “Kita tidak usah sering-sering pergi ke Soe ya, badanku sakit semua karena sepanjang jalan tidak bisa bergerak.”
Barisan kuda-kuda besi Jakarta dengan suara deru mesinnya dan suara ringkikannya
Lalu jika dikatakan bahwa aku bisa berjalan kaki. Apakah kamu tahu anak-anak disini, yang mengenyam tingkat pendidikan SMP atau pun SMA, bisa menempuh perjalanan satu sampai dua jam hanya untuk sampai di sekolah. Jadi kalau bolak balik mereka bisa menghabiskan waktu dua sampai empat jam berjalan kaki setiap harinya. Sanggup kamu Tres tiap hari jalan kaki dua sampai empat jam? Dari hari Senin sampai hari Sabtu secara konsisten?
Jalanan beraspal Jakarta yang lebar dan mulus
Yeap...dari segi kenyamanan transportasi saja, aku akhirnya tidak punya pilihan lain selain mengakui bahwa aku manja. Jakarta secara resmi telah memanjakan aku dengan moda transportasinya.
Matahari yang terbenam di antara gedung-gedung pencakar langit
Lalu sebuah cerita yang membuatku tidak bisa menyangkal bahwa aku  adalah si manja  dari Jakarta  adalah ketika ingin mengadakan syukuran. Di pertengahan Oktober kemarin, di gereja kami mengadakan nikahan massal. Dalam minggu persiapan pernikahan massal tersebut, sungguh kami melakukan semua persiapan, terutama mama dan bapak pendeta beserta para pemuda serta para mama dan bapa lain yang ada di tempat ini. Mereka dari berbagai tempat datang bergantian untuk membantu persiapan. Kamu tahu apa yang mereka lakukan? Mereka mengatur mulai dari mengurus dekorasi gereja untuk para calon pengantin, membantu mempersiapkan surat-surat, membantu menyiapkan snack yang akan dibagikan, membantu membuat liturgi. Mereka melakukan semua itu, sungguh semuanya sendiri dengan berbagi tugas. Sendiri disini maksudnya adalah mereka menjadi  event organizer buat acara mereka sendiri. Lalu, aku membandingkan dengan keadaan di Jakarta, kalau di Jakarta mau buat acara seperti ini untuk makanan pasti akan memesan catering, sesederhana apa pun catering itu rasanya sangat jarang ada orang yang mau masak sendiri saat ada pesta dengan kehadiran orang 300-500 orang. Tidak usah jauh-jauh membayangkan pesta besar seperti pernikahan, acara Natal di gereja-gereja Jakarta saja untuk snack (seperti roti) pasti memesan, jarang sepertinya ada ibu-ibu yang janjian buat masak ramai-ramai untuk menyiapkan konsumsi. Lalu untuk acara, pasti akan menyewa event organizer, apalagi kalau untuk acara pernikahan, sepertinya jarang melibatkan seluruh anggota keluarga menjadi panitia.
Saat di Jakarta aku menemukan barisan gedung-gedug pencakar langit, disini aku menemukan barisan pohon cantik dengan daunnya yang sedang berguguran, begitu cantik dan membuatku tertegun kagum
Dan contoh kecil lain yang sebenarnya tidak kecil-kecil amat, di desa ini kalau mau makan, entah itu makan pagi, siang atau malam itu harus masak sendiri. Coba kita bayangkan betapa manjanya kita di Jakarta, kalau pagi kita lapar kita bisa beli nasi uduk, lontong sayur atau mie ayam. Di tempat ini, kami membuat kue-kuean sederhana, pisang goreng atau ubi rebus untuk sarapan. Mau beli lontong sayur, nasi uduk dan mie ayam dimana coba? Lalu untuk makan siang di Jakarta, contoh nyata di rumahku, aku dan seisi rumah nga akan pernah kelaparan. Tahu mengapa? Karena sepanjang dari pagi hari bahkan sampai tengah malam pasti ada tukang makanan yang lewat, mulai dari tukang bubur, mie tek tek, gorengan, kembang tahu, es cincau, nasi goreng, martabak telor, tukang indomie goreng, soto babat, bektim, sebut saja segala jenis makanan, pasti ada lima yang paling tidak suka lewat depan rumahku. Begitu pun dengan makan malam, di Jakarta kalau lagi lapar dan bosan dengan tukang makanan yang lewat di depan rumah bisa pesan antar makanan, baik itu McDonald’s, KFC, Pizza dan banyak lainnya, sebut saja pasti rata-rata mereka memiliki layanan pesan antar. Atau kalau lagi rajin, ujung-ujungnya pergi makan ke mall sambil cuci mata.
Saat di Jakarta aku melihat matahari terbenam dari antara gedung-gedung tinggih nan kokoh, disini aku melihat matahari terbenam dari antara pepohonan dan pegunungan
Berada di tempat ini, aku baru menyadari bahwa Jakarta itu termasuk salah satu kota yang menyenangkan dan memanjakan rakyatnya. Aku baru memahami sekarang betapa orang-orang di luar Pulau Jawa menganggap Pulau Jawa itu seperti  surga dengan segala hal yang dapat dikatakan sebagai kemewahan.
Dengan berjalan kaki kami berangkat ke persekutuan pemuda di rumah salah seorang jemaat
Dan di tempat ini, aku baru sungguh belajar bersyukur tentang Jakarta. Jakarta yang memiliki hubungan emosional yang sangat erat denganku. Dalam beberapa tuilisanku, aku selalu mengatakan bahwa aku memiliki hubungan benci dan cinta yang sangat dalam terhadap kota tercinta ini. Dan keberadaanku di tempat ini, seakan kembali mengukuhkan hubunganku dengan kota itu. Kota yang selalu ramai dengan segala kesibukan dan hiruk pikuk serta tuntutannya. Kota yang sungguh padat dan sumpek itu. Kota yang selalu langgangan banjir tiap tahun. Kota yang selalu macet hampir di setiap jalan dan setiap hari. Kota yang begitu bising dengan suara kendaraan bermotor serta suara klakson. Kota yang begitu gemerlap dengan lampu-lampu jalanan. Kota yang dikelilingi dengan gedung-gedung tinggi nan angkuh. Kota yang begitu semrawut. Kota yang begitu aku benci dan aku cintai. Kota yang begitu aku rindukan. Kota yang telah kuanggap sebagai rumahku.

Jika di tempat dulu aku bekerja aku bisa menemukan Bank BCA di gedung tempatku bekerja, di samping ada gedung UOB Buana, lalu ada Bank of China, Bank Mandiri,, CIMB Niaga dan berbagai bank nasional lainnya, di tempat ini  Bank BRI adalah satu-satunya bank nasional yang ada
Namun, aku juga kembali diingatkan tentang satu hal di tempat ini. Mungkin aku sebagai orang luar atau pendatang, akan menganggap penduduk di desa ini kehidupannya begitu memprihatinkan. Tapi jika aku mau membandingkan diriku dengan mereka, mereka dengan segala keprihatinannya adalah orang-orang yang jauh lebih kuat dan tangguh jika dibandingkan denganku. Bayangkan saja, mereka bisa bertahan selama sekitar tujuh bulan dalam kondisi kekurangan air, dari bulan April sampai dengan bulan Desember. Apalagi di akhir November sampai dengan bulan Desember dimana kondisi sungguh sangat paceklik, hasil panen yang mulai habis dikonsumsi serta persediaan air tanah yang sudah mulai menipis karena hujan yang belum kunjung turun. Bahkan tanah saja menjadi retak dan bisa dibilang “garing” karena terlalu keringnya. Di bulan November awal kemarin, selama beberapa hari di depan kamar mandi aku melihat banyak mayat-mayat semut yang mati bergelimpangan karena kondisi tanah yang terlalu panas. Mereka keluar dari sarangnya karena terlalu panas dan akhirnya mati. Bukankah seharusnya musim panas adalah musim dimana semut mengumpulkan persediaan makanan untuk musim hujan? Dan di tempat ini, sebagian dari mereka mati bergelimpangan.
Sejauh mata memandang hanya ada langit biru dan pepohonan yang  terhampar dengan begitu indahnya, bagaikan permadani agung ciptaan Sang Maha Kuasa
Dan bagi masyarakat di tempat ini, bagi anak-anak terutama bahagia terasa begitu sederhana. Di desa ini, selama hampir tiga bulan aku tinggal, jarang sekali rasanya aku melihat anak-anak yang bermain sepeda. Bahkan dapat dikatakan aku tidak pernah melihat anak-anak bermain sepeda, sama sekali. Mainan mereka disini hanya kumpul bersama teman-temannya, sekedar jalan bersama atau memanjat pohon. Mainan mereka yang lain adalah kelereng, bagi mereka satu buah kelereng itu sangat berarti. Beberapa minggu yang lalu, aku sempat melihat seorang anak kecil di tempat ini yang sedang mengangkat batu-batu, Dedi namanya. Ketika aku bertanya kepada anak kecil kelas 5 SD ini apa yang sedang dia lakukan, dia berkata bahwa dia sedang mencari kelerengnya. Adiknya membuang kelereng itu di antara bebatuan dan dia dengan sungguh-sungguh mencari kelereng yang hanya satu butir itu. Bisa kamu bayangkan? Dan di sini jarang sekali anak-anak yang memiliki bola kaki, hanya ada satu atau dua anak, jadi kalau anak itu tidak datang, maka mereka tidak bermain bola. Mainan mereka yang lain adalah ban bekas atau kepingan CD bekas yang dijadikan seperti mobil-mobilan untuk mereka. Memiliki mainan seperti lego atau mobil-mobilan Hot Wheels sepertinnya tidak pernah mereka bayangkan.
Ketika di Jakarta pada malam hari dipenuhi dengan gemerlap kerlap kerlip lampu jalanan dan gedung-gedung tinggi serta lampur billboard, di tempat ini suasana sore begitu tenang, sederhana dan terasa rendah hati
Aku menceritakan keadaan ini bukan untuk memperlihatkan bahwa  hidup mereka begitu menyedihkan. Tidak, sama sekali tidak. Justru dari mereka, aku sebagai orang yang berasal dari kota besar diingatkan bahwa bahkan sebelum aku hadir, mereka sudah menjalani kehidupan dan rutinitas seperti ini. Mereka bisa menjalani kehidupan mereka yang seperti ini. Mereka jarang makan beras? Betul, tapi itu tidak membuat mereka menjadi kelaparan. Mereka memiki persediaan jagung,ubi atau pun pisang hasil kebun yang bisa mereka petik dan mereka makan.

Di desa ini, aku belajar bahwa kebahagiaan kita tidak ditentukan dari dimana kita tinggal. Tinggal di kota besar tidak menjamin bahwa kita lebih berbahagia dibandingkan dengan mereka yang tinggal di desa kecil. Memang betul jika ditanyakan tentang kenyamanan, kota besar menawarkan kenyamanan hidup yang tidak ada di desa kecil, seperti infrastruktur jalan yang baik, alat transportasi yang memadai, air bersih, listrik dan banyak hal lainnya. Tapi, di tempat ini mereka bisa menjalani hidup bahkan hanya dengan cahaya pelita di waktu malam dan mereka tetap bisa tersenyum. Bahkan, senyum dan tawa anak-anak kecil disini terasa lebih asli dan tulus jika dibandingkan dengan anak-anak di Jakarta. Anak-anak di tempat ini mungkin terkadang nakal dan nyebelin, tapi keluguan mereka itu adalah sebuah hal yang sekarang terasa sangat mahal untuk ditemukan di dalam jiwa anak-anak kota besar yang sudah terlalu banyak tahu.

Pesan yang ingin aku sampaikan disini adalah, kebahagiaan tidak bisa diukur dari materi dan dimana kita tinggal. Kehidupan di desa tidak selalu lebih memperihatinkan dibandingkan dengan kehidupan kota. Akan baik memang jika ada pihak-pihak yang ingin membantu mereka. Namun hal yang harus dipikirkan kembali bagi mereka yang memiliki hati membantu adalah apakah mereka sungguh ingin membantu para penduduk di desa kecil dengan ketulusan? Apakah benar ada kepedulian? Atau kah hanya mengirimkan materi tanpa ada perhatian dan rasa sayang? Bantuan materi memang diperlukan, tapi mereka membutuhkan bantuan yang lebih berkesinambungan, pemberdayaan kehidupan mereka, bantuan untuk menaikkan taraf kehidupan mereka secara lebih nyata, bukan hanya bantuan berupa materi yang sekali dikirim dan selesai. Berikanlah bantuan dengan menggunakan hati, bantuan yang bukan untuk merusak mereka menjadi memiliki mental “meminta” dan “mengharapkan bantuan” tapi membantu mengubah pola pikir dan mental mereka menjadi “Aku harus berubah”, “Aku harus maju”.

Ini seharusnya menjadi doa dan kerinduan kita bersama sebagai sesama saudara bangsa Indonesia. Seperti sebuah kutipan yang pernah ditulis oleh seorang sahabat,  “cerita ini bukan tentang aku, bukan tentang kamu, tapi tentang kita”.

Bukan hanya memajukan Indonesia bagian barat, tapi juga Indonesia bagian tengah dan Indonesia bagian timur. Kita semua saudara sebangsa dan setanah air yang sebaiknya saling membantu dan bergandengan tangan serta peduli kepada saudara kita yang berada di tanah yang jauh disana. Dan pertanyaan untuk diriku dan juga untuk kita semua adalah, “Mau kah kita peduli?” Mari kita bersama-sama merenungkan dan menanyaan hal tersebut ke dalam hati kecil dan hati nurani kita yang mungkin telah lama kita matikan keberadaaannya.

Sebuah renungan sore di penghujung November 2015,
T
Mnela,anen,
23 November 2015

No comments:

Post a Comment