Saturday, December 5, 2015

Sebuah Cerita Tentang Kampus Kuning dan Indonesia

“Maba 2005!”

“Siap Kak!”

“Kami kecewa!”

“Maba 2005!”

“Siap Kak!”

“Sikap setengah jongkok!”

“Siap Kak!”

Berpeluh di bawah matahari dan perut keroncongan, kami mengambil sikap setengah jongkok dengan dipelototin oleh kakak-kakak berbaju hitam dan bermuka galak yang dipanggil Tibum yang merupakan singkatan dari Ketertiban Umum.

1 Dekade FEUI 2005
Berkemeja putih kemudian menggunakan rok hitam panjang sampai mata kaki, menggunakan papan nama berbentuk segilima dari karton berwarna kuning (warna kampus) bergambarkan Makara (lambang kampus) di tengah-tengah disertai dengan karton berwarna abu-abu (warna fakultas). Bangun jam 5 pagi, kami harus tiba di fakultas jam 6 pagi, lalu orientasi sampai jam 4 sore. Lalu di kos melanjutkan dengan tugas menulis kurang lebih 4 tulisan dalam 4 halaman folio yang bertemakan tokoh ekonomi Indonesia dan kondisi perekonomian Indonesia. Tugas menulis ini juga ditambah dengan tugas-tugas lain, ketika itu selama beberapa hari aku baru bisa tidur sekitar jam 3 pagi. Lalu jam 5 pagi sudah harus siap-siap lagi untuk ke kampus. Tidak boleh ada kata menyerah dan manja, sebuah peraturan yang aku buat untuk diriku sendiri. Kalau mau nangis nanti aja, kapan-kapan, kalau tugas sudah selesai dengan baik. Tapi ketika itu dibanding menangis, aku memilih buat tidur karena terlalu lelah dengan banyaknya tugas. Tegar ya perempuan kecil! Hahahaha...aku takut dan nga suka sekali sama yang namanya Tibum ketika itu. Bagiku, yang menjadi malaikat adalah dua orang kakak mentor kelompokku, GPO. Mereka yang selalu menghibur kami setiap kali kami merasa lelah.

Yudisium FE UI di bulan Agustus tahun 2009 bersama dengan teman-teman jurusan manajemen
Tidak terasa, sepuluh tahun telah berlalu sejak hari-hariku berstatus mahasiswa baru di tahun 2005. Banyak cerita dan kenangan yang ditulis dalam kampus tersebut. Sebuah kisah perjalanan tentang seorang mahasiswi yang belajar ekonomi di kampus kuning, sebuah kampus negeri yang terletak di Depok, Jawa Barat. Ada persahabatan baru yang terjalin selama berkuliah di sana. Ada cerita cinta dan drama-drama yang menghiasinya. Ada tawa, canda, tangis dan amarah. Begitu banyak emosi yang tercipta selama empat tahun itu. Seperti yang pernah aku tulis dalam tulisan-tulisanku, bagiku belajar di kampus kuning fakultas abu-abu ini bukan hanya belajar tentang ilmu ekonomi dan manajemen keuangan, di tempat ini aku belajar tentang kehidupan.

Buka bersama dengan sahabat-sahabat di kampus, Sisfriends, tahun 2012 (kalau tidak salah)
Pertama kali memasuki kampus kuning tersebut di tahun 2005, itu adalah kali pertama dalam kehidupanku aku sungguh belajar dan merasakan sebuah kata yang dinamakan “keragaman”. Jika ketika itu aku sudah dapat memaknai bahwa kehidupan ini adalah sebuah Universitas Kehidupan, maka buatku pelajaran yang aku pelajari dalam empat tahun ketika aku berkuliah di kampus kuning ini adalah “keberagaman”, Di sini aku sungguh diajar tentang arti dari semboyan bangsa ini “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu. Sebuah semboyan yang selama ini hanya aku baca di buku PPKn dan juga mungkin pelajaran sejarah, hany sebatas teks dalam buku yang harus aku hafal bukan aku praktekkan.

Acara lamaran seorang sahabat, Cia, di rumahnya di Bogor tahun 2012
Melangkahkan kaki di kampus ini untuk pertama kali, sungguh aku merasa terintimidasi dengan teman-temanku yang banyak memakai jilbab. Ditambah lagi, mereka memiliki warna kulit yang sangat beragam, mulai dari warna kuning langsat, sawo matang bahkans ampai coklat. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa menganggap bahwa diriku memiliki kulit yang relatif putih. Dan untuk pertama kalinya, aku sungguh baru merasa kalau aku tergolong memiliki mata yang sipit. Aku selalu tersenyum setiap kali aku mengingat sebuah cerita dimana aku berkata kepada seorang sahabatku bahwa aku berkulit hitam, lalu sahabatku itu berkata, “Ter...please ya, elo nga item, iteman gw dibanding elo, elo ngeledek gw ya?” Yeap...untuk seorang perempuan beretnis Tionghoa, sebenarnya aku tidak dapat dikatakan putih tapi jika dibandingkan dengan sahabatku yang berkulit coklat, tentu saja aku  berkulit putih. Aku adalah sebuah warna yang mewarnai keberagaman kampus ini.

Buka puasa bersama dengan sahabat FE UI 2005 tahun 2013 kemarin
Dalam kelas keberagaman ini, aku belajar tentang arti tenggang rasa dan toleransi. Tentang toleransi beragama, aku pelajari ketika pertama kali aku berjalan-jalan dengan teman-temanku ke Pondok Indah Mall seusai kelas. Sesampainya di PIM, mereka mencari musholla untuk sholat. Seusai  nonton, merea mencari musholla lagi untuk sholat. Setelah makan malam, mereka mencari musholla lagi untuk  sholat. Di awal-awal aku sungguh bingung, tapi sekarang justru kadang aku yang bertanya kepada mereka, “Kalian nga sholat?” hahahaha...yeap, sebuah toleransi yang dipelajari dalam kehidupan nyata, sebuah praktek. Dan sampai sekarang aku masih ingat di tahun 2007 aku ikut bersama dengan para sahabatku puasa selama sebulan penuh (memang ada tawaran insentif dari seorang sahabat), tapi tetep aja bagiku saat itu adalah sebuah pencapaian yang belum pernah bisa aku ulangi, hahaha..

Buka Puasa Bersama FE UI 2005 tahun 2014 di Penang Bistro Grand Indonesia
Dan seperti layaknya seorang mahasiswi yang menjalani hari-harinya sebagai anak muda, kehidupanku di kampus juga tidak terlepas dari cerita cinta. Dan dari sahabatku ini, aku banyak berdiskusi tentang keberagaman dan banyak mempertanyakan tentang perbedaan. Buatku, sahabatku ini adalah rekan diskusiku. Kami banyak berdiskusi tentang keberagaman negeri ini, membahas sedikit tentang sejarah mengapa ada diskriminasi di Indonesia. Kami berdiskusi tentang perbedaan antara etnis Tionghoa dan etnis non-Tionghoa. Aku belajar memahami sudut pandang yang berbeda yang sebelumnya tidak aku dapatkan dari sesama etnis Tionghoa. Aku belajar untuk memiliki sudut pandang lain tentang arti keberagaman. Aku belajar untuk menilai dari sudut pandang yang berbeda. Tidak mudah bagiku dan dia ketika itu untuk memahami segala keragaman dan sejarah kelam bangsa ini tentang diskriminasi. Bagiku, dia juga adalah guru yang sengaja dipertemukan dengan diriku untuk menyadarkanku tentang keberagaman bangsa ini dan diskriminasi SARA yang telah terjadi selama entah berapa tahun. Darinya, aku belajar tentang keberagaman budaya, suku, etnis, ras dan juga agama. Yeap...bagiku dia adalah seorang guru dan rekan diskusi yang sudah membukakan mataku dan membangunkanku dari tidur panjang ketidaktahuan dan ketidakpahamanku tentang bangsaku sendiri. Terima kasih untuk kamu di mana pun kamu berada saat ini. Terima kasih karena aku pernah mengenal kamu dan menjadi teman dekatku.

Pernikahan salah satu sahabat di tahun 2012 dan dihadiri oleh para sahabat FE UI 2005
Dan sepuluh tahun sejak aku menjadi mahasiswa baru di kampus kuning itu, kampus itu dan cerita di dalamnya telah banyak membentuk diriku dan sudut pandangku. Aku bersyukur aku memiliki kesempatan untuk memulai perjalananku belajar tentang keberagaman di kampus kuning itu. Sebuah pelajaran yang telah aku mulai dan masih terus aku jalani. Aku masih belajar mengenal diriku kembali sebagai seorang Indonesia. Aku belajar lebih banyak tentang bangsa yang selama ini tidak pernah aku pedulikan. Aku adalah sebuah warna yang mewarnai negeri ini seperti halnya teman-teman dan sahabat-sahabatku. Dan semakin aku mencoba untuk mengenal bangsaku ini, semakin banyak warna yang aku temui dan semakin aku sadar bahwa aku masih harus terus belajar dan mengenal bangsa yang sungguh Bhinneka ini.

Masa-masa terakhir di FE UI saat sibuk menyusun skripsi dan persiapan sidang di ruang perpustakaan Gedung Jurusan Manajemen, tahun 2009
Terima kasih kampus kuning!

Terima kasih sahabatku yang penuh warna!

Terima kasih untuk setiap cerita dan kenangan yang telah dituliskan dalam kehidupanku!

Terima kasih karena bagiku kehidupanku mengenal Indonesia dan belajar menjadi Bangsa Indonesia dimulai saat itu.

Terima kasih!

Si Jawa dan Si Sipit, dengan sahabat berjilbab pertama yang aku kenal di kampus kuning, Endah
Sebuah sore menyambut reuni 1 Dekade FEUI 2005,

T

Mnela’anen, 5 Desember 2015

No comments:

Post a Comment