Perempuan itu berusia 27 tahun.
“Mengapa kamu belum menikah?”
“Kamu belum ada pacar? Perempuan seumur kamu ini harusnya
sudah mempunyai pacar dan sudah siap menikah.”
“Koq pacarnya ngga pernah dibawa ke rumah? Masa sih
kamu ngga punya pacar? Bawalah pacar kamu ke rumah.”
Lalu di tempat lain, ibu dari seorang sahabatnya
bertanya, “Yakin dia ngga punya pacar? Padahal dia ngga jelek lho.”
Seorang sahabatnya juga menasihati,”Udah kamu
jangan terlalu pemilih, kamu mau nunggu sampai umur berapa?”
“Kamu tuh kalau mau bisa lho tinggal nunjuk doang,
jangan lupa sama umur.”
Perempuan itu hanya bisa menjawab dan menjelaskan
dengan sabar dan tersenyum.
“Iya...belum ada pacar.”
“Belum ketemu yang cocok.”
“Nanti dibawa koq kalo sudah ada.”
Selama ini dirinya merasa baik-baik saja dengan
kehidupannya.
Dirinya tidak merasa ada yang salah dan perlu
diburu-buru.
Dia begitu menikmati kehidupan dan perjalanannya.
Tidak ada yang terlalu mengganggu dengan status
lajangnya.
Namun pertanyaan-pertanyaan yang datang dari orang
yang terlalu peduli pada kehidupannya membuat dia bertanya-tanya.
“Apakah ada batasan umur dimana seseorang harus
menemukan pasangannya.”
“Apakah seorang perempuan harus menikah saat dia
berada di usia 20-annya.”
“Kamu tuh ngga bisa hidup sendiri, ngga baik.
Setiap orang ingin memiliki pasangan, itu sebabnya mereka menikah.”
Begitukah?
Jika ya, apakah semua alasan umur dan ketakutan
hidup kesendirian menjadi alasan seseorang untuk menikah?
“Jangan terlalu banyak mengumbar status dan
penjelasan kehidupan lajang di media sosial. Seakan memberi pembelaan yang jadi
terdengar menyedihkan. Jangan membuat orang-orang mengasihani kamu.”
Perempuan muda itu tidak menulis untuk minta
dikasihani.
Jika untuk pembelaan diri, mungkin ya.
Dirinya bahagia dan menikmati kehidupan lajangnya.
Sampai pada akhirnya mereka yang terlalu peduli
ikut campur dan mendikte apa yang harus dan segera harus dilakukan oleh
dirinya.
Biarkan saja orang-orang mengasihani dirinya.
Selama dirinya merasa bahwa dia baik-baik saja,
apakah harus memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya?
Mereka perhatian.
Mereka peduli.
Mereka menyayangi perempuan itu.
Dan perempuan itu sungguh bersyukur untuk setiap
perhatian , kepedulian, dan rasa sayang yang dia terima.
Sungguh.
Tapi izinkan dirinya untuk menjalankan hidup yang
ingin dijalaninya dengan damai.
Perempuan itu tidak menutup dirinya untuk cinta.
Dirinya tidak menutup kemungkinan dan kesempatan
datangnya cinta dan menikah.
Tapi perasaan dan cinta bukanlah hal yang bisa
diajari dan dipaksakan.
Lebih baik hidup sendiri dibandingkan bersama
dengan orang yang tidak kita cintai.
Perasaan kesepian yang timbul ketika bersama dengan
orang yang salah akan lebih menyiksa dibanding dengan rasa kesepian karena
hidup sendiri.
Hidup bersama dengan seseorang tidak menjamin
seseorang akan terbebas dari rasa kesepian yang dirasakan.
Bagi perempuan itu, merasa kesepian atau tidak
adalah sebuah keputusan diri sendiri, dengan atau tanpa seseorang di samping dirinya.
Dia akan tetap menunggu datangnya cinta.
Dan akan berjalan bersamanya saat dirinya sudah
siap.
Di saat pria yang akan ditemuinya sudah siap.
Di saat mereka berdua telah siap dan telah
dipertemukan.
Berikanlah dukungan dan cinta, bukan paksaan dan tekanan.
Apakah memang tujuan terbesar dari kehidupan itu
hanya menikah, berkeluarga, memiliki anak kemudian mati dengan meninggalkan
warisan keturunan?
Perempuan itu berusia 29 tahun dan sudah
menikah selama dua tahun.
“Kamu belum punya anak? Sudah empat tahun menikah
lho. Jangan diundur-undur. Jangan ditunda-tunda.”
“Anak tante aja sudah punya anak dua lho, baru
menikah dua tahun yang lalu.”
“Iya Tante...ngga ditunda koq.”
Entah berapa alasan yang telah diungkapkan dan
diberikannya.
Entah berapa senyuman yang sudah diberikannya.
Dirinya lelah terus dipertanyakan selama beberapa
tahun sejak pernikahannya.
Hal yang tidak orang-orang tahu adalah, dirinya
sudah pernah dua kali keguguran.
Dia dan suaminya sudah mencoba pergi dan berusaha
ke setiap pengobatan yang mereka tahu untuk memeriksakan diri mereka.
Pengobatan modern.
Pengobatan alternatif.
Pengobatan tradisional.
Semua jenis pengobatan telah mereka jalani.
Setiap malam perempuan ini mempertanyakan dirinya
sebagai seorang perempuan.
Seorang perempuan belum sempurna jika belum
melahirkan anak dari rahimnya sendiri.
Tapi apa yang harus dilakukan jika mereka belum
diberi kesempatan untuk menjadi seorang ibu.
Ke manakah dia harus berteriak dan marah?
Ke Penciptanya?
Dia dan suaminya merasa baik-baik saja dengan
kehidupan mereka yag belum dianugerahi anak sebelum banyak orang yang
mempertanyaka kehidupan rumah tangga mereka.
Setiap pertanyaan itu bisa membuat hubungan mereka
yang baik-baik saja menjadi renggang.
Mereka bisa saja terlibat dalam pertengkaran hebat
karena mempertanyakan kehidupan keluarga kecil mereka yang belum mempunyai
anak.
Mereka bisa saja saling menuding menyalahkan satu
sama lain.
Pertengkaran itu bisa saja berakhir perceraian atau
perselingkuhan, demi memiliki seorang anak.
Apakah tujuan dari pernikahan hanya itu?
Demi meneruskan keturunan?
Demi meneruskan marga keluarga?
Perempuan itu berusia 30 tahun. Dirinya
masih melajang dan belum pernah merasakan hal yang dinamakan pacaran.
“Kamu belum pernah pacaran?”
“Kamu emangnya ngga mau menikah?”
Dan kembali pertanyaan itu menyerang perempuan itu.
“Iya nih...belum ketemu yang cocok. Gimang dong?”
jawab perempuan itu sambil tersenyum
“Memang belum ketemu sama jodohnya Didoakan saja
ya.”
Dari luar perempuan ini terlihat tegar dan dewasa.
Namun hal yang orang-orang tidak ketahui adalah
betapa dirinya juga sangat merindukan kehadira seorang pria dalam hidupnya.
Seumur hidupnya, dirinya belum pernah didekati
secara serius oleh pria-pria di sekitarnya.
Dirinya adalah perempuan yang pemalu dan minder.
Dia tidak terlalu percaya diri untuk menarik
perhatian pria.
Apakah dirinya harus bersikap frontal dan agresif
untuk mendapatkan perhatian seorang pria.
Demi mencari apa yang dikatakan sebagai cinta dan
perhatian lawan jenis.
Demi menunjukkan bahwa dirinya juga mampu memiliki
seorang pasangan yang selama ini dinantikannya.
“Ya ampun ya...perempuan itu..agresif
banget...kelihatan banget lagi pedekate sama si cowok ini.”
“Kan beda umurnya jauh banget, koq berani sih
ngedeketin cowok yang umurnya jauh di bawahnya”
Dan ketika perempuan itu berusaha untuk menjadi
agresif demi menutupi keminderannya, mereka pun mulai merendahkan perempuan itu
semakin dalam.
Dan perempuan yang sudah minder dan pemalu itu akan
semakin merasa rendah diri dan pemalu.
Dirinya akan semakin merasa bahwa dirinya tidak
menarik dan tidak berharga.
Tanpa disadari, dirinya menutup hatinya untuk cinta
yang mungkin saja datang nanti.
Dan apakah mereka yang telah menertawai dan
merendahkan mau turut bertannggung jawab dan ambil andil dalam perubahan
perempuan itu?
Bukankah mereka akkan lebih mudah berkata, “Begitu
aja sensi.”
“Dia rapuh banget.”
Perempuan itu berusia 35 tahun dan
memutuskan untuk mengadopsi anak bersama dengan suaminya.
“Kamu yakin mau mengadopsi anak?”
“Lebih baik punya anak dari kandungan dan gen
sendiri, ketahuan bibitnya kan. Kalau anak adopsi, kamu ngga tahu itu anak
siapa dan siapa orangtuanya. Terua kalau nanti dia sudah besar dia pasti akan
ninggalin kamu kalau dia tahu dia anak adopsi dan akan mencari orangtuanya.”
Satu hal yang tidak mereka ketahui, pasangan suami
istri sudah diberitahu bahwa mereka tidak akan memiliki anak.
Dan apakah keputusan mengadopsi itu adalah
keputusan yang buruk?
Pasangan suami istri ini berpikir bahwa di tempat
mereka tinggal sudah banyak anak yang terlantar.
Sudah begitu banyak anak-anak tidak berdosa yang
dibuang dan tidak diinginkan oleh orangtuanya.
Apakah salah jika mereka memutuskan untuk merawat
dan memberikan cinta kepada mereka yang telah ada?
Tapi mengadopsi anak itu penuh dengan risiko.
Siapa tahu gen mama papanya itu pencuri, pembunuh
atau wanita nakal.
Ketika besar pasti mereka akan seperti orangtua
mereka.
Pasangan suami istri ini sudah paham dengan risiko
yang akan mereka hadapi.
Dan lagi, apakah ada yang pasti dalam kehidupan
ini?
Bahkan anak kandung pun bisa saja menjadi anak yang
kurang ajar dan tidak tahu terima kasih kepada orangtuanya.
Dan bahkan anak kandung pun bisa saja meninggalkan
orangtuanya tanpa sebab.
Mereka pun bisa melukai orangtuanya, bisa menjadi
seorang pembunuh, pencuri atau wanita nakal.
Faktor gen memang tidak bisa dipungkiri tapi apakah
itu harus menjadi hukuman bagi anak-anak terlantar yang jumlahnya sangat
banyak.
Sejak dari kandungan mereka tidak pernah diinginkan
dan apakah sampai akhir hidupnya mereka harus menerima hukuman menyandang
status “tidak diinginkan” dalam masyarakat?
Apakah sungguh mereka harus menjalani kehidupan
seperti itu?
Pasangan suami istri merasa bahwa keputusan itu
adalah keputusan terbaik yang bisa mereka lakukan untuk keluarga kecil mereka.
Dan apakah mereka harus diserang dengan pandangan
sebelah mata dari masyarakat yang mengatakan bahwa mereka tidak bisa memiliki
anak?
Perempuan itu berusia 38 tahun.
Dirinya memutuskan untuk tidak menikah.
“Lihat tuh...kasihan perempuan itu. Umurnya sudah
hampir 40 tahun dan belum menikah juga.”
“Kalau sudah umur segitu...siapa coba yang mau sama
dia?”
“Kasihan ya orangtuanya, ngga bisa mendapatkan cucu
dari anak perempuan satu-satunya.”
Yang orang-orang tidak ketahui adalah bahwa
perempuan itu secara sadar mengambil keputusan untuk tidak menikah.
Dia tahu bahwa dirinya memiliki sebuah tujuan yang
lebih besar bagi kehidupannya dan memiliki tujuan yang berbeda dibanding
kebanyakan orang.
Dia memiliki pekerjaan yang luar biasa.
Karir yang baik.
Dirinya dicintai oleh orang-orang di sekitarnya.
Dalam hidupnya, dia sudah memberkati banyak orang
melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Dan pandangan masyarakat tentang menikah tidak
mengganggu dirinya lagi, karena dia tahu apa yang dia lakukan dan apa tujuan
hidupnya.
Karena hidup bukan hanya sekedar menikah dan
mencari pasangan.
Perempuan itu berusia 23 tahun dan dia akan menikah
dengan laki-laki yang lebih tua 20 tahun dibanding dirinya.
“Astaga...perempuan itu ngga salah, milih om-om
buat jalan sama dia.”
“Pasti cowoknya kaya banget sampai perempuannya mau
sama dia.”
“Ya...kan perempuannya cantik banget, sayang banget
ya, kenapa ngga cari calon suami yang seumuran.”
Namun yang orang-orang tidak tahu adalah, mereka
berdua benar-benar menyadari bahwa mereka saling mencintai. Umur mereka memang
terpaut jauh namun setiap pembicaraan yang mereka lakukan membuat mereka merasa
nyaman. Bahkan lebih nyaman jika dibandingkan saat mereka berbicara dengan
orang-orang yang seumuran dengan mereka.
Mereka bisa mendiskusikan banyak topik yang mereka
sukai dan mereka bisa bicara berjam-jam tanpa mereka sadar.
They are deeply
in love and really love each other.
Dan apakah itu suatu kesalahan?
Apakah mereka harus menerima hukuman tidak bisa
bersama hanya karena perbedaan umur mereka yang terlalu jauh?
Bukankah itu terlalu menyedihkan jika pasangan
hidup harus dibatasi dengan umur?
Perempuan itu berusia 24 tahun. Dirinya
sudah memiliki anak berusia 2 tahun. Dirinya memutuskan untuk bercerai setelah
3 tahun menikah.
“Apa? Dia
memutuskan untuk bercerai.”
“Dia ngg mikiran anaknya apa ya?”
“Astaga...dia egois sekali.”
“Ya ampun...umur pernikahannya kan baru seumur
jagung. Itu makanya jangan nikah kemudaan.”
“Dia ngga takut dosa apa?”
Satu hal yang mereka tidak tahu adalah bahwa dia
sudah berjuang sangat keras untuk mempertahankan pernikahan mereka.
Sudah berbulan-bulan lamanya dia memikirkan hal
ini.
Dalam tangis tak berkesudahan di malam-malam yang
tersembunyi.
Dia memikirkan bagaimana nasib anaknya.
Namun dia tidak bisa bertahan dalam hubungan yang
sudah teramat menyiksa ini.
Dia harus memperjuangkan kehidupan dan kebahagiaannya.
Mereka tidak mengetahui hari-hari yang penuh dengan
amarah dan pertengkaran hebat.
Mereka tidak mengetahui ketakutan keresahan yang
dihadapi oleh perempuan ini setiap kali berhadapan dengan suaminya.
Setelah dua tahun perceraian, perempuan itu
berhasil bangkit dari keterpurukannya dan masa-masa kelam dalam hidupnya.
“Koq bisa ya dia masih ketawa ketawa habis cerai.”
“Koq bisa ya dia pacaran lagi setelah bercerai.
Ngga kasihan apa sama anaknya kalau dia menikah lagi?”
“Koq bisa ya dia hidup seakan dia masih gadis dan
biasa-biasa saja tanpa ada beban.”
Satu hal yang mereka tidak tahu adalah dia
memutuskan untuk tersenyum dan melanjutkan kehidupannya.
Dia memutuskan untuk meninggalkan luka dan cerita
pahit masa lalunya.
Mereka tidak tahu berapa banyak waktu dan dukungan
yang dia butuhkan untuk bertahan dan melanjutkan hidup.
Bukan penghinaan dan penghakiman.
Mereka tidak tahu bahwa dalam setiap hubungan baru yang dia jalin, dia selalu
mengikutsertakan anaknya dan anak perempuannya selalu menjadi prioritasnya.
Mereka tidak tahu betapa sulitnya menjadi single mother.
Bersyukur dia memiliki keluarga terdekat yang
selalu ada untuknya.
Dia memiliki keluarga terdekat yang selalu
mendukung dan mencintainya, menerima dirinya apa adanya.
Mereka tidak tahu betapa sulit perjalanan seorang
yang teah bercerai untuk melanjutkan kehidupan dan tetap mempercayai arti
cinta.
Seandainya dia berakhir sebatang kara bersama
dengan anaknya, apakah mereka yang berkata-kata kasar akan bertanggungjawab
jika pada akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena penghakiman
yang dirinya terima.
Dia yang sudah kehilangan cinta, masihkah harus
menerima penghakiman dari orang-orang yang hanya memandang kehidupannya dari
luar?
Apakah mereka akan sanggup bertahan jika berada di
posisinya?
Apakah mereka akan sanggup menjalani apa yang telah
dia jalani?
Apakah mereka akan sekuat dan setangguh dirinya?
Apakah mereka akan setabah dan setegar dirinya?
Maukah mereka mencoba berjalan dalam sepatunya
sebelum memutuskan untuk memberikan penghakiman?
Apakah kehidupan mereka jauh lebih baik dan lebih
suci dibandingkan dengan kehidupan dan keputusan yang telah diambil dan
dijalani perempuan itu?
Perempuan itu berusia 35 tahun dan belum
menikah sampai saat ini.
“Kamu ngga ada pacar?”
“Kamu ngga punya pasangan? Kamu tuh cantik. Karir kamu
bagus?”
Pertemuan keluarga menjadi hal yang sangat
dihindari oleh perempuan itu.
Setiap pertemuan dengan keluarga besar hanya akan
memberikan pertanyaan yang sama kepada dirinya, mengapa belum memiliki
pasangan?
Satu hal yang keluarga mereka lupakan adalah bahwa
perempuan ini pernah memiliki pasangan.
Pria yang sangat dia cintai.
Namun dirinya harus berpisah dengan pria tersebut
karena orangtuanya tidak menyetujui hubungan mereka.
“Kamu putus atau tidak akan dianggap lagi?”
“Bisakah kamu mencari pasangan yang sepadan dengan
keluarga kita?”
Jika mereka saling cinta dan perempuan itu bisa
menerima kesederhanaan pasangannya, apakah adil jika mereka akhirnya harus
memutuskan untuk berpisah?
Dan haruskah perempuan itu menerima pinangan dari
laki-laki yang tidak dicintainya namun berada hanya untuk membahagiakan
orang-orang di sekitarnya?
Setiap kita memiliki jalan hidupnya masing-masing.
Setiap keputusan akan memberikan konsekuensi.
Setiap sebab akan menimbulkan akibat.
Jika yang menjalani siap menerima akibat dan
konsekuensi keputusan yang mereka jalani?
Mengapa kadang orang lain terlalu peduli dan turut
campur?
Mengapa merusak apa yang seseorang anggap sebagai
kebahagiaan dengan berbagai pertanyaan yang berasal dari sudut pandang orang
lain?
Pernahkan kita berjalan dalam sepatu orang lain dan
merasakan kehidupan yang mereka rasakan?
Pernahkah kita berjalan dalam sepatu orang lain
sehingga kita dapat memahami kesedihan dan kesulitan mereka?
Sepertinya memang sulit bagi kita berempati.
Karena lebih mudah untuk menjadi egois dan
menghakimi.
Lebih mudah memandang rendah dan menganggap diri
benar dibandingkan dengan mengakui kesalahan?
Dan jika semua menjadi rusak.
Dan jika ada hati yang terluka dan tersakiti.
Maukah kita bertanggung jawab atas luka dan sakit
yang kita sebabkan kepada orang lain?
Cukup dewasakah kita untuk meminta maaf dan
mendukung langkah perjalanan hidup yang dilakukan seseorang?
Berikan saran bukan paksaan
Berikan pandangan tapi jangan paksakan pandangan
itu.
Berikan pemahaman.
Berikan dukungan.
Berikan empati bukan rasa mengasihani.
Karena apa yang kita lihat, bukanlah yang orang
lain lihat.
Apa yang kita jalani, bukanlah yang orang lain
jalani.
Apa yang kita rasakan, bukanlah yang orang lain
rasakan.
Cerita tentang perempuan itu,
T
Mnela’anen, 30 Mei 2016
No comments:
Post a Comment