Thursday, September 22, 2016

Hai Skoliosis, senang berkenalan denganmu (?)



Aku masih ingat waktu itu.
Pertengahan tahun 2007.
Sebuah kata asing itu muncul di mesin pencari internet.
Skoliosis.


Sejak SMA, aku sering merasakan sakit kepala yang cukup menganggu. aku sering merasa sakit di pungguh bagian tengah. Aku tidak bisa berdiri terlalu lama atau duduk terlalu lama karena akan timbul rasa nyeri. Memang tidak menyiksa namun cukup mengganggu, terlebih ketika aku memakai tas punggung atau membawa beban berat. Ketika memakai tas punggung, aku menarik satu sisi lebih panjang dari sisi lainnya. Aku tahu sepertinya ada yang aneh, namun aku tidak bisa mengatakan ada apa. Aku memberikan justifikasi terhadap diri sendiri dengan mengatakan bahwa mungkin tali di tas punggungnya yang salah. Bukan tubuhku. Aku normal dan sehat, tidak ada yang aneh.

Dan datanglah masa itu. Pada pertengahan tahun 2007, ketika itu aku sudah menjadi seorang mahasiswi. Berada di umur 19 tahun, hampir 20 tahun. Saat itu juga sudah mulai dikenal sebuah mesin pencari di internet yang bernama Google, sebuah mesin pencari pintar yang dapat memberikan informasi apa saja yang kita inginkan asal kita memberikan kata kunci yang tepat atau mendekati hal yang kita cari. Lalu pada hari itu, aku memasukkan beberapa kata kunci ke dalam mesin pencari piintar tersebut. Sakit pada punggung, nyeri, dan berbagai kata kunci lainnya yang sudah hampir aku lupa. Setelah beberapa menit mencari keluarlah kata itu, skoliosis. Pertama kali membaca kata itu, aku merasa bingung. Aku mengenal kata osteoporosis, tapi bukan skoliosis. Aku mulai membuka-buka halaman demi halaman yang terdapat di layar laptop.

Skoliosis, kelainan pada tulang belakang atau tulang punggung. Tulang punggung yang melengkung, ada yang membentuk huruf S atau C. Lalu aku mulai membuka halaman-halaman lainnya. Aku mencari tahu tentang ciri-ciri dan gejalanya. Pada tahun 2007, belum banyak situs berbahasa Indonesia yang menjelaskan tentang skoliosis. Dengan sangat terpaksa, aku membuka situs-situs berbahasa Inggris yang menjelaskan tentang skoliosis. Nyeri pada tulang punggung menjadi salah satu ciri skoliosis. Semakin aku membaca, semakin aku ingin tahu. Semakin aku membaca, semakin aku menemukan kemiripan dengan keadaanku. Dan...semakin membaca aku semakin resah. Aku takut. Aku bingung.

Skoliosis. Sebuah kata aneh yang terasa asing di telinga dan tidak lazim. Semakin aku membaca aku semakin resah, mengapa? Karena beberapa berbagai informasi yang aku baca, kemiringan tulang punggung yang signifikan akan sangat berbahaya bagi perempuan jika nantinya dirinya hamil karena ada kemungkinan janinnya akan terjepit dan perkembangannya akan terganggu. Dan beberapa risiko-risiko lain yang mungkin dihadapi oleh penderita skoliosis yang membuatku takut. Postur tubuh yang akan semakin bengkok dan menjadi buruk jika dibiarkan dan tidak dirawat.

Saat itu juga, aku mencoba mencari tahu di mana aku dapat memeriksakan kondisiku ini. Aku ingin mengetahui apakah aku benar mengalami skoliosis. Aku tidak menyukai ketidaktahuan dan ketidakpastian terhadap tubuhku sendiri. Aku melakukan pencarian lebih lanjut, hari itu menjadi hari yang terasa panjang namun juga singkat. Tidak cukup satu hari bagiku untuk mendapatkan informasi yang aku butuhkan. Beberapa alternatif keluar saat itu. Satu hal yang seharusnya aku lakukan adalah memeriksakan diri ke dokter tulang atau mendatangi fisioterapi, tapi itu tidak mungkin. Aku harus mendatangi dokter tulang, melakukan operasi, atau memasang penyangga. Ketika aku mencari lebih jauh tentang penyangga yang dimaksud, aku menemukan sebuah gambar penyangga yang dimaksud. Ketika melihat gambar itu, aku jadi teringat dengan salah satu adik kelasku ketika SMA yang memasang sebuah alat di tubuhnya. Ketika itu aku tidak berani bertanya dan tidak mencoba untuk mencari tahu mengapa dirinya memakai alat besar tersebut. Ternyata itu adalah penyangga, aku seharusnya memakai alat seperti itu. Namun dikatakan bahwa penyangga tersebut paling efektif digunakan saat tubuh masih berada di usia remaja. Ternyata, dirinya lebih beruntung dibanding diriku.

Aku kembali mencari dan membaca sebuah kata, chiropractic. Dalam situs tersebut dikatakan bahwa chiropractic adalah salah satu terapi yang dapat digunakan untuk memberikan koreksi atau perbaikan pada tulang belakang yang dapat mengurangi rasa sakit pada syaraf-syaraf yang terdapat pada tulang belakang. Seketika itu juga, aku mencari praktik chiropractic terdekat di Jakarta. Dan aku menemukan sebuah praktik chiropractic di daerah Kuningan, Jakarta Selatan.

Panik, takut dan tidak berdaya, aku tidak bisa melupakan rasa itu. Semua terasa membingungkan. Mahasiswi yang masih berkuliah dengan uang jajan yang pas-pasan. Aku memberanikan diri untuk mendatangi tempat praktik tersebut setelah menelepon dan bertanya tentang apa itu chiropractic, aku yang skeptis terpaksa untuk bertanya dan percaya. Ketika itu belum ada google map dan smartphone, mencari daerah Mega Kuningan, Jakarta Selatan terasa sangat menakutkan bagiku. Di daerah mana daerah tersebut, jauhku, menakutkankah. Apakah aku akan ditipu? Apakah aku akan dibohongi? Apapun risiko yang mungkin terjadi, satu hal yang membuatku tetap nekad adalah aku ingin mengetahui apa yang terjadi pada tubuhku. Aku ingin mengetahui apakah aku benar mengalami kelainan tulang belakang. Dan ketika itu aku sungguh berharap, bahwa semua ini hhanya kekhawatiranku yang berlebihan.

Siang itu, aku sampai di Mega Kuningan, di daerah apartemen Bellagio. Jika sekarang aku diminta ke sana, aku akan ke sana dengan percaya diri. Saat ini aku dapat membedakan di mana Thamrin, Sudirman, Kuningan, Rasuna Sais, Dr. Satrio dan beberapa jalan protokol lainnya. Tapi kembali ke waktu itu, daerah itu terasa sangat asing dan luas buatku. Aku sangat terintimidasi dan takut melihat daerah Kuningan. Aku memberanikan diri untuk masuk dan mendatangi tempat praktek tersebut. Di sebuah ruangan kecil yang tidak terlalu ramai, ada seorang resepsionis yang menerimaku. Dirinya ramah dan sangat membantu. Setelah menunggu selama beberapa saat, aku dipertemukan dengan seorang chiropractor asing yang tidak dapat berbahasa Indonesia. Dengan bahasa Inggris terbata-bata dan kemampuan mendengar yang terbatas, aku berusaha berkomunikasi dengannya. Dia memintaku untuk pergi melakukan x-ray di sebuah klinik kecil di sebuah daerah di Kuningan yang lebih jauh dari Mega Kuningan, Rasuna Said, di daerah Kuningan Madya, di belakang Menara Imperium. Jangankan berjalan ke belakang Menara Imperium, aku saja tidak tahu Menara Imperium ada di mana. Akhirnya aku pergi ke sana dengan menggunakan Trans Jakarta. Rasa takutku dikalahkan dengan rasa ingin tahuku terhadap keadaan tubuhku. Setelah turun dari salah satu halte bis, aku berjalan sekitar setengah jam. Ketika itu hari sudah menjelang sore. Di klinik kecil itu, aku di-x-ray. Biaya x-ray ketika itu menghabiskan sekitar Rp300.000.  

Setelah mendapatkan hasil x-ray, aku kembali ke tempat praktik chiropractic tersebut. Dari hasil x-ray tersebut, hasilnya adalah aku benar mengalami kelainan tulang belakang, Tulang belakangku berbentuk S, walau kemiringannya tidak terlalu parah dan tulang leherku juga mengalami sedikit kelainan. Jika aku tidak salah ingat, aku mengalami kemiringan sekitar 20 sampai 30 derajat. Hasil x-ray tersebut terdapat di tempat praktek tersebut dan tidak aku ambil kembali karena suatu alasan yang mungkin nanti akan aku ceritakan.

Rasa penasaranku atas rasa nyeri itu terjawab. Pertanyaanku atas keadaanku terjawab. Aku mengalami kelainan tulang belakang. Skoliosis. Rasa penasaran itu berganti pada rasa sedih dan takut. Merasa tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa.

Dan itu adalah perkenalan pertamaku dengan skoliosis.

Haruskah aku senang berkenalan denganmu?
Haruskah aku senang mengetahui kelainanku?
Haruskah aku senang tidak ada lagi praduga karena aku sudah mendapatkan jawaban?
Jawaban yang sungguh tidak aku inginkan jika aku dapat memilih dan memperbaiki keadaan.

Pertemuan pertamaku dengan skoliosis,
T
Jakarta, 21 September 2016

No comments:

Post a Comment