Aku masih ingat waktu itu.
Pertengahan tahun 2007.
Sebuah kata asing itu muncul di mesin pencari
internet.
Skoliosis.
Sejak SMA, aku sering merasakan sakit kepala yang
cukup menganggu. aku sering merasa sakit di pungguh bagian tengah. Aku tidak
bisa berdiri terlalu lama atau duduk terlalu lama karena akan timbul rasa
nyeri. Memang tidak menyiksa namun cukup mengganggu, terlebih ketika aku
memakai tas punggung atau membawa beban berat. Ketika memakai tas punggung, aku
menarik satu sisi lebih panjang dari sisi lainnya. Aku tahu sepertinya ada yang
aneh, namun aku tidak bisa mengatakan ada apa. Aku memberikan justifikasi
terhadap diri sendiri dengan mengatakan bahwa mungkin tali di tas punggungnya
yang salah. Bukan tubuhku. Aku normal dan sehat, tidak ada yang aneh.
Dan datanglah masa itu. Pada pertengahan tahun
2007, ketika itu aku sudah menjadi seorang mahasiswi. Berada di umur 19 tahun,
hampir 20 tahun. Saat itu juga sudah mulai dikenal sebuah mesin pencari di
internet yang bernama Google, sebuah
mesin pencari pintar yang dapat memberikan informasi apa saja yang kita
inginkan asal kita memberikan kata kunci yang tepat atau mendekati hal yang
kita cari. Lalu pada hari itu, aku memasukkan beberapa kata kunci ke dalam
mesin pencari piintar tersebut. Sakit
pada punggung, nyeri, dan berbagai kata kunci lainnya yang sudah hampir aku
lupa. Setelah beberapa menit mencari keluarlah kata itu, skoliosis. Pertama
kali membaca kata itu, aku merasa bingung. Aku mengenal kata osteoporosis, tapi
bukan skoliosis. Aku mulai membuka-buka halaman demi halaman yang terdapat di
layar laptop.
Skoliosis, kelainan pada tulang belakang atau tulang
punggung. Tulang punggung yang melengkung, ada yang membentuk huruf S atau C. Lalu
aku mulai membuka halaman-halaman lainnya. Aku mencari tahu tentang ciri-ciri
dan gejalanya. Pada tahun 2007, belum banyak situs berbahasa Indonesia yang
menjelaskan tentang skoliosis. Dengan sangat terpaksa, aku membuka situs-situs
berbahasa Inggris yang menjelaskan tentang skoliosis. Nyeri pada tulang
punggung menjadi salah satu ciri skoliosis. Semakin aku membaca, semakin aku
ingin tahu. Semakin aku membaca, semakin aku menemukan kemiripan dengan
keadaanku. Dan...semakin membaca aku semakin resah. Aku takut. Aku bingung.
Skoliosis. Sebuah kata aneh yang terasa asing di
telinga dan tidak lazim. Semakin aku membaca aku semakin resah, mengapa? Karena
beberapa berbagai informasi yang aku baca, kemiringan tulang punggung yang
signifikan akan sangat berbahaya bagi perempuan jika nantinya dirinya hamil
karena ada kemungkinan janinnya akan terjepit dan perkembangannya akan
terganggu. Dan beberapa risiko-risiko lain yang mungkin dihadapi oleh penderita
skoliosis yang membuatku takut. Postur tubuh yang akan semakin bengkok dan
menjadi buruk jika dibiarkan dan tidak dirawat.
Saat itu juga, aku mencoba mencari tahu di mana aku
dapat memeriksakan kondisiku ini. Aku ingin mengetahui apakah aku benar
mengalami skoliosis. Aku tidak menyukai ketidaktahuan dan ketidakpastian
terhadap tubuhku sendiri. Aku melakukan pencarian lebih lanjut, hari itu
menjadi hari yang terasa panjang namun juga singkat. Tidak cukup satu hari
bagiku untuk mendapatkan informasi yang aku butuhkan. Beberapa alternatif
keluar saat itu. Satu hal yang seharusnya aku lakukan adalah memeriksakan diri
ke dokter tulang atau mendatangi fisioterapi, tapi itu tidak mungkin. Aku harus
mendatangi dokter tulang, melakukan operasi, atau memasang penyangga. Ketika
aku mencari lebih jauh tentang penyangga yang dimaksud, aku menemukan sebuah
gambar penyangga yang dimaksud. Ketika melihat gambar itu, aku jadi teringat
dengan salah satu adik kelasku ketika SMA yang memasang sebuah alat di
tubuhnya. Ketika itu aku tidak berani bertanya dan tidak mencoba untuk mencari tahu
mengapa dirinya memakai alat besar tersebut. Ternyata itu adalah penyangga, aku
seharusnya memakai alat seperti itu. Namun dikatakan bahwa penyangga tersebut
paling efektif digunakan saat tubuh masih berada di usia remaja. Ternyata,
dirinya lebih beruntung dibanding diriku.
Aku kembali mencari dan membaca sebuah kata, chiropractic. Dalam situs tersebut dikatakan
bahwa chiropractic adalah salah satu
terapi yang dapat digunakan untuk memberikan koreksi atau perbaikan pada tulang
belakang yang dapat mengurangi rasa sakit pada syaraf-syaraf yang terdapat pada
tulang belakang. Seketika itu juga, aku mencari praktik chiropractic terdekat di Jakarta. Dan aku menemukan sebuah praktik chiropractic di daerah Kuningan, Jakarta
Selatan.
Panik, takut dan tidak berdaya, aku tidak bisa
melupakan rasa itu. Semua terasa membingungkan. Mahasiswi yang masih berkuliah
dengan uang jajan yang pas-pasan. Aku memberanikan diri untuk mendatangi tempat
praktik tersebut setelah menelepon dan bertanya tentang apa itu chiropractic, aku yang skeptis terpaksa
untuk bertanya dan percaya. Ketika itu belum ada google map dan smartphone, mencari
daerah Mega Kuningan, Jakarta Selatan terasa sangat menakutkan bagiku. Di
daerah mana daerah tersebut, jauhku, menakutkankah. Apakah aku akan ditipu?
Apakah aku akan dibohongi? Apapun risiko yang mungkin terjadi, satu hal yang
membuatku tetap nekad adalah aku ingin mengetahui apa yang terjadi pada
tubuhku. Aku ingin mengetahui apakah aku benar mengalami kelainan tulang
belakang. Dan ketika itu aku sungguh berharap, bahwa semua ini hhanya
kekhawatiranku yang berlebihan.
Siang itu, aku sampai di Mega Kuningan, di daerah
apartemen Bellagio. Jika sekarang aku diminta ke sana, aku akan ke sana dengan
percaya diri. Saat ini aku dapat membedakan di mana Thamrin, Sudirman,
Kuningan, Rasuna Sais, Dr. Satrio dan beberapa jalan protokol lainnya. Tapi
kembali ke waktu itu, daerah itu terasa sangat asing dan luas buatku. Aku
sangat terintimidasi dan takut melihat daerah Kuningan. Aku memberanikan diri
untuk masuk dan mendatangi tempat praktek tersebut. Di sebuah ruangan kecil
yang tidak terlalu ramai, ada seorang resepsionis yang menerimaku. Dirinya
ramah dan sangat membantu. Setelah menunggu selama beberapa saat, aku
dipertemukan dengan seorang chiropractor asing
yang tidak dapat berbahasa Indonesia. Dengan bahasa Inggris terbata-bata dan
kemampuan mendengar yang terbatas, aku berusaha berkomunikasi dengannya. Dia
memintaku untuk pergi melakukan x-ray di sebuah klinik kecil di sebuah daerah
di Kuningan yang lebih jauh dari Mega Kuningan, Rasuna Said, di daerah Kuningan
Madya, di belakang Menara Imperium. Jangankan berjalan ke belakang Menara
Imperium, aku saja tidak tahu Menara Imperium ada di mana. Akhirnya aku pergi
ke sana dengan menggunakan Trans Jakarta. Rasa takutku dikalahkan dengan rasa
ingin tahuku terhadap keadaan tubuhku. Setelah turun dari salah satu halte bis,
aku berjalan sekitar setengah jam. Ketika itu hari sudah menjelang sore. Di
klinik kecil itu, aku di-x-ray. Biaya x-ray ketika itu menghabiskan sekitar
Rp300.000.
Setelah mendapatkan hasil x-ray, aku kembali ke
tempat praktik chiropractic tersebut.
Dari hasil x-ray tersebut, hasilnya adalah aku benar mengalami kelainan tulang
belakang, Tulang belakangku berbentuk S, walau kemiringannya tidak terlalu
parah dan tulang leherku juga mengalami sedikit kelainan. Jika aku tidak salah
ingat, aku mengalami kemiringan sekitar 20 sampai 30 derajat. Hasil x-ray
tersebut terdapat di tempat praktek tersebut dan tidak aku ambil kembali karena
suatu alasan yang mungkin nanti akan aku ceritakan.
Rasa penasaranku atas rasa nyeri itu terjawab. Pertanyaanku
atas keadaanku terjawab. Aku mengalami kelainan tulang belakang. Skoliosis.
Rasa penasaran itu berganti pada rasa sedih dan takut. Merasa tidak berdaya,
tidak dapat berbuat apa-apa.
Dan itu adalah perkenalan pertamaku dengan skoliosis.
Haruskah aku senang berkenalan denganmu?
Haruskah aku senang mengetahui kelainanku?
Haruskah aku senang tidak ada lagi praduga karena
aku sudah mendapatkan jawaban?
Jawaban yang sungguh tidak aku inginkan jika aku
dapat memilih dan memperbaiki keadaan.
Pertemuan pertamaku dengan skoliosis,
T
Jakarta, 21 September 2016
No comments:
Post a Comment