Hangat dan blak-blakan. Itu adalah kesan yang aku dapat rangkum tentang perjalananku di Medan selama 5 hari 4 malam. At least itu adalah kesan yang aku dapatkan dari teman-teman Medan yang menemani aku dan teman-teman Jakarta lainnya.
Sejak hari pertama kami tiba di Medan, mereka sangat welcome dan menyenangkan. Kami diajak berkeliling kota dan makan ke tempat-tempat yang menyajikan makanan yang enak. Menyenangkan berjalan-jalan bersama dengan mereka. Walau ada beberapa orang yang baru pertama kali bertatap muka, namun suasana tetap hangat dan tidak kaku. Akhirnya aku juga bisa menemui teman-teman Medan yang selama ini hanya ngobrol lewat chat BBM dan Facebook.
Satu hal yang aku pelajari dari mereka adalah mereka sangat terbuka dan jujur. Kalau tidak suka ya bilang tidak suka. Tidak ada yang disimpan dalam hati dan membuat sakit hati sendiri. Apa adanya dan blak-blakan. Salah seorang sahabat yang merupakan Ketua Gema Inti Sumut mengatakan bahwa lebih baik terus terang jija memang itu untuk kebaikan orang tersebut. Dia mengatakan tidak baik membicarakan kekurangan orang di belakangnya. Jika hal tersebut memang untuk kebaikan orang tersebut, ya bicara saja. Walau sekarang mungkin mereka marah dan tersinggung, tapi nanti mereka juga akan mengerti dan akhirnya baik lagi. Well...duly noted Sir. A good lesson for me yang suka memendam perasaan. Hahahaha...
Selama 5 hari 4 malam disana, entah mengapa aku merasa populasi etnis Tionghoa disini jauh lwbih banyak dibandingkan di Jakarta. Di kota ini aku merasa hampir dimana-mana adalah Chinatown, selalu ada etnis Tionghoa dimana-mana. Etnis Tionghoa di kota besar ini hampir sebagian besar memeluk agama Buddha. Menurut salah seorang sahabat banyak organisasi berbasis agama Buddha yang didirikan di kota ini. Kebanyakan dari organisasi itu bersifat sosial pelayanan kepada masyarakat. Betapa religiusnya pemeluk agama Buddha juga terlihat saat ada perayaan 40 tahun pelayanan seorang Bantei yang sangat terkenal dan dihormati oleh seluruh pemeluk agama Buddha di Medan dan bahkan seluruh dunia. Acara tersebut bahkan diadakan di lapangan yang terletak di tengah kota, mengagumkan.
Oiya...kebanyakan orang-orang Tionghoa yang tinggal di Medan fasih berbahasa Hokkian. Karena hal itu, kadang aku membutuhkan penerjemah untuk mengartikan apa yang mereka bicarakan. Hahahhahaa....dan kadang ada juga istilah-istilah khas Medan, yang bukan bahasa Hokkian pun, aku tidak mengerti. Contohnya saja mereka menyebut "motor" dengan sebutan "kereta". "Toko kelontong" dengan sebutan "kedai sampah". "Pasar" dengan sebutan "pajak". Oh ya...untuk istilah-istilah lain yang cukup unik disini adalah padi dan mandi. "Padi" adalah sebutan untuk teh pahit dingin atau di Jakarta disebut dengan "es teh tawar". "Mandi" adalah sebutan untuk teh manis dingin atau di Jakarta disebut dengan "es teh manis".
Salah satu angkutan umum yang cukup unik disini adalah betor (becak motor). Angkutan umum ini seperti becak atau bajaj di Jakarta. Kenekadan pengemudinya pun hampir sama dengan abang bajaj di Jakarta. Saat mereka mau berbelok ke kiri dan ke kanan, hanya sopirnya dan Tuhan yang tahu. Hahahha....dahsyat. Begitu pun sopir angkota di kota ini, lebih ekstrim dibanding sopir angkot Jakarta. Jika dibandingkan dengan sopir angkota di Medan, sopir angkota di Jakarta masih sedikit lebih sopan. Di Medan, sopir angkot dan bis bisa berhenti di tengah jalan saat akan menurunkan atau menaikkan penumpang, mengagumkan ya, hahahaa....peace bang sopir!:D
Kemudian salah satu hal yang tak kalah membuatku terkejut adalah ternyata kota Medan juga sering macet. Walau kemacetannya tidak separah kota Jakarta tercinta, tapi tetap saja membuatku kaget karena terakhir kali ke kota ini 3 tahun yang lalu sepertinya kemacetannya tidak separah sekarang. Menurut salah seorang sahabat hal ini dikarenakan banyak jalanan yang dibongkar dan dibiarkan begitu saja. Uhm....agak menyulitkan ya, hahahaha....:D sabar ya teman-teman yang ada di Medan.
Pemandangan mencolok di kota ini adalah begitu banyak billboard besar di sepanjang jalan, mulai dari ukuran kecil sampai sangat besar. Dan oleh karena itu, di malam hari di beberapa bagian kota tertentu sangat banyak lampu yang menyala dan bersinar, membuat kota ini terlihat keren. Aku sempat bertanya-tanya pernah nga ya ada billboard yang jatuh, karena jumlahnya benar-benar banyak dan lumayan besar.
Perjalanan ke kota yang terasa reiligius ini sepertinya lebih seperti perjalanan kuliner. Setiap hari selalu dipenuhi dengan jadwal makan. Salah satu favoritku yang belum pernah aku rasakan sebelumnya (dan katanya merupakan makanan khas daerah sana) adalah Tau Kua Heci, camouran antara kangkung, tauge, lumpia udang, tahu goreng dan semacam rempeyek udang disiram dengan kuah merah kemudian ditambah dengan minuman jus markisa asli, enak banget! Rasanya benar-benar otentik. Tau Kua-nya terasa manis dan dapat dikasih sambel tumbuk, porsinya juga pas, tidaj eneg. Kemudian jus markisanya enak banget, karena dari buah markisa asli jadi rasanya asem, tidak manis seperti sirup markisa yang suka dibawa untuk oleh-olehnya.
Selain itu, kami juga mencoba kepiting di restoran yang terletak di Jl. Sukarame, Asia Mega Mas. Kepitingnya besar dan sekel, bumbunya juga sangat terasa. Menurut salah aeorang sahabat yabg asli orang Medan, kelebihan makanan Medan adalah mereka berani dengan bumbu. Bagi mereka, makanan Jakarta terasa tawar dan kurang bumbu. Hahahaha...makanan lain favoritku adalah panggang babi madu dan babi panggang karo khas Batak Karo (makanan non-halal), enak banget...uwo....terutama BPK-nya. Untungnya dua jenis makanan ini masih bisa ditemui di Jakarta, walau rasanta pasti berbeda. Ya....officially aku bertambah beberapa kilo selama berada disini. Berhubung belum tahu kapan akan kembali ke Meda , jadi dimaafkan lha bertambah gendut. Di Jakarta harus berjuang keras lagi untuk diet. Fiuhhhh...semangat Tres! Makanan Medan salah satu juara wisata kuliner makanan nusantara kalo buatku secara pribadi.
Ya well...so far kesan yang aku dapatkan selama perjalanan ke Medan ini sangat menyenangkan dan banyak cerita. Bisa bertemu dengan teman-teman Medan secara langsung, merupakan hal yang menyenangkan buatku. Selama berada disini aku belum mendapatkan kesan negatif tentang orang-orang Medan yang selama ini terdengar. So far...they are really nice and warm. Menurutku wajar jika ada orang-orang yang tidak menyenangkan, di berbagai daerah pun ada saja orang yang tidak menyenangkan dan licik. Namun setelah aku mengunjungi dan bertemu dengan orang-orangnya, aku akan belajar lebih baik untuk tidak menempelkan stereotype dan men-generalisasi sifat dan karakter orang berdasarkan ras dan kesukuannya. You have to learn very hard to be wiser Tres! Suara mereka memang keras dan lantang, namun bukan berarti mereka tidak sopan.
Di SMA dulu ada seorang guru bersuku Batak yang sangat aku ingat. Beliau adalah guru sosiologi di sekolah. Entah karena beliau atau bukan, tapi aku sangat menyukai pelajaran sosiologi. Mempelajari dan mengetahui kebudayaan dari berbagai daerah Indonesia. Beberapa bulan yang lalu beliau meninggal karena sakit di usianya yang terhitung masih muda. Ibu Frida, nama almarhumah, adalah seorang wanita Batak yang di sekolah memang dikenal galak dan bersuara keras. Jika disebut galak, sebenernya Ibu yang berambut keriting ikal ini bukan galak, tapi bicara apa adanya. Jika muridnya bandel, ya dimarahi dan dinasehati. Jika muridnya pintar dan baik, beliau juga tidak ragu untuk memuji dan memberi penghargaan.
Di dalam satu kelas jam pelajarannya, Almarhumah menjelaskan tentang mengapa orang Batak, khususnya, dan orang Sumatera Utara pada umumnya bersuara keras dan lantang. Almarhumah yang sebenarnya humoris ini mengatakan bahwa dulu di Sumatera Utara banyak terdiri dari bebukitan dan letak antara satu rumah dan rumah lain berjauhan, jadi untuk memanggil anak atau berbicara dengan tetangganya mereka harus berteriak. Dan tentang mengapa suara mereka mereka saat menyanyi sangat merdu, Alamarhumah juga pernah menjelaskan, tapibjujur saja aku sedikit lupa alasannya. Tapi satu hal yang aku ingat, menyanyi merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan orang Batak. Dalam setiap acara apa pun, mereka pasti menyanyi. Sampai jumpa Bu Frida, jasa dan selera humor dan kejujuranmu akan selalu kami kenang!
Masih banyak tempat dan makanan yang belum aku coba...I hope I can return to this city, not only for the vacation, but to meet those great friends. I really like them 😊
Sebuah catatan kecil tentang Medan,
T
Jakarta, 13 November 2014
Sejak hari pertama kami tiba di Medan, mereka sangat welcome dan menyenangkan. Kami diajak berkeliling kota dan makan ke tempat-tempat yang menyajikan makanan yang enak. Menyenangkan berjalan-jalan bersama dengan mereka. Walau ada beberapa orang yang baru pertama kali bertatap muka, namun suasana tetap hangat dan tidak kaku. Akhirnya aku juga bisa menemui teman-teman Medan yang selama ini hanya ngobrol lewat chat BBM dan Facebook.
Satu hal yang aku pelajari dari mereka adalah mereka sangat terbuka dan jujur. Kalau tidak suka ya bilang tidak suka. Tidak ada yang disimpan dalam hati dan membuat sakit hati sendiri. Apa adanya dan blak-blakan. Salah seorang sahabat yang merupakan Ketua Gema Inti Sumut mengatakan bahwa lebih baik terus terang jija memang itu untuk kebaikan orang tersebut. Dia mengatakan tidak baik membicarakan kekurangan orang di belakangnya. Jika hal tersebut memang untuk kebaikan orang tersebut, ya bicara saja. Walau sekarang mungkin mereka marah dan tersinggung, tapi nanti mereka juga akan mengerti dan akhirnya baik lagi. Well...duly noted Sir. A good lesson for me yang suka memendam perasaan. Hahahaha...
Selama 5 hari 4 malam disana, entah mengapa aku merasa populasi etnis Tionghoa disini jauh lwbih banyak dibandingkan di Jakarta. Di kota ini aku merasa hampir dimana-mana adalah Chinatown, selalu ada etnis Tionghoa dimana-mana. Etnis Tionghoa di kota besar ini hampir sebagian besar memeluk agama Buddha. Menurut salah seorang sahabat banyak organisasi berbasis agama Buddha yang didirikan di kota ini. Kebanyakan dari organisasi itu bersifat sosial pelayanan kepada masyarakat. Betapa religiusnya pemeluk agama Buddha juga terlihat saat ada perayaan 40 tahun pelayanan seorang Bantei yang sangat terkenal dan dihormati oleh seluruh pemeluk agama Buddha di Medan dan bahkan seluruh dunia. Acara tersebut bahkan diadakan di lapangan yang terletak di tengah kota, mengagumkan.
Oiya...kebanyakan orang-orang Tionghoa yang tinggal di Medan fasih berbahasa Hokkian. Karena hal itu, kadang aku membutuhkan penerjemah untuk mengartikan apa yang mereka bicarakan. Hahahhahaa....dan kadang ada juga istilah-istilah khas Medan, yang bukan bahasa Hokkian pun, aku tidak mengerti. Contohnya saja mereka menyebut "motor" dengan sebutan "kereta". "Toko kelontong" dengan sebutan "kedai sampah". "Pasar" dengan sebutan "pajak". Oh ya...untuk istilah-istilah lain yang cukup unik disini adalah padi dan mandi. "Padi" adalah sebutan untuk teh pahit dingin atau di Jakarta disebut dengan "es teh tawar". "Mandi" adalah sebutan untuk teh manis dingin atau di Jakarta disebut dengan "es teh manis".
Salah satu angkutan umum yang cukup unik disini adalah betor (becak motor). Angkutan umum ini seperti becak atau bajaj di Jakarta. Kenekadan pengemudinya pun hampir sama dengan abang bajaj di Jakarta. Saat mereka mau berbelok ke kiri dan ke kanan, hanya sopirnya dan Tuhan yang tahu. Hahahha....dahsyat. Begitu pun sopir angkota di kota ini, lebih ekstrim dibanding sopir angkot Jakarta. Jika dibandingkan dengan sopir angkota di Medan, sopir angkota di Jakarta masih sedikit lebih sopan. Di Medan, sopir angkot dan bis bisa berhenti di tengah jalan saat akan menurunkan atau menaikkan penumpang, mengagumkan ya, hahahaa....peace bang sopir!:D
Kemudian salah satu hal yang tak kalah membuatku terkejut adalah ternyata kota Medan juga sering macet. Walau kemacetannya tidak separah kota Jakarta tercinta, tapi tetap saja membuatku kaget karena terakhir kali ke kota ini 3 tahun yang lalu sepertinya kemacetannya tidak separah sekarang. Menurut salah seorang sahabat hal ini dikarenakan banyak jalanan yang dibongkar dan dibiarkan begitu saja. Uhm....agak menyulitkan ya, hahahaha....:D sabar ya teman-teman yang ada di Medan.
Pemandangan mencolok di kota ini adalah begitu banyak billboard besar di sepanjang jalan, mulai dari ukuran kecil sampai sangat besar. Dan oleh karena itu, di malam hari di beberapa bagian kota tertentu sangat banyak lampu yang menyala dan bersinar, membuat kota ini terlihat keren. Aku sempat bertanya-tanya pernah nga ya ada billboard yang jatuh, karena jumlahnya benar-benar banyak dan lumayan besar.
Perjalanan ke kota yang terasa reiligius ini sepertinya lebih seperti perjalanan kuliner. Setiap hari selalu dipenuhi dengan jadwal makan. Salah satu favoritku yang belum pernah aku rasakan sebelumnya (dan katanya merupakan makanan khas daerah sana) adalah Tau Kua Heci, camouran antara kangkung, tauge, lumpia udang, tahu goreng dan semacam rempeyek udang disiram dengan kuah merah kemudian ditambah dengan minuman jus markisa asli, enak banget! Rasanya benar-benar otentik. Tau Kua-nya terasa manis dan dapat dikasih sambel tumbuk, porsinya juga pas, tidaj eneg. Kemudian jus markisanya enak banget, karena dari buah markisa asli jadi rasanya asem, tidak manis seperti sirup markisa yang suka dibawa untuk oleh-olehnya.
Selain itu, kami juga mencoba kepiting di restoran yang terletak di Jl. Sukarame, Asia Mega Mas. Kepitingnya besar dan sekel, bumbunya juga sangat terasa. Menurut salah aeorang sahabat yabg asli orang Medan, kelebihan makanan Medan adalah mereka berani dengan bumbu. Bagi mereka, makanan Jakarta terasa tawar dan kurang bumbu. Hahahaha...makanan lain favoritku adalah panggang babi madu dan babi panggang karo khas Batak Karo (makanan non-halal), enak banget...uwo....terutama BPK-nya. Untungnya dua jenis makanan ini masih bisa ditemui di Jakarta, walau rasanta pasti berbeda. Ya....officially aku bertambah beberapa kilo selama berada disini. Berhubung belum tahu kapan akan kembali ke Meda , jadi dimaafkan lha bertambah gendut. Di Jakarta harus berjuang keras lagi untuk diet. Fiuhhhh...semangat Tres! Makanan Medan salah satu juara wisata kuliner makanan nusantara kalo buatku secara pribadi.
Ya well...so far kesan yang aku dapatkan selama perjalanan ke Medan ini sangat menyenangkan dan banyak cerita. Bisa bertemu dengan teman-teman Medan secara langsung, merupakan hal yang menyenangkan buatku. Selama berada disini aku belum mendapatkan kesan negatif tentang orang-orang Medan yang selama ini terdengar. So far...they are really nice and warm. Menurutku wajar jika ada orang-orang yang tidak menyenangkan, di berbagai daerah pun ada saja orang yang tidak menyenangkan dan licik. Namun setelah aku mengunjungi dan bertemu dengan orang-orangnya, aku akan belajar lebih baik untuk tidak menempelkan stereotype dan men-generalisasi sifat dan karakter orang berdasarkan ras dan kesukuannya. You have to learn very hard to be wiser Tres! Suara mereka memang keras dan lantang, namun bukan berarti mereka tidak sopan.
Di SMA dulu ada seorang guru bersuku Batak yang sangat aku ingat. Beliau adalah guru sosiologi di sekolah. Entah karena beliau atau bukan, tapi aku sangat menyukai pelajaran sosiologi. Mempelajari dan mengetahui kebudayaan dari berbagai daerah Indonesia. Beberapa bulan yang lalu beliau meninggal karena sakit di usianya yang terhitung masih muda. Ibu Frida, nama almarhumah, adalah seorang wanita Batak yang di sekolah memang dikenal galak dan bersuara keras. Jika disebut galak, sebenernya Ibu yang berambut keriting ikal ini bukan galak, tapi bicara apa adanya. Jika muridnya bandel, ya dimarahi dan dinasehati. Jika muridnya pintar dan baik, beliau juga tidak ragu untuk memuji dan memberi penghargaan.
Di dalam satu kelas jam pelajarannya, Almarhumah menjelaskan tentang mengapa orang Batak, khususnya, dan orang Sumatera Utara pada umumnya bersuara keras dan lantang. Almarhumah yang sebenarnya humoris ini mengatakan bahwa dulu di Sumatera Utara banyak terdiri dari bebukitan dan letak antara satu rumah dan rumah lain berjauhan, jadi untuk memanggil anak atau berbicara dengan tetangganya mereka harus berteriak. Dan tentang mengapa suara mereka mereka saat menyanyi sangat merdu, Alamarhumah juga pernah menjelaskan, tapibjujur saja aku sedikit lupa alasannya. Tapi satu hal yang aku ingat, menyanyi merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan orang Batak. Dalam setiap acara apa pun, mereka pasti menyanyi. Sampai jumpa Bu Frida, jasa dan selera humor dan kejujuranmu akan selalu kami kenang!
Masih banyak tempat dan makanan yang belum aku coba...I hope I can return to this city, not only for the vacation, but to meet those great friends. I really like them 😊
Sebuah catatan kecil tentang Medan,
T
Jakarta, 13 November 2014
No comments:
Post a Comment