Monday, May 30, 2016

Perempuan Itu...

Perempuan itu berusia 27 tahun.
“Mengapa kamu belum menikah?”
“Kamu belum ada pacar? Perempuan seumur kamu ini harusnya sudah mempunyai pacar dan sudah siap menikah.”
“Koq pacarnya ngga pernah dibawa ke rumah? Masa sih kamu ngga punya pacar? Bawalah pacar kamu ke rumah.”
Lalu di tempat lain, ibu dari seorang sahabatnya bertanya, “Yakin dia ngga punya pacar? Padahal dia ngga jelek lho.”
Seorang sahabatnya juga menasihati,”Udah kamu jangan terlalu pemilih, kamu mau nunggu sampai umur berapa?”
“Kamu tuh kalau mau bisa lho tinggal nunjuk doang, jangan lupa sama umur.”
Perempuan itu hanya bisa menjawab dan menjelaskan dengan sabar dan tersenyum.
“Iya...belum ada pacar.”
“Belum ketemu yang cocok.”
“Nanti dibawa koq kalo sudah ada.”

Selama ini dirinya merasa baik-baik saja dengan kehidupannya.
Dirinya tidak merasa ada yang salah dan perlu diburu-buru.
Dia begitu menikmati kehidupan dan perjalanannya.
Tidak ada yang terlalu mengganggu dengan status lajangnya.

Namun pertanyaan-pertanyaan yang datang dari orang yang terlalu peduli pada kehidupannya membuat dia bertanya-tanya.
“Apakah ada batasan umur dimana seseorang harus menemukan pasangannya.”
“Apakah seorang perempuan harus menikah saat dia berada di usia 20-annya.”

“Kamu tuh ngga bisa hidup sendiri, ngga baik. Setiap orang ingin memiliki pasangan, itu sebabnya mereka menikah.”
Begitukah?
Jika ya, apakah semua alasan umur dan ketakutan hidup kesendirian menjadi alasan seseorang untuk menikah?

“Jangan terlalu banyak mengumbar status dan penjelasan kehidupan lajang di media sosial. Seakan memberi pembelaan yang jadi terdengar menyedihkan. Jangan membuat orang-orang mengasihani kamu.”
Perempuan muda itu tidak menulis untuk minta dikasihani.
Jika untuk pembelaan diri, mungkin ya.
Dirinya bahagia dan menikmati kehidupan lajangnya.
Sampai pada akhirnya mereka yang terlalu peduli ikut campur dan mendikte apa yang harus dan segera harus dilakukan oleh dirinya.
Biarkan saja orang-orang mengasihani dirinya.
Selama dirinya merasa bahwa dia baik-baik saja, apakah harus memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya?
Mereka perhatian.
Mereka peduli.
Mereka menyayangi perempuan itu.
Dan perempuan itu sungguh bersyukur untuk setiap perhatian , kepedulian, dan rasa sayang yang dia terima.
Sungguh.
Tapi izinkan dirinya untuk menjalankan hidup yang ingin dijalaninya dengan damai.
Perempuan itu tidak menutup dirinya untuk cinta.
Dirinya tidak menutup kemungkinan dan kesempatan datangnya cinta dan menikah.
Tapi perasaan dan cinta bukanlah hal yang bisa diajari dan dipaksakan.
Lebih baik hidup sendiri dibandingkan bersama dengan orang yang tidak kita cintai.
Perasaan kesepian yang timbul ketika bersama dengan orang yang salah akan lebih menyiksa dibanding dengan rasa kesepian karena hidup sendiri.
Hidup bersama dengan seseorang tidak menjamin seseorang akan terbebas dari rasa kesepian yang dirasakan.
Bagi perempuan itu, merasa kesepian atau tidak adalah sebuah keputusan diri sendiri, dengan atau tanpa seseorang di samping dirinya.
Dia akan tetap menunggu datangnya cinta.
Dan akan berjalan bersamanya saat dirinya sudah siap.
Di saat pria yang akan ditemuinya sudah siap.
Di saat mereka berdua telah siap dan telah dipertemukan.
Berikanlah dukungan dan cinta, bukan paksaan dan tekanan.
Apakah memang tujuan terbesar dari kehidupan itu hanya menikah, berkeluarga, memiliki anak kemudian mati dengan meninggalkan warisan keturunan?

Perempuan itu berusia 29 tahun dan sudah menikah selama dua tahun.
“Kamu belum punya anak? Sudah empat tahun menikah lho. Jangan diundur-undur. Jangan ditunda-tunda.”
“Anak tante aja sudah punya anak dua lho, baru menikah dua tahun yang lalu.”
“Iya Tante...ngga ditunda koq.”
Entah berapa alasan yang telah diungkapkan dan diberikannya.
Entah berapa senyuman yang sudah diberikannya.
Dirinya lelah terus dipertanyakan selama beberapa tahun sejak pernikahannya.
Hal yang tidak orang-orang tahu adalah, dirinya sudah pernah dua kali keguguran.
Dia dan suaminya sudah mencoba pergi dan berusaha ke setiap pengobatan yang mereka tahu untuk memeriksakan diri mereka.
Pengobatan modern.
Pengobatan alternatif.
Pengobatan tradisional.
Semua jenis pengobatan telah mereka jalani.
Setiap malam perempuan ini mempertanyakan dirinya sebagai seorang perempuan.
Seorang perempuan belum sempurna jika belum melahirkan anak dari rahimnya sendiri.
Tapi apa yang harus dilakukan jika mereka belum diberi kesempatan untuk menjadi seorang ibu.
Ke manakah dia harus berteriak dan marah?
Ke Penciptanya?
Dia dan suaminya merasa baik-baik saja dengan kehidupan mereka yag belum dianugerahi anak sebelum banyak orang yang mempertanyaka kehidupan rumah tangga mereka.
Setiap pertanyaan itu bisa membuat hubungan mereka yang baik-baik saja menjadi renggang.
Mereka bisa saja terlibat dalam pertengkaran hebat karena mempertanyakan kehidupan keluarga kecil mereka yang belum mempunyai anak.
Mereka bisa saja saling menuding menyalahkan satu sama lain.
Pertengkaran itu bisa saja berakhir perceraian atau perselingkuhan, demi memiliki seorang anak.
Apakah tujuan dari pernikahan hanya itu?
Demi meneruskan keturunan?
Demi meneruskan marga keluarga?

Perempuan itu berusia 30 tahun. Dirinya masih melajang dan belum pernah merasakan hal yang dinamakan pacaran.
“Kamu belum pernah pacaran?”
“Kamu emangnya ngga mau menikah?”
Dan kembali pertanyaan itu menyerang perempuan itu.
“Iya nih...belum ketemu yang cocok. Gimang dong?” jawab perempuan itu sambil tersenyum
“Memang belum ketemu sama jodohnya Didoakan saja ya.”
Dari luar perempuan ini terlihat tegar dan dewasa.
Namun hal yang orang-orang tidak ketahui adalah betapa dirinya juga sangat merindukan kehadira seorang pria dalam hidupnya.
Seumur hidupnya, dirinya belum pernah didekati secara serius oleh pria-pria di sekitarnya.
Dirinya adalah perempuan yang pemalu dan minder.
Dia tidak terlalu percaya diri untuk menarik perhatian pria.
Apakah dirinya harus bersikap frontal dan agresif untuk mendapatkan perhatian seorang pria.
Demi mencari apa yang dikatakan sebagai cinta dan perhatian lawan jenis.
Demi menunjukkan bahwa dirinya juga mampu memiliki seorang pasangan yang selama ini dinantikannya.
“Ya ampun ya...perempuan itu..agresif banget...kelihatan banget lagi pedekate sama si cowok ini.”
“Kan beda umurnya jauh banget, koq berani sih ngedeketin cowok yang umurnya jauh di bawahnya”
Dan ketika perempuan itu berusaha untuk menjadi agresif demi menutupi keminderannya, mereka pun mulai merendahkan perempuan itu semakin dalam.
Dan perempuan yang sudah minder dan pemalu itu akan semakin merasa rendah diri dan pemalu.
Dirinya akan semakin merasa bahwa dirinya tidak menarik dan tidak berharga.
Tanpa disadari, dirinya menutup hatinya untuk cinta yang mungkin saja datang nanti.
Dan apakah mereka yang telah menertawai dan merendahkan mau turut bertannggung jawab dan ambil andil dalam perubahan perempuan itu?
Bukankah mereka akkan lebih mudah berkata, “Begitu aja sensi.”
“Dia rapuh banget.”

Perempuan itu berusia 35 tahun dan memutuskan untuk mengadopsi anak bersama dengan suaminya.
“Kamu yakin mau mengadopsi anak?”
“Lebih baik punya anak dari kandungan dan gen sendiri, ketahuan bibitnya kan. Kalau anak adopsi, kamu ngga tahu itu anak siapa dan siapa orangtuanya. Terua kalau nanti dia sudah besar dia pasti akan ninggalin kamu kalau dia tahu dia anak adopsi dan akan mencari orangtuanya.”
Satu hal yang tidak mereka ketahui, pasangan suami istri sudah diberitahu bahwa mereka tidak akan memiliki anak.
Dan apakah keputusan mengadopsi itu adalah keputusan yang buruk?
Pasangan suami istri ini berpikir bahwa di tempat mereka tinggal sudah banyak anak yang terlantar.
Sudah begitu banyak anak-anak tidak berdosa yang dibuang dan tidak diinginkan oleh orangtuanya.
Apakah salah jika mereka memutuskan untuk merawat dan memberikan cinta kepada mereka yang telah ada?
Tapi mengadopsi anak itu penuh dengan risiko.
Siapa tahu gen mama papanya itu pencuri, pembunuh atau wanita nakal.
Ketika besar pasti mereka akan seperti orangtua mereka.
Pasangan suami istri ini sudah paham dengan risiko yang akan mereka hadapi.
Dan lagi, apakah ada yang pasti dalam kehidupan ini?
Bahkan anak kandung pun bisa saja menjadi anak yang kurang ajar dan tidak tahu terima kasih kepada orangtuanya.
Dan bahkan anak kandung pun bisa saja meninggalkan orangtuanya tanpa sebab.
Mereka pun bisa melukai orangtuanya, bisa menjadi seorang pembunuh, pencuri atau wanita nakal.
Faktor gen memang tidak bisa dipungkiri tapi apakah itu harus menjadi hukuman bagi anak-anak terlantar yang jumlahnya sangat banyak.
Sejak dari kandungan mereka tidak pernah diinginkan dan apakah sampai akhir hidupnya mereka harus menerima hukuman menyandang status “tidak diinginkan” dalam masyarakat?
Apakah sungguh mereka harus menjalani kehidupan seperti itu?
Pasangan suami istri merasa bahwa keputusan itu adalah keputusan terbaik yang bisa mereka lakukan untuk keluarga kecil mereka.
Dan apakah mereka harus diserang dengan pandangan sebelah mata dari masyarakat yang mengatakan bahwa mereka tidak bisa memiliki anak?

Perempuan itu berusia 38 tahun.
Dirinya memutuskan untuk tidak menikah.
“Lihat tuh...kasihan perempuan itu. Umurnya sudah hampir 40 tahun dan belum menikah juga.”
“Kalau sudah umur segitu...siapa coba yang mau sama dia?”
“Kasihan ya orangtuanya, ngga bisa mendapatkan cucu dari anak perempuan satu-satunya.”
Yang orang-orang tidak ketahui adalah bahwa perempuan itu secara sadar mengambil keputusan untuk tidak menikah.
Dia tahu bahwa dirinya memiliki sebuah tujuan yang lebih besar bagi kehidupannya dan memiliki tujuan yang berbeda dibanding kebanyakan orang.
Dia memiliki pekerjaan yang luar biasa.
Karir yang baik.
Dirinya dicintai oleh orang-orang di sekitarnya.
Dalam hidupnya, dia sudah memberkati banyak orang melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Dan pandangan masyarakat tentang menikah tidak mengganggu dirinya lagi, karena dia tahu apa yang dia lakukan dan apa tujuan hidupnya.
Karena hidup bukan hanya sekedar menikah dan mencari pasangan.

Perempuan itu berusia 23 tahun dan dia akan menikah dengan laki-laki yang lebih tua 20 tahun dibanding dirinya.
“Astaga...perempuan itu ngga salah, milih om-om buat jalan sama dia.”
“Pasti cowoknya kaya banget sampai perempuannya mau sama dia.”
“Ya...kan perempuannya cantik banget, sayang banget ya, kenapa ngga cari calon suami yang seumuran.”
Namun yang orang-orang tidak tahu adalah, mereka berdua benar-benar menyadari bahwa mereka saling mencintai. Umur mereka memang terpaut jauh namun setiap pembicaraan yang mereka lakukan membuat mereka merasa nyaman. Bahkan lebih nyaman jika dibandingkan saat mereka berbicara dengan orang-orang yang seumuran dengan mereka.
Mereka bisa mendiskusikan banyak topik yang mereka sukai dan mereka bisa bicara berjam-jam tanpa mereka sadar.
They are deeply in love and really love each other.
Dan apakah itu suatu kesalahan?
Apakah mereka harus menerima hukuman tidak bisa bersama hanya karena perbedaan umur mereka yang terlalu jauh?
Bukankah itu terlalu menyedihkan jika pasangan hidup harus dibatasi dengan umur?

Perempuan itu berusia 24 tahun. Dirinya sudah memiliki anak berusia 2 tahun. Dirinya memutuskan untuk bercerai setelah 3 tahun menikah.
 “Apa? Dia memutuskan untuk bercerai.”
“Dia ngg mikiran anaknya apa ya?”
“Astaga...dia egois sekali.”
“Ya ampun...umur pernikahannya kan baru seumur jagung. Itu makanya jangan nikah kemudaan.”
“Dia ngga takut dosa apa?”
Satu hal yang mereka tidak tahu adalah bahwa dia sudah berjuang sangat keras untuk mempertahankan pernikahan mereka.
Sudah berbulan-bulan lamanya dia memikirkan hal ini.
Dalam tangis tak berkesudahan di malam-malam yang tersembunyi.
Dia memikirkan bagaimana nasib anaknya.
Namun dia tidak bisa bertahan dalam hubungan yang sudah teramat menyiksa ini.
Dia harus memperjuangkan kehidupan dan kebahagiaannya.
Mereka tidak mengetahui hari-hari yang penuh dengan amarah dan pertengkaran hebat.
Mereka tidak mengetahui ketakutan keresahan yang dihadapi oleh perempuan ini setiap kali berhadapan dengan suaminya.
Setelah dua tahun perceraian, perempuan itu berhasil bangkit dari keterpurukannya dan masa-masa kelam dalam hidupnya.
“Koq bisa ya dia masih ketawa ketawa habis cerai.”
“Koq bisa ya dia pacaran lagi setelah bercerai. Ngga kasihan apa sama anaknya kalau dia menikah lagi?”
“Koq bisa ya dia hidup seakan dia masih gadis dan biasa-biasa saja tanpa ada beban.”
Satu hal yang mereka tidak tahu adalah dia memutuskan untuk tersenyum dan melanjutkan kehidupannya.
Dia memutuskan untuk meninggalkan luka dan cerita pahit masa lalunya.
Mereka tidak tahu berapa banyak waktu dan dukungan yang dia butuhkan untuk bertahan dan melanjutkan hidup.
Bukan penghinaan dan penghakiman.
Mereka tidak tahu bahwa dalam setiap  hubungan baru yang dia jalin, dia selalu mengikutsertakan anaknya dan anak perempuannya selalu menjadi prioritasnya.
Mereka tidak tahu betapa sulitnya menjadi single mother.
Bersyukur dia memiliki keluarga terdekat yang selalu ada untuknya.
Dia memiliki keluarga terdekat yang selalu mendukung dan mencintainya, menerima dirinya apa adanya.
Mereka tidak tahu betapa sulit perjalanan seorang yang teah bercerai untuk melanjutkan kehidupan dan tetap mempercayai arti cinta.
Seandainya dia berakhir sebatang kara bersama dengan anaknya, apakah mereka yang berkata-kata kasar akan bertanggungjawab jika pada akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena penghakiman yang dirinya terima.
Dia yang sudah kehilangan cinta, masihkah harus menerima penghakiman dari orang-orang yang hanya memandang kehidupannya dari luar?
Apakah mereka akan sanggup bertahan jika berada di posisinya?
Apakah mereka akan sanggup menjalani apa yang telah dia jalani?
Apakah mereka akan sekuat dan setangguh dirinya?
Apakah mereka akan setabah dan setegar dirinya?
Maukah mereka mencoba berjalan dalam sepatunya sebelum memutuskan untuk memberikan penghakiman?
Apakah kehidupan mereka jauh lebih baik dan lebih suci dibandingkan dengan kehidupan dan keputusan yang telah diambil dan dijalani perempuan itu?

Perempuan itu berusia 35 tahun dan belum menikah sampai saat ini.
“Kamu ngga ada pacar?”
“Kamu ngga punya pasangan? Kamu tuh cantik. Karir kamu bagus?”
Pertemuan keluarga menjadi hal yang sangat dihindari oleh perempuan itu.
Setiap pertemuan dengan keluarga besar hanya akan memberikan pertanyaan yang sama kepada dirinya, mengapa belum memiliki pasangan?
Satu hal yang keluarga mereka lupakan adalah bahwa perempuan ini pernah memiliki pasangan.
Pria yang sangat dia cintai.
Namun dirinya harus berpisah dengan pria tersebut karena orangtuanya tidak menyetujui hubungan mereka.
“Kamu putus atau tidak akan dianggap lagi?”
“Bisakah kamu mencari pasangan yang sepadan dengan keluarga kita?”
Jika mereka saling cinta dan perempuan itu bisa menerima kesederhanaan pasangannya, apakah adil jika mereka akhirnya harus memutuskan untuk berpisah?
Dan haruskah perempuan itu menerima pinangan dari laki-laki yang tidak dicintainya namun berada hanya untuk membahagiakan orang-orang di sekitarnya?

Setiap kita memiliki jalan hidupnya masing-masing.
Setiap keputusan akan memberikan konsekuensi.
Setiap sebab akan menimbulkan akibat.
Jika yang menjalani siap menerima akibat dan konsekuensi keputusan yang mereka jalani?
Mengapa kadang orang lain terlalu peduli dan turut campur?
Mengapa merusak apa yang seseorang anggap sebagai kebahagiaan dengan berbagai pertanyaan yang berasal dari sudut pandang orang lain?
Pernahkan kita berjalan dalam sepatu orang lain dan merasakan kehidupan yang mereka rasakan?
Pernahkah kita berjalan dalam sepatu orang lain sehingga kita dapat memahami kesedihan dan kesulitan mereka?
Sepertinya memang sulit bagi kita berempati.
Karena lebih mudah untuk menjadi egois dan menghakimi.
Lebih mudah memandang rendah dan menganggap diri benar dibandingkan dengan mengakui kesalahan?
Dan jika semua menjadi rusak.
Dan jika ada hati yang terluka dan tersakiti.
Maukah kita bertanggung jawab atas luka dan sakit yang kita sebabkan kepada orang lain?
Cukup dewasakah kita untuk meminta maaf dan mendukung langkah perjalanan hidup yang dilakukan seseorang?
Berikan saran bukan paksaan
Berikan pandangan tapi jangan paksakan pandangan itu.
Berikan pemahaman.
Berikan dukungan.
Berikan empati bukan rasa mengasihani.
Karena apa yang kita lihat, bukanlah yang orang lain lihat.
Apa yang kita jalani, bukanlah yang orang lain jalani.
Apa yang kita rasakan, bukanlah yang orang lain rasakan.

Cerita tentang perempuan itu,
T
Mnela’anen, 30 Mei 2016

No comments:

Post a Comment