“Yes God…I want him, dia berasal dari keluarga Kristen,
pelayanan dan baik, bukankah dia terdengar sempurna? Please God…setujui ya
proposalku?” Bahkan sebelum TUhan sempat menjawab ya atau tidak aku sudah
memberikan jawabanku kepadanya. I said “yes” to him dan yes that’s my very
first time, officially got a status “in a relationship”.
Membutuhkan waktu yang lama bagiku untuk dapat berbagi
cerita ini di blog-ku. Aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak memberikan kesan
yang terlalu galau, kelabu dan melankolis. Karena bukan itu pesan yang ingin
kusampaikan.
Ketika aku
menulis cerita cintaku
Cerita ini dimulai ketika aku masih berusia 16
tahun. Seorang gadis remaja yang baru masuk SMA. Begitu naïf dengan hati yang
masih utuh dan jiwa yang begitu rapuh. Penuh dengan rasa penasaran dan emosi
yang meluap-luap. Ketika itu, aku masih menjadi seorang gadis kecil yang rajin
ke gereja dan pelayanan, menari, usher dan berbagai pelayanan lainnya. Di
sekolah, oleh teman-teman dekatku, aku dieknal sebagai seorang gadis kecil yang
memiliki kerohanian yang baik. Satu hal yang tidak mereka tahu, aku memiliki
hati utuh yang rapuh. Dibesarkan dengan ditemani oleh cerita-cerita Putri
Disney membuatku bertumbuh menjadi sosok gadis kecil yang menyukai
cerita-cerita romantic. Yes…I’m a very
hopeless romantic little girl, well..you can see it from the way I write.
Dia adalah kakak kelasku, aku diperkenalkan kepadanya
oleh seorang teman yang juga merupakan kakak kelasku, sahabatnya. Saat itu, di
mataku dia adalah sosok lelaki yang begitu sempurna. Pintar, baik dan salah
satu anggota band di sekolah. Siapa
sich anak SMA yang nga suka sama tipe lelaki seperti itu? Dan lagi…dia berasal
dari keluarga Kristen yang taat dan juga aktif melayani di gereja dan sekolah. Ketika
pada akhirnya dia mengatakan suka kepadaku…dan aku juga nga bisa bohong, aku
menyukainya. Sesaat sebelum aku memberikan jawaban kepada kakak kelasku ini,
kakak kelasku yang lain yang juga merupakan kakak kerohanianku di sekolah mengajakku
berbicara. Dia bertanya kepadaku apakah aku benar-benar yakin mau menjalani
hubungan ini dengannya. Dia mengatakan jangan seperti dia yang baru saja putus
dengan pacarnya yang juga kakak kelas selepas pacarnya lulus SMA dan harus
berkuliah. Sebenarnya, itu adalah peringatan pertama bagiku. Namun…emosi dan
rasa sukaku mengalahkan itu semua. Di malam hari, aku berbicara kepada Tuhan,
bukannya bertanya apakah semua ini sesuai dengan kehendaknya atau tidak, aku
malah berkata, “Yes God…I want him, dia berasal dari keluarga Kristen,
pelayanan dan baik, bukankah dia terdengar sempurna? Please God…setujui ya
proposalku?” Bahkan sebelum TUhan sempat menjawab ya atau tidak aku sudah
memberikan jawabanku kepadanya. I said “yes” to him dan yes that’s my very
first time, officially got a status “in a relationship”.
Dan sejak hari itu, gadis kecil ini tidak lagi
sama. Aku dan dia pernah melayani bareng di sekolah, I loved that moment. Ya
maksudnya adalah aku menyukai kebersamaanku dengannya dan aku melupakan untuk
siapa aku melayani. Aku mulai kehilangan fokusku kepada-Nya dan aku mulai
berfokus kepada dia. Pacarku saat itu seakan menjadi pusat kehidupanku dan tanpa
aku sadari aku kehilangan identitasku saat aku tidak bersama dengannya.
Kemudian hari itu tiba, dia harus berkuliah di luar
negeri dan kami harus menjalani long
distance relationship. Kebiasaan terlalu sering bersama dengannya membuatku
merasa terikat dengannya dan tanpa aku sadari aku menjadi pacar yang sangat demanding dan tidak mandiri, aku menjadi
sosok pacar yang sangat mengganggu, aku lupa bahwa dia memiliki kehidupannya di
sana. Perbedaan waktu 14 jam membuat semuanya terasa semakin sulit. Ketika aku
bersekolah, dia beristirahat dan begitu sebaliknya. Akhirnya…hanya sebulan
menjalani LDR, hubunganku dan dia diakhiri. Hati yang rapuh ini hancur
berantakan, aku terluka dan tidak berdaya. Aku marah kepada dia dan diriku
sendiri. Aku malu dan marah kepada Tuhan. Sejak bersama dirinya, aku perlahan
mulai menjauhi Tuhan dan menjauhi komunitasku yang dulu, aku mulai tidak fokus
melayani.
Setahun kemudian, aku berkuliah di sebuah kampus
negeri yang lumayan jauh dari rumah dan dari gereja. Berada dalam lingkungan
yang penuh warna dan jauh dari rumah, aku semakin meninggalkan komunitasku. Aku
mulai sangat jarang pelayanan dan aku sadari itu adalah salahku. Bahkan di
kampus, aku menjauhi komunitas Kristen. Aku mulai berjalan tak tentu arah. Hati
yang terluka dan jiwa yang rapuh ini tanpa aku sadari mulai merusak diriku. Aku
mulai berkompromi tentang kriteria calon pacar. Aku melupakan persekutuan
dengan Tuhan dan aku semakin jauh dari-Nya. Dan akhirnya aku berpacaran dengan
seseorang yang sangat jauh dari kriteria awalku. Dia seorang lelaki yang baik
dan aku tahu dia sangat menyayangiku, namun…aku tidak bisa menemukan kedamaian
ketika aku bersamanya. Ada suara kecil dalam hatiku yang terus menerus
mengingatkanku bahwa semua ini salah dan aku tidak seharusnya seperti ini.
Setelah menjalani hubungan selama beberapa waktu
dengannya, aku putuskan aku ingin ke Tiongkok. Alasan utamaku adalah karena aku
ingin belajar bahasa Mandarin dan alasanku yang lain adalah aku ingin
memutuskan hubungan dengannya. Dan ketika aku di Tiongkok, bukan berarti aku
terlepas dari masalah. Aku dekat kembali dengan lelaki lain yang juga sangat
jauh dari kriteria yang seharusnya aku miliki. Dan sampai akhirnya aku pulang
ke Indonesia baru semua itu berakhir. Kembali ke Jakarta, aku kembali memiliki
hubungan dengan seorang lelaki. This is
the shortest and the most destructive relationship I ever had. Setelah aku
berpacaran dengannya, aku baru mengetahui bahwa dia adalah pria yang kasar,
temperamen, emosional dan posesif. Menjalani hubungan sebulan dengannya serasa
menjalani hubungan ratusan tahun. Seminggu pertama aku berpacaran dengannya,
dia memintaku untuk berpindah keyakinan. Dan aku sangat kaget.
Sebandel-bandelnya aku, satu hal yang selalu aku tahu pasti aku nga akan pernah
menukar keyakinanku dengan apa pun juga (dan aku bersyukur karena aku bisa
menjaga komitmenku sampai dengan saat ini). Setelah melewati satu bulan yang
seperti neraka, aku memutuskan hubungan dengannya. Dia nga pantas mendapatkan
rasa sayang dan air mataku, I should go.
4 tahun masa
pencarian
Sudah hampir 4 tahun berlalu sejak cerita
terakhirku, teman-temanku bertanya kepadaku mengapa aku belum punya pacar,
sosok lelaki seperti apa yang aku cari dan sebagainya. Aku akhirnya berani
kembali kepada keyakinan awalku, aku menginginkan lelaki yang seiman denganku
dan dapat membantuku untuk semakin bertumbuh di dalam Dia, bukan sekedar beragama
Kristen. Selama 4 tahun ini, temanku mengenalkanku dengan lelaki ini dan itu,
sebagian beragama Budha dan Katolik. Entah mengapa aku sulit menemukan lelaki
Kristen di dalam komunitasku. Dan kalau pun aku bertemu dengan lelaki Kristen,
mereka tidak bisa membuatku cukup tertarik terhadap mereka, entah karena
karakternya atau karena hatiku kembali memiliki kriteria yang tinggi.
Selama 4 tahun ini, aku hanya bisa dekat dengan
mereka, namun aku tidak mau untuk terlibat lebih jauh dengan mereka. Aku kadang
bertanya kepada hatiku…apa sich yang kamu mau? Kamu cari cowok Kristen tapi
kalo ada cowok Kristen yang deketin kamu, kamu nga ada chemistry? Nga ngerti lagi
dech maunya apa.
Kemudian hati ini menjawab…kamu mau sama cowok
ganteng nga Tres?
Siapa sich yang nga suka ngeliat cowok ganteng,
tapi kalau cuma ganteng tapi ngobrolnya nga nyambung dan karakternya
biasa-biasa aja, lama-lama juga bosen. Lagian…aku juga nga secantik dan
semenarik itu koq sampe bisa dideketin sama cowok ganteng. tapi Tres…cowok
ganteng itu kan gen-nya ganteng, nanti kalau punya anak pasti anak-anaknya
cakep. Well…whatever dech, jauh amat mikirnya sich >.<
Terus kalau cowok tajir?
Ya punya cowok tajir pasti menyenangkan kali ya,
bisa dibeliin barang mahal ini itu, mau pergi kemana aja suka-suka, tapi kalau
gaya hidupnya berantakan apa kamu mau? Tiap malem khawatir karena dia nga
pulang-pulang dan kamu nga tahu di jalan kemana.
Aduh Tres….susah amat sich…cowok pinter dech, cowok
pinter kan biasanya baik-baik?
Cowok pinter ya…uhm…iya sich boleh, cuma kalau dia
kepinteran terus dia jadi ngomong pake bahasa-bahasa yang aku nga ngerti
gimana? Kalau aku nga sama pinternya sama dia yang ada dia nanti nga bisa
menghargai aku.
Susah ya Tres…kamu maunya apa sich?
Aku nga bisa mempercayai hatiku.
9 Februari
2014
Aku membuat sebuah catatan yang aku dapat dari
sebuah buku tentang sosok kriteria lelaki Kristen yang merupakan kriteria utama
dan nga bisa diganggu gugat. Dua belas kriteria yang sepertinya sangat mustahil
untuk aku temukan di sekitarku saat ini. Aku mendoakannya di bulan-bulan
pertama, namun sepertinya aku tidak akan pernah bisa menemukan sosok pria itu.
Perlahan-lahan aku mulai lupa untuk berdoa. Mungkin wajar aku lupa untuk berdoa
saat itu, karena berdoa hanya menjadi rutinitas, bukan kebutuhanku.
16 September
2014
Beberapa hari sebelum hari ulang tahunku, tanpa sengaja
aku membaca diari-diariku beberapa tahun yang lalu, sejak aku masih SMP
tepatnya. Aku hanya bisa melihat sosok seorang gadis kecil yang kesepian,
membutuhkan kasih sayang, merasa nga berharga dan merasa sangat inferior,
bahkan untuk menghargai dirinya sendiri saja dia nga bisa. Menyedihkan. Dan
saat membaca buku harian itu, aku seakan diingatkan untuk bangkit dari diriku
yang lama. Melakukan perubahan menjadi sosok baru, seorang wanita yang tahu
bahwa dirinya berharga, layak dicintai dan menghadapi hari-hari ke depan dengan
lebih optimis.
Dan tepat pada hari spesialku, my 27th birthday. Yeap…aku berumur 27 tahun tepat
tanggal 16 September 2014 yang lalu aku membuat resolusi itu. Aku memutuskan
untuk belajar menghargai diriku sendiri. Sudah hampir 5 bulan sejak aku membuat
resolusi itu, bukannya tanpa cobaan. Kadang diri yang lama ini masih suka
mengintip, mencari celah untuk masuk. Namun…aku berhasil menolaknya dengan
kekuatanku sendiri. Aku masih lupa mengikutsertakan Tuhan dalam perjalananku.
Januari 2015
“Tere…kapan mau ketemuan?”
Sebuah BBM dari teman lamaku masuk ke BB-ku. Teman ini
sudah aku kenal sejak aku SMP. Sudah lama sekali sejak aku bertemu dengannya. Tahun
lalu sebenarnya dia pernah mengajakku ketemuan tapi nga jadi dan akhirnya dia
BBM aku lagi.
Membaca BBM-nya jujur aja sich sebenarnya aku malas
ketemu sama dia, karena sudah lama banget nga ketemu dan aku males aja emang,
hahaha…tapi karena sudah janji dari tahun lalu, akhirnya aku setuju dengan
ajakannya untuk bertemu denganku. Kami bertemu makan malam, dia mengajak
seorang temannya jadi kami bertiga. Okay…bukan pertemuan dengan mereka yang
ingin aku ceritakan disini. Tapi ketika aku berada di mobil temannya dalam
perjalanan pulang. Di mobil itu, dimainkan lagu “Christ is Enough”, ini adalah salah satu lagu yang pernah aku
dengar di sebuah gereja dan aku menyukai liriknya, lagu ini memberikan aku
ketenangan dan kedamaian, mengatakan bahwa Christ
is enough for me, everything I need is in You. Itu adalah sentuhan terhadap
hatiku yang pertama. Mendadak hati ini terasa perih. Aku menenangkan
diriku, aku mencoba untuk menarik nafas dalam-dalam dan berusaha tenang. Kemudian
di dalam perjalanan temanku bertanya aku bergereja dimana dan kenapa aku udah
nga pelayanan lagi. Yeap…itu adalah sentuhan kedua, aku hanya tertawa dan nga
bisa menjawab pertanyaannya. Speechless. Lalu…temanku
tiba-tiba memasang sebuah lagu berjudul “My
Heart, Your Home”, well..ketika lagu itu mulai berputar dan aku
mendengarkan melodi dan liriknya, itu adalah sentuhan ketiga yang benar-benar
membuatku terdiam dan ingin menangis. Lagu itu mempunyai kenangan tersendiri
bagiku. Lagu ini adalah lagu yang pernah ditarikan oleh temanku ketika aku
masih menjadi aktivis dan rajin melayani. Lagu ini adalah salah satu lagu
favoritku, daku menyukai lirik, melodi dan gerakan tarian yang ditarikan. Aku
hanya bisa berkata dalam hati “Tenang Tres…kamu nga mungkin nangis di depan dua
orang ini, satu orang baru kamu kenal dan satu orang udah lama nga ketemu sama
kamu. Please dech Tres…jangan bikin malu dan bikin orang bingung ya…”
Sepulangnya aku di rumah, aku mengingat semua
kejadian yang aku alami malam itu. Aku sudah lama tidak pernah merasa tersentuh
seperti ini. Hati ini terasa perih dan sakit, aku ingin menangis. Aku
merindukan-Nya. Ada ruang kosong di hati ini yang merindukan-Nya.
Beberapa minggu setelahnya, aku kembali bertemu
dengan kedua temanku ini, salah seorang dari mereka memberikan aku link untuk renungan harian. Dan sejak
hari itu, aku mencoba untuk taat dan kembali kepada-Nya. Perjalanan bukannya
tanpa kendala. Banyak suara dalam hatiku yang terus menerus mengintimidasiku “Udah
dech Tres, jangan sok suci dan munafik, kamu tuch nga layak balik ke Dia, kamu
udah terlalu menyakiti Dia, kamu udah lama ninggalin Dia terusmau seenaknya
balik?” “Tres…kamu nga inget berapa banyak kesalahan dan dosa yang udah kamu
lakukan, kamu nga malu? Koq nga tahu malu banget sich? Kamu tuch udah nga layak
di hadapan-Nya.” Tetapi ada suara lain di dalam hatiku yang berkata, “Aku udah
maafin kamu koq dan aku bersedia menerima kamu lagi. Aku juga kangen sama kamu,
Aku merindukanmu. Jangan dengerin perkataan negatif itu, kamu adalah anak-Ku
yang berharga dan kamu tahu itu kan? Kembalilah kepada-Ku, aku juga
merindukan-Mu, aku ingin hubungan kita lebih mesra dibandingkan dulu. Bukankah kamu
merindukan-Nya juga? Bukankah kamu merindukan sentuhan-Ku dalam hidupmu?”
Beberapa minggu ini, aku cuma bisa menangis. Ada
dua suara yang terus berseteru dalam hatiku dan aku terus mengintimidasi diriku
sendiri. Aku menyukai hubunganku dengan-Nya saat ini, aku merindukan dan haus
dengan surat surat cinta-Nya. Seumur hidupku, belum pernah aku merasakan
kerinduan ini, seumur hidupku bahkan sejak aku masih kecil. Dan aku nga mau
melepaskan-Nya dan kehilangan-Nya lagi, aku nga mau mengorbankan perasaan ini
demi apapun juga.
“Tres….please dech, jangan sok rohani dan
religious, nga pantes tahu…itu lebih cocok buat diri kamu dulu, kalo yang
sekarang? Aduh…nga pantes banget…coba kamu cek motivasi kamu udah murni belum? Salah
nga?”
Ya…suara-suara itu terus mendatangiku. Ya Tuhan…Kau
tahu hatiku, Kau tahu apa yang aku rasakan. Dan…apakah semua suara ini muncul
karena kelemahanku? Keegoisanku dalam menulis cerita cintaku sendiri? Jika
memang seperti itu ya Tuhan…ajar aku untuk memberikan pena dan kertas ini
kepada-Mu, ajarkan aku untuk menyerahkan hal ini kepada-Mu. Ajar aku untuk
bersabar dan bersandar kepada-Mu untuk menulis cerita cintaku, karena bahkan
aku nga bisa percaya sama hatiku sendiri, bagaiman mungkin aku bisa memilih.
Dan aku belum pernah merasakan kedamaian seperti yang aku rasakan saat aku
dekat dengan-Mu dan aku nga akan lagi meninggalkannya dan menggantinya demi apa
pun juga. Ajarkan aku untuk percaya pada waktu, di tempat dan di saat yang
tepat dengan orang yang tepat. Apakah aku harus menunggu setahun, 2 tahun atau
selamanya, aku serahkan pena dan kertas ini kepada-Mu.
Saat Tuhan
Menulis Cerita Cintaku
Bulan Januari tahun ini merupakan bulan yang
istimewa bagiku. Aku menemukan kembali diri-Nya dan aku sedang menikmati
keindahan saat dibentuk oleh-Nya. Ini bukan perjalanan yang mudah dan aku masih
belum tahu aku dapat bertahan atau tidak. Banyak kejelekan yang harus aku
tinggalkan dan rasanya sakit dan perih, meninggalkan hal yang sudah menjadi
kebiasaanku dari tahun ke tahun. Bukan hal yang mudah, karena intimidasi dari
cerita masa laluku masih sering menghantuiku dan menghakimiku. Bukan hal yang
mudah, karena aku tidak terbiasa memiliki cerita rohani yang begitu indah dan
mesra. Terasa aneh dan asing bagiku, tapi aku menyukainya. Aku menyukai rasa
damai dan menyenangkan saat dibentuk oleh-Nya. Masa-masa ini bukan berarti aku
sudah sempurna, aku masih penuh dengan luka, kesalahan, dosa dan kelemahan
karena itu aku bersandar kepada-Nya. Aku bukan orang yang suci dan sempurna
karena itu aku membutuhkan-Nya. Dan saat ini…setelah resolusi ulang tahun dan
tahun baruku…aku memberanikan diriku untuk berkomitmen untuk tetap setia
berjalan bersama-Mu, memiliki hubungan yang mesra dengan-Mu seperti dulu,
bahkan perjalanan yang lebih baik dan lebih indah lagi. Dan…aku juga sadar…aku
harus menyiapkan banyak peralatan “perang”, karena intimidasi ini nga akan
berhenti sampai disini dan dia yang tidak menyukai perubahanku akan selalu mencari
celah untuk menyerang dan mengintimidasiku lagi, agar aku meninggalkan-Nya,
lagi.
Saat Tuhan Menulis Cerita Cintaku,
Part of The Journey,
T
Jakarta, 5 Februari 2015
Sebuah kisah kehidupan yang sangat menarik. :)
ReplyDeleteTulisan yang sangat indah :)
Terima kasih 😊
Delete:)
DeleteWaw te.. am so blessed..
ReplyDeleteada banyak yang gw dapetin :
1. gw baru tau (atau ntah gue lupa/kebiasaan gue manggil lo te), panggilan lo tres yah?! hehee
2. yup.. for me.. my self, im still in the step of saying to my self "Christ should be enough for me", before (hopefully soon) I can say "Christ is enough for me".
GBU my friend.. :)