Saturday, October 24, 2015

Ketika Beta Berada di Timor, Sebuah Cerita tentang Kain Tenun

Aku pertama kali jatuh cinta dengan pakaian tradisional Indonesia pada pertengahan tahun 2009. Ketika itu, aku akan diwisuda bersama dengan teman-temanku. Seorang sahabat mengajakku untuk menjahit kebaya untuk dipakai di acara wisuda. Sebelumnya, tidak pernah terbayangkan oleh diriku, aku akan memakai baju kebaya dan menggunakan bawahan yang dijahit dari kain songket. Ketika akhirnya baju itu selesai dijahit, saat itu juga aku langsung jatuh cinta dengan kebaya. Sejak saat itu, aku mulai memberikan perhatian kepada kain-kain tradisional khas Indonesia yang ternyata sangat banyak dan beragam.
Para pemudi yang menari menggunakan pakaian adat

Awal bulan Oktober ini, aku diberikan kesempatan untuk tinggal di sebuah desa yang terletak di Nusa Tenggara Timur. Desa Mnela’anen yang terletak di kecamatan Amanuban Timur,  Timor Tengah Selatan. Satu hari, aku bersama dengan seorang Kakak mengunjungi rumah seorang nenek. Karena nenek tersebut sedang tidak ada, kami hanya bertemu dengan menantunya, Mama Fando namanya (di tempat ini “Mama” adalah panggilan pengganti kata “Ibu” di Jakarta dan “Fando” adalah nama anak pertamanya). Ketika kami  tiba disana, aku melihat sebuah alat tenun di rumahnya. Ternyata itu adalah alat tenun miliknya. Sambil melihat alat tenun dan kain tenun yang sedang dibuatnya tersebut, Mama Fando bercerita bahwa hampir semua perempuan disini sejak masih kecil sudah diajar untuk menenun. Syarat seorang perempuan untuk dapat menikah adalah  jika dirinya bisa menenun. Dengan menenun, maka para perempuan disini dapat membantu kehidupan rumah tangganya dengan menjual kain yang ditenunnya.
Kain tenun motif khas Amanatun
Mama Fando menjelaskan bahwa kain tenun yang sedang dibuatnya itu adalah motif Amanatun, bukan Amanuban. Dan aku baru tahu, ternyata setiap desa memiliki motif dan ciri khas kain tenun yang berbeda. Mendengar penjelasan Mama Fando, aku jadi ingat cerita seorang teman yang telah lama tinggal di Nusa Tenggara Timur. Dia mengatakan  bahwa Kabupaten Timor Tengah Selatan ini dulu terdiri dari tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Amanatun, Amanuban dan Mollo. Aku baru menyadari bahwa sekali pun sistem kerajaan tersebut sudah tidak ada, namun pengaruhnya terhadap kebudayaan di daerah ini masih tertinggal  bahkan sampai mempengaruhi motif dari kain tenun tiap daerah.
Kain tenun dengan motif khas Amanuban
Masyarakat di Desa Mnela’anen ini dapat dikatakan masih cukup tradisional. Hampir sebagian laki-laki paruh baya di desa ini masih senang menggunakan selimut yang terbuat dari kain tenun dalam kesehariannya. Selimut tersebut dijadikan penutup tubuh bagian bawah (seperti fungsi sarung). Menurut adat orang Timor, selendang dari kain tenun juga merupakan sebuah pemberian yang lazim diberikan kepada tamu yang baru datang ke daerah tersebut. Dengan diberikan selendang tersebut, tamu tersebut diterima untuk masuk dalam daerah tersebut. Selendang yang diletakkan di leher tamu tersebut dianggap sebagai sebuah tanda penghargaan dan penghormatan.
Suasana pemberian selendang dari kain tenun kepada tamu sebagai tanda tamu tersebut diterima  masuk di daerah tersebut
Dalam acara-acara penting, seperti acara pernikahan, mempelai wanita dan pria disini juga masih menggunakan kain tenun. Mempelai wanita akan menggunakan selendang dan sarung sedangkan mempelai pria akan menggunakan selendang dan selimut. Suasana adat di desa ini masih sangat terasa kental. Pada tanggal 19 Oktober kemarin, aku mendapat kesempatan untuk menghadiri pernikahan masal dua belas pasang pengantin di desa ini. Di hari bahagia ini, kedua belas pasang pengantin menggunakan baju adat mereka. Bahkan semua tamu yang hadir, hampir sebagian besar juga menggunakan selendang, selimut dan sarung dari kain tenun. Bagi penduduk di tempat ini, kain tenun adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Baik dalam keseharian mereka sampai dengan acara-acara penting, mereka selalu menggunakan kain tenun.
Salah satu pasangan pengantin pernikahan massal yang mengadakan syukuran pernikahan di rumahnya.
Kedua mempelai menggunakan kain tenun motif khas Amanatun
Pasangan mempelai pernikahan massal yang menggunakan syukuran pernikahan di rumahnya dengan masih menggunakan pakaian adat dari kain tenun
Di desa ini, aku memiliki kesempatan lebih banyak untuk mengeksplorasi keindahan kain tenun Pulau Timor  secara  lebih dalam. Aku dapat melihat akat tenun dan mengenal para perempuan-perempuan hebat yang menenun. Aku juga memiliki kesempatan untuk melihat para penduduk desa yang dalam kesehariannya selalu menggunakan kain tenun. Dan yang terutama, aku diberikan kesempatan untuk  menyadari betapa kayanya negeri ini, bukan hanya dari segi kekayaan alam tapi juga dari sisi adat dan kebudayaannya.

Suasana para tamu undangan yang memberikan ucapan selamat kepada para mempelai pernikahan massal yang baru saja mendapatkan pemberkatan nikah di halaman gereja
Jika setiap motif dan warna mewakili sebuah desa, mampukah kita membayangkan ada berapa banyak motif kain tenun yang sesungguhnya dimiliki Indonesia dan betapa Indonesia sangat kaya bahkan jika hanya dilihat dari sisi keragaman kain-kain tradisionalnya?
Dan bisakah dibayangkan jika setiap anak bangsa memiliki kebanggaan terhadap keragaman budaya yang dimiliki Indonesia dan dengan bangga menceritakannya kepada dunia luar?

Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KaindanPerjalanan yang diselenggarakan Wego.

http://www.wego.co.id/berita/kompetisi-blog-perjalanan-dan-kain-tradisional/

1 comment: