Aku pertama kali jatuh cinta dengan pakaian
tradisional Indonesia pada pertengahan tahun 2009. Ketika itu, aku akan
diwisuda bersama dengan teman-temanku. Seorang sahabat mengajakku untuk
menjahit kebaya untuk dipakai di acara wisuda. Sebelumnya, tidak pernah
terbayangkan oleh diriku, aku akan memakai baju kebaya dan menggunakan bawahan
yang dijahit dari kain songket. Ketika akhirnya baju itu selesai dijahit, saat
itu juga aku langsung jatuh cinta dengan kebaya. Sejak saat itu, aku mulai
memberikan perhatian kepada kain-kain tradisional khas Indonesia yang ternyata
sangat banyak dan beragam.
|
Para pemudi yang menari menggunakan pakaian adat |
Awal bulan Oktober ini, aku diberikan kesempatan
untuk tinggal di sebuah desa yang terletak di Nusa Tenggara Timur. Desa Mnela’anen
yang terletak di kecamatan Amanuban Timur, Timor Tengah Selatan. Satu hari, aku
bersama dengan seorang Kakak mengunjungi rumah seorang nenek. Karena nenek
tersebut sedang tidak ada, kami hanya bertemu dengan menantunya, Mama Fando
namanya (di tempat ini “Mama” adalah panggilan pengganti kata “Ibu” di Jakarta
dan “Fando” adalah nama anak pertamanya). Ketika kami tiba disana, aku melihat sebuah alat tenun di
rumahnya. Ternyata itu adalah alat tenun miliknya. Sambil melihat alat tenun
dan kain tenun yang sedang dibuatnya tersebut, Mama Fando bercerita bahwa
hampir semua perempuan disini sejak masih kecil sudah diajar untuk menenun.
Syarat seorang perempuan untuk dapat menikah adalah jika dirinya bisa menenun. Dengan menenun,
maka para perempuan disini dapat membantu kehidupan rumah tangganya dengan
menjual kain yang ditenunnya.
|
Kain tenun motif khas Amanatun |
Mama Fando menjelaskan bahwa kain tenun yang sedang
dibuatnya itu adalah motif Amanatun, bukan Amanuban. Dan aku baru tahu,
ternyata setiap desa memiliki motif dan ciri khas kain tenun yang berbeda. Mendengar
penjelasan Mama Fando, aku jadi ingat cerita seorang teman yang telah lama
tinggal di Nusa Tenggara Timur. Dia mengatakan bahwa Kabupaten Timor Tengah Selatan ini dulu
terdiri dari tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Amanatun, Amanuban dan Mollo.
Aku baru menyadari bahwa sekali pun sistem kerajaan tersebut sudah tidak ada,
namun pengaruhnya terhadap kebudayaan di daerah ini masih tertinggal bahkan sampai mempengaruhi motif dari kain
tenun tiap daerah.
|
Kain tenun dengan motif khas Amanuban |
Masyarakat di Desa Mnela’anen ini dapat dikatakan
masih cukup tradisional. Hampir sebagian laki-laki paruh baya di desa ini masih
senang menggunakan selimut yang terbuat dari kain tenun dalam kesehariannya. Selimut
tersebut dijadikan penutup tubuh bagian bawah (seperti fungsi sarung). Menurut
adat orang Timor, selendang dari kain tenun juga merupakan sebuah pemberian
yang lazim diberikan kepada tamu yang baru datang ke daerah tersebut. Dengan
diberikan selendang tersebut, tamu tersebut diterima untuk masuk dalam daerah
tersebut. Selendang yang diletakkan di leher tamu tersebut dianggap sebagai
sebuah tanda penghargaan dan penghormatan.
|
Suasana pemberian selendang dari kain tenun kepada tamu sebagai tanda tamu tersebut diterima masuk di daerah tersebut |
Dalam acara-acara penting, seperti acara
pernikahan, mempelai wanita dan pria disini juga masih menggunakan kain tenun.
Mempelai wanita akan menggunakan selendang dan sarung sedangkan mempelai pria
akan menggunakan selendang dan selimut. Suasana adat di desa ini masih sangat
terasa kental. Pada tanggal 19 Oktober kemarin, aku mendapat kesempatan untuk
menghadiri pernikahan masal dua belas pasang pengantin di desa ini. Di hari
bahagia ini, kedua belas pasang pengantin menggunakan baju adat mereka. Bahkan
semua tamu yang hadir, hampir sebagian besar juga menggunakan selendang,
selimut dan sarung dari kain tenun. Bagi penduduk di tempat ini, kain tenun
adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Baik dalam
keseharian mereka sampai dengan acara-acara penting, mereka selalu menggunakan
kain tenun.
|
Salah satu pasangan pengantin pernikahan massal yang mengadakan syukuran pernikahan di rumahnya. Kedua mempelai menggunakan kain tenun motif khas Amanatun |
|
Pasangan mempelai pernikahan massal yang menggunakan syukuran pernikahan di rumahnya dengan masih menggunakan pakaian adat dari kain tenun |
Di desa ini, aku memiliki kesempatan lebih banyak
untuk mengeksplorasi keindahan kain tenun Pulau Timor secara
lebih dalam. Aku dapat melihat akat tenun dan mengenal para
perempuan-perempuan hebat yang menenun. Aku juga memiliki kesempatan untuk
melihat para penduduk desa yang dalam kesehariannya selalu menggunakan kain
tenun. Dan yang terutama, aku diberikan kesempatan untuk menyadari betapa kayanya negeri ini, bukan
hanya dari segi kekayaan alam tapi juga dari sisi adat dan kebudayaannya.
|
Suasana para tamu undangan yang memberikan ucapan selamat kepada para mempelai pernikahan massal yang baru saja mendapatkan pemberkatan nikah di halaman gereja |
Jika setiap motif dan warna mewakili sebuah desa,
mampukah kita membayangkan ada berapa banyak motif kain tenun yang sesungguhnya
dimiliki Indonesia dan betapa Indonesia sangat kaya bahkan jika hanya dilihat
dari sisi keragaman kain-kain tradisionalnya?
Dan bisakah dibayangkan jika setiap anak bangsa
memiliki kebanggaan terhadap keragaman budaya yang dimiliki Indonesia dan dengan
bangga menceritakannya kepada dunia luar?
Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog
#KaindanPerjalanan yang diselenggarakan Wego.
http://www.wego.co.id/berita/kompetisi-blog-perjalanan-dan-kain-tradisional/
Keren, Sumber air su dekat
ReplyDelete